#CINTA di PANTAI PASIR PADI#
Lulus
SMA, aku kuliah di Pulau Bangka tinggal bersama nenek dan kakekku. Berat
rasanya meninggalkan orangtua, tetapi nenek dan kakekku menyuruhku untuk kuliah
disana, jadi mau tidak mau, aku harus pergi. Di sana saudara-saudaraku
menyambutku dengan senang, membuatku merasa tidak sia-sia datang kesini.
Disini aku tidak langsung mencari dan
mendaftar ke perkuliahan, aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengenal kota ini
selama 3 hari. 2 hari berturut-turut aku mengunjungi tempat-tempat pariwisata
bahkan tempat perbelanjaan di kota ini, tetapi ada satu tempat yang rasanya
belum aku kunjungi, yaitu Pantai Pasir Padi. Jadi, tepat pada hari ketiga aku
berjalan-jalan mengunjungi pantai itu seharian penuh. Sesuai banget dengan
namanya, Pantai Pasir Padi. Pasirnya putih bagaikan padi, angin sepoi-sepoi
berhembus dari laut menuju pantai menggoyangkan daun-daun pohon kelapa yang ada
di pinggirnya. Dan juga banyak warung-warung kecil yang berdiri di sepanjang
bibir pantai menambah indahnya suasana pantai itu. Aku terus berkeliling sampai
aku melihat sesuatu yang membuatku takjub.
Diujung timur pantai aku melihat batu
besar yang bentuknya sukar sekali untuk dibayangkan. Di batu itu juga banyak
pasangan kekasih yang mengabadikan nama mereka dengan berbagai model tulisan
menggunakan cat semprot. Karena aku merasa penasaran, jadi aku memutuskan untuk
melihat –melihat disekitar batu itu. Tulisan pertulisan aku baca satu persatu,
hingga aku sampai di ujung batu yang berlekuk. Karena asyik membaca tulisan, ketika
hendak berbelok ke batu yang berlekuk itu, aku ditabrak seseorang dari arah
yang berlawanan. Burgghhhh,,, aku jatuh terbaring dan dia berada diatas ku. Muka
kami saling berhadapan, dan tanpa sadar handphone yang kugenggam terpelanting
gak tau kemana. Aduuhhh malunya aku!!! Padahal dia yang nabrak, tapi karena aku
yang dibawah, aku jadi malu sendiri! Sakitnya gak seberapa, tapi malunya? Minta
ampun dehh, dilihat sama pasangan-pasangan kekasih yang ada disitu, terdiam
bagaikan patung.
“Aduuhhhh......”
aku merengek kesakitan didepannya untuk menghilangkan rasa maluku agar
orang-orang gak salah paham sama kami.
“Ehhh
maaf maaf, aku tidak sengaja!” katanya terburu-buru dan polos. Dia langsung
berdiri dan mengulurkan tangannya untuk menolongku. Aku menerima uluran
tangannya dan berdiri, memukul-mukul pakaianku untuk menghilangkan pasir-pasir
yang menempel.
“Sekali
lagi maaf ya! Aku gak sengaja. Habis tadi aku gak liat kalau ada orang dibalik
batu ini.” Katanya meminta maaf padaku. Tetapi aku tidak memperdulikannya, aku
masih membersihkan pakaianku, dan ternyata siku tanganku tergores kerikil.
“Yaahhh,,
sudah sakit, pakai acara lecet lagi ini tangan!” Kata-kataku penuh penyesalan.
“Hah,
sakit ya? Sini aku bantu!” dia mencoba untuk memegang tanganku. Tapi aku
menolaknya.
“Sudah-sudah,
tidak perlu! Aku bisa obatin sendiri kok.” Tolak ku tanpa memandang wajahnya
lagi dan berbalik badan darinya.
“Dasar, orang aneh!! Sudah tau sakit, pakek acara tanya-tanya
segala!” aku ngomel-ngomel sendiri, berjalan meninggalkannya, tanpa memikirkan
sesuatu yang tertinggal.
Aku menuju kearah batu besar, duduk
diatas batu itu membersihkan luka ditanganku dan memandang indahnya pantai.
Tiba-tiba dari belakang seseorang mengagetkanku.
“Heii,,,
kamu cewek yang tadi kan?” sapanya mengagetkan aku, dan langsung duduk
disampingku.
“Hah??? Eh iya iya!! Dan kamu cowok yang
nabrak aku tadi kan?” saking gugup dan terkejutnya, omonganku sampai belepotan
begini deh! Mana asal ngomong aja lagi! Bikin malu aja.
“Hehehe
iya!! Maaf ya soal tadi! Aku gak sengaja!” katanya minta maaf lagi sama aku.
“Iya
iya gak apa-apa! Salah aku juga gak liat-liat. Ada perlu apa kamu kesini?” aku
coba memaafkannya. Lagi pula berdosa juga kalau gak aku maafin.
“Oh
iya aku hampir lupa!” dia merogoh-rogoh saku belakangnya. Seperti mencari
sesuatu yang penting.
“Ini
punya kamu kan?” lanjutnya. Ternyata yang dikeluarkannya adalah sebuah Hp. Aku
terkejut dan langsung mencari-cari Handphone ku, ternyata udah gak ada.
“Tadi
aku menemukannya di bawah batu, mungkin terlempar sama kamu waktu terjatuh
tadi! Aku berbalik mencari mu, tapi udah gak ada lagi.” lanjutnya lagi
menerangkan.
“Coba
aku liat!” aku mengambil dan melihat-lihat foto Hp itu, ternyata benar ini Hp
ku.
“Hehehe,
iya ini Hp ku! Terima kasih yaa, udah nemuin Hp aku? Ni Hp penting banget buat
aku! Trus kamu koq bisa tau kalau aku ada disini?” aku malu banget udah
beranggapan yang gak-nggak padanya.
“Oh
itu!! Kamu kan tadi berjalan kearah sini, ya jadi aku cari aja kamu kesini,
siapa tau kamu ada disini. Eh ternyata benar kamu ada disini.” terangnya lagi.
“Oohh
gituu,,, terima kasih banyak deh udah nemuin dan susah-susah nyari aku untuk
ngembali’in ni Hp. Dan juga,” omonganku seolah-olah terhenti. Aku ragu untuk
mengucapkannya, tapi kulanjutin aja lagi.
“Maaf
ya udah bersikap gak sopan tadi sama kamu, main pergi aja lagi.” Lanjutku malu,
dengan kepala tertunduk.
“Iya
gak apa, lagi pula kan aku yang salah, jalan gak liat-liat ada orang di depan.”
Katanya memaafkanku.
Setelah itu kami terdiam satu sama lain
tanpa satu kata pun yang terucap. Seolah-olah kami berada difikiran
sendiri-sendiri, bingung memikirkan apa yang mau dikatakan. Hanya suara deburan
ombak serta angin sepoi-sepoi yang berada ditengah-tengah kami.
“Ehh!!”
ucap kami bersamaan tanpa sengaja, memecah kesunyian. Kami saling tatap, lalu
berbalik membelakangi dengan perasaan malu.
“Aduuhhh,
koq bisa bareng gini sih ngomongnyaa??” aku bicara pada diriku sendiri dalam
hati. Lalu kami pun memandang kearah laut.
“Udah,,
kamu aja dulu yang ngomong.” Pintanya padaku. Dari pada ngecewain dia, jadi aku
dulu yang ngomong.
“Ehmm
anu,, kamu orang sini ya?” aku mulai bicara.
“Iya
benar. Kenalin nama aku Adi, Adi Sugiarto. Aku memang asli orang sini, kamu
orang baru ya??” dia mengenalkan dirinya, aku jadi tambah malu. Nggak tau malu
karena apa, pokoknya malu dah!
“Iya,
nama aku Riri Syafitri, panggil aja Riri. Koq tau kalau aku orang baru disini?”
aku bertanya lagi, karena merasa ada yang ganjal dihati.
“Ohh,
kalau itu aku taunya karena setiap sore aku kesini, dan baru kali ini aku liat
kamu!” jelasnya.
“Ooo,,,,
emang kamu gak capek atau gak bosen apa kesini terus?” tanyaku masih penasaran.
“Tentu saja tidak! Selain aku tinggal didekat sini, pantai
ini terlalu indah untuk ditinggalkan.”
Dari situlah awal pembicaraan kami dan
terus berlanjut hingga tak terasa kalau matahari sudah sampai diujung ufuk
barat. Dan kami pun berpisah. Esok harinya aku mendaftar kesalah satu kampus
yang ada di Bangka, yaitu Snow Rose University. Wooww bukan main deh besar,
megah, dan cantiknya ni kampus. Gak pernah terbayangkan ama aku kalau ada
kampus seperti ini disini. 2 hari berikutnya aku kembali lagi kekampus melihat
hasil siswa yang masuk di kampus itu. Dan alangkah senangnya aku, ternyata aku
masuk diantara siswa-siswa yang lain.
Seminggu berlalu, tibalah hari pertama
aku masuk kuliah, yaitu hari pelaksanaan OSPEK. Hari pertama aku melaksanakan
OSPEK, tampak olehku mana kakak senior yang baik bagaikan snow alias salju, dan
yang jahat ataupun galak seperti rose, alias mawar yang berduri. Aku sangat
berhati-hati agar tidak dibenci oleh kakak-kakak senior disini. OSPEK kali ini
sangat membuatku malu, dikepang dua, memakai bedak dingin, hidung badut, tas
plastik, ada-ada aja deh!! Dan juga aku mendapat 2 teman satu gugus, Reni dan
Rini. Mereka saudara kembar, dan kompak banget. Saat istirahat OSPEK, dari jauh
aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal. Iya gak salah lagi, itu Adi!
“Adiii,,,,!!!”
aku berteriak sekuat-kuatnya dan melambai-lambai sampai semua orang melihatku,
baik teman, maupun kakak senior. Adi pun menoleh kepadaku.
“Ehh
Ri, kamu apa-apaan sih??” Reni memukul tanganku.
“Aduhh,
apa-apaan apanya?” aku mengelus tangan yang dipukul Reni tadi dan meminta
penjelasan.
“Iya
ni Riri. Kamu gak sadar apa, kamu tu salah!!!” Sanggah Rini yang membuatku
tambah bingung.
“Salah
apanya sih??? Aku jadi tambah bingung!!” Aku menggaruk-garuk kepala.
“Kamu
tu salah, salah besar!! Kamu tau gak, dia itu siapa? Dia tu orang penting disini!!!”
Tambah Rini.
“Adi
maksudnya? Emang dia sepenting apa sih?” jawabku enteng.
“Ihhh
kamu ini!!! Jangan sembarangan dengan dia!! Dia itu kakak senior kita!” geram
Reni.
“Itu
aja?? Ahh, gak penting-penting amat menurutku.” Jawabku acuh tak acuh.
“ Bukaan!!
Aku belum selesai! Dia itu juga mahasiswa paling ganteng disini, semua cewek
ngejar-ngejar dia! Udah tu dia juga anak dari donatur terbesar dikampus ini,
anak terpintar lagi. Jadi kamu jangan macem-macem dan jangan memanggilnya
dengan sebutan Adi lagi kalau kamu masih mau kuliah disini!” jelas Reni.
“Apaaa??
Kenapa gak bilang dari tadi? Aduhh gimana ni?? Aku harus kabur kemana
sekarang?” teriakku histeris. Aku gelisah banget, dan ketakutan membuat aku
panik sepanik-paniknya.
“Hmmmm
udah terlambat untuk kabur, dia dan teman-temannya udah 2 meter dari kita.
Tamatlah riwayat kita sekarang!” jawab Rini dan Reni pasrah. Kami terdiam
melihat Adi dan kawan-kawannya menghampiri kami.
“Hei
Riri, apa yang sedang kamu lakukan disini?” Adi bertanya langsung padaku.
“Aaaaaa,
maaf kak, maafin aku. Aku gak sengaja manggil kakak, aku gak tau kalau kakak
adalah kakak senior aku, kejadian yang kemarin-kemarin anggap aja angin lalu,
dan anggap saja aku ini gak pernah ada!” saking takutnya aku ngomong
kebablasan, bersujud-sujud dibawah Adi, sampai semua orang bingung melihatku.
“Hei
Di, apa yang sedang dia lakukan? Seperti maling tertangkap saja?” bisik
temannya pada Adi.
“Entahlah,
aku juga tidak tau. Perasaan aku gak melakukan apa-apa.” Adi bingung melihatku.
Sejenak aku terdiam dan bangkit dari sujud.
“Hahahahahahaha.”
ledak tawa terdengar seperti mengejekku, aku merasa malu sekali. Bahkan 2
temanku juga merasakannya.
“Sudahlah Ri, nanti sore sepulang dari kuliah, temui aku di
tempat kemarin!” ucap Adi dan berlalu meninggalkanku.
Setelah itu terus terfikirkan olehku,
tentang kata-kata temanku dan Adi yang membuatku takut untuk menemui Adi,
sampai tiba waktu pulang aku terus memikirkannya, bagaimana kalau nanti Adi
marah besar dan langsung mengeluarkanku dari kampus? Aduhh bisa gawat, masa
baru satu hari masuk kuliah udah dikeluarin? Apa nanti kata keluargaku? Tanpa
terasa, aku sudah sampai saja di pantai, dan hanya 3 meter lagi dari batu. Di
atas sana, sudah ada Adi duduk menungguku, aku jadi tambah takut dan ingin pergi
dari situ. Saat aku ingin membalikkan badan ingin berlalu dari situ, Adi
memanggilku.
“
Ririii, tunggu apalagi disitu?? Ayo cepat naik!!!” teriak Adi memanggilku.
“Hahh, iya iya tunggu bentar. Aku akan datang!” balasku.
Aku jadi deg-degan, badanku bergetar
akan ketakutan dan kemarahan Adi nanti. Tetapi, aneh banget kalau emang dia
marah, tapi koq dari kampus tadi, wajahnya fine fine aja tuh, gak ada
sedikitpun kemarahan dimukanya. Ahh aku coba aja deh untuk menghampirinya. Aku
duduk disampingnya. Awalnya aku terdiam, memikirkan kata-kata yang tepat untuk
meminta maaf. Tapi akhirnya aku buka mulut juga.
“Kak,
maafin aku ya?” aku mencoba bicara duluan.
“Maaf
untuk apa?” jawab Adi bingung.
“Aku
gak tau kalau kakak itu kakak senior aku, anak donatur terbesar, dan orang yang
terkenal dikampus!” jelasku.
“Apa
yang kamu bicarakan? Emangnya kalau aku kayak gitu kamu mau apa? Menjauhiku?”
tanyanya bertubi-tubi padaku.
“Bukan,
bukan begitu kak!” aku udah mulai gugup dan takut.
“Bukan
begitu gimana? Emang benar sih, kalau aku itu seperti apa yang kamu sebut tadi,
tapi aku gak mau diperlakukan seperti raja, disanjung-sanjung. Dan juga masalah
terkenal itu, itu hanyalah tanggapan orang, aku gak merasa seperti itu, mereka
saja yang berlebihan. Dan juga, jangan memanggilku kakak lagi, panggil saja
Adi, A De I. Ngerti?” jelas Adi panjang lebar.
“Iya
deh kalau gitu, gak perlu pakai emosi juga kali!” kataku untuk mendinginkan
suasana.
“Gimana
gak emosi kalau kamu juga ikut-ikutan bersikap seperti itu padaku.” Jawab Adi.
“Iya iya, aku minta maaf! Oiya, aku gak nyangka kalau aku
bisa satu kampus ‘ama kamu, beruntung banget kayaknya aku. Hehehe!” aku mulai
bercanda. Kami terus mengobrol sampai hari memisahkan kami.
Hari-hari berikutnya aku sudah tidak
canggung lagi di kampus, bahkan setelah selesai OSPEK. Selain dekat dengan 2
temanku, aku juga semakin dekat dengan Adi, walaupun dia kakak kelas, tetapi
hampir setiap jam istirahat kami selalu bertemu. Sampai-sampai banyak orang
yang salah tanggap pada kami, yang katanya aku dan Adi berpacaran. Padahal kami
hanya berteman.
Suatu hari, Adi datang menghampiriku di
ruang kelas, dia mengajakku untuk main kepantai lagi usai kuliah, tanpa ragu
aku menerimanya dengan senang hati. Dan usai kuliah Adi sudah menungguku di pintu
gerbang kampus dengan motornya. Dia menyuruhku naik dibelakangnya, awalnya aku
gak mau, habis gak enak dilihatin sama kakak-kakak senior dan teman-temanku.
Apalagi nanti kata mereka tentang kami? Tapi aku juga memikirkan perasaan Adi,
nanti kalau aku tolak pasti dia bakal marah besar padaku. Yah apa boleh buat
lah, lebih baik aku mementingkan perasaannya dari pada pertemanan kami usai
disini. Aku naik dibelakangnya, semua orang disitu melongo alias terdiam
seperti sapi ompong melihat kami. Karena malu, aku menundukkan kepalaku sampai
di pantai. Seperti yang sudah-sudah, dipantai kami selalu duduk diatas batu
awal perjumpaan kami. Di atas situ, kami duduk terdiam menghadap laut, lalu Adi
pun mengeluarkan kata-kata yang membuatku terkejut.
“Riri,
kamu mau gak jadi pacar aku?” kata Adi yang langsung pada intinya itu membuatku
seperti tak bernafas. Bagaikan waktu berheti, angin berhenti berhembus, dan
suasana sepi sekali. Sampai ombak yang terhempas dibatu yang kami duduki
membuatku terbangun dari suasana.
“Hah???
Hahahahahaha,,,, bercandamu jelek Di, alias basi. Hahahaha!” tawaku memecah tak
percaya apa yang dikatakan oleh Adi.
“Aku
serius Ri!!! Kamu gak liat muka aku?” Adi mencoba meyakinkanku.
“Kamu
serius? Tapi, apa nanti,,,” kata-kataku terputus.
“Nanti
apa? Kata-kata orang? Biarin aja. Aku gak mikirin kata orang, tapi aku
memikirkan kata hatiku.” Adi memegang pipiku.
“Apa
kamu gak menyesal?” aku ragu akan pernyataan Adi.
“Untuk
apa aku menyesal kalau ini yang hatiku inginkan?” melepas tangannya dari pipiku.
“Baiklah kalau begitu.” Aku menerima Adi sebagai pacarku. Adi
memberiku setangkai bunga mawar yang aku tanam dihalaman rumahku.
Sejak jadinya aku dan Adi berpacaran,
banyak gosip-gosip yang terdengar, ada yang benar dan ada juga yang
dibuat-buat, tapi itu tidak membuatku goyah untuk tetap mencintai Adi, begitu
juga Adi padaku, banyak teman-temannya yang mengejek-ngejek dirinya berpacaran
dengan anak miskin sepertiku. Ya, ku akui memang hidupku gak mewah-mewah amat, tapi
yang penting aku dan keluargaku masih tetap bertahan dari jerat kemiskinan, dan
Adi pun tidak memikirkan hal itu, bahkan dia bertambah sayang padaku akan hal
itu, setiap Adi mengajakku ke pantai ataupun datang kerumahku, dia selalu
membawakan bermacam-macam bunga untukku. Dia tau banget kalau aku menyukai
bunga, setiap bunga yang ia berikan, selalu aku tanam dihalaman rumah, Adi pun
juga mengetahui akan hal itu.
Tidak terasa hubungan kami sudah
berjalan setengah tahun, dan besok adalah hari ulang tahun Adi, malamnya akan
diadakan pesta besar. Seluruh mahasiswa dikampus diundangnya. Aku selaku pacarnya
bingung sekali akan hal itu! Gaun apa yang pantas untukku. Aku tidak mempunyai
gaun yang indah, mewah ataupun mahal. Dan juga aku bingung memikirkan hadiah
yang cocok untuk Adi. Pusing berfikir, aku memutuskan untuk memakai pakaian
bagus yang aku punya saja, aku tidak mau membuang-buang uang dengan percuma
hanya untuk sebuah gaun, lagi pula Adi tidak suka kalau aku berfoya-foya. Dan
hadiahnya, aku membuat sendiri bingkai foto, dan mencuci foto kami berdua saat
duduk dibatu perjumpaan kami. Besok malam aku berangkat kepesta Adi dengan
diantar oleh pamanku. Disana Adi telah menungguku, aku langsung memberikan
hadiah kepadanya, lalu dia membawaku masuk kepekarangan rumahnya. Ternyata
pestanya disekitar kolam renang miliknya, dan orang tuanya sudah menunggu
disana.
“Adi,,
mana pacarmu?” Mamanya bertanya.
“Malam
Om, Tante? Saya Riri pacar Adi!” aku deg-degan banget ngomong sama orangtuanya
Adi. Aku mengulurkan tanganku, tetapi alangkah sedihnya hatiku, uluran tanganku
tidak dibalas baik oleh orangtua Adi.
“Iya
Pa, Ma, ini Riri pacar Adi!” tambah Adi. Orangtua Adi tidak memperdulikan kami
dan langsung pergi melihat tamu yang lain. Aku mencoba untuk sabar memahami
perasaan orangtua Adi.
“Udah gak perlu difikirin, orangtuaku emang begitu!! Oiya,
tunggu sebentar, aku ambilkan minum dulu!” Adi menenangkanku dan berjalan
meninggalkanku.
Aku melihat kesana kemari, melihat tamu
yang datang. Pandangan mereka begitu tajam padaku. Tiba-tiba ada orang menyenggolku
dari belakang, dan mengambil Hp ditanganku.
“Ahaa,,,
kita dapat Hp nya ni, mau kita apakan enaknya ya??” teman-teman Adi menggodaku,
mereka mengambil dan memain-mainkan Hp ku.
“Gimana
kalau kita cemplungin aja ke air? Pluung!!! Hahahaha!!!!” mereka menggantung Hp
ku diatas kolam renang dan ingin memasukkan Hp ku ke air.
“Jangan!!!
Jangan dimasukkan!! Itu Hp ku satu-satunya!” aku mencoba untuk menggapai, tapi
tidak sampai.
“O o
o o! Kasihan sekali sih? Beli Hp ginian aja gak bisa! Oya aku lupa, dia kan kismin!
Eh miskin maksudnya. Hahahaha!!!” salah satu dari mereka mengejekku, aku mulai
merasa malu.
“Udah
udah, masukin aja tu Hp.” Tambah satunya lagi.
“Okey,
okey!” Yang memegang Hp ku mulai mendekati kolam.
“Jangaaaaannnn!”
aku berteriak.
“Satuuu,,,,,,dua,,,,,,tiga,,,,,”
mereka melepas Hp ku.
Pluuung Hp ku masuk kekolam, aku
berusaha mengambilnya, dan terjun kekolam. Bodohnya akuuu!!! Udah tau gak bisa
berenang pakek acara masuk kolam. Alhasil aku hampir tenggelam. Dari jauh Adi
berlari dan terjun kekolam. Byurrrr, dia menyelamatkanku sampai di atas kolam
dia marah besar pada temannya, dan menghentikan acara yang sedang berlangsung
itu. Aku kedinginan, orangtua Adi tidak suka melihatku, akhirnya aku pulang
diantar oleh Adi. Keesokan harinya aku tidak masuk kuliah, aku flu gara-gara
kejadian tadi malam.
Sore harinya Adi datang mengunjungiku,
dia takut terjadi apa-apa padaku.
“Di,
maafkan aku ya? Gara-gara aku, pestamu jadi berantakan dan dihentikan!” ucapku
menyesal akan yang terjadi semalam.
“Untuk
apa kamu minta maaf? Seharusnya aku yang minta maaf, gara-gara temanku kamu
jadi seperti ini!” sesal Adi.
“Aku
gak kenapa-napa koq! Cuma flu aja.” Kataku untuk menghilangkan kecemasan Adi.
“Oya,
ini Hp nya, aku ganti yang baru, yang lama udah gak bisa dibenerin.” kata Adi.
Saat aku ingin mengambil Hp yang diberikan Adi, tiba-tiba dia terbatuk menutupi
mulut dengan sapu tangannya, dan tak lama ia jatuh pinsan.
“Adi, adi? Bangun Adi, Adiiiii!!!” aku membangunkannya tetapi
ia tidak bangun-bangun.
Aku menangis dan membawanya kerumah
sakit, lalu ku menelephon orangtuanya. Tak lama merekapun datang.
“Dasar kamu ini anak pembawa sial! Kemarin kamu hancurkan
pesta anakku, dan sekarang kamu mencelakakannya, dasar anak tidak tau diuntung!
Pergi kamu dari sini dan jangan ganggu
Adi lagi.” bentak ayah Adi.
Aku tidak sempat untuk menjelaskan apa yang terjadi. Sebelum
ayahnya bertambah marah, aku pergi dari situ. Disitulah aku baru sadar betapa
bencinya orangtua Adi kepadaku. Maka dari itu aku mencoba untuk tidak bertemu
lagi dengan Adi. Tiba dirumah aku melihat saputangan yang ditinggal Adi. Ada
sedikit darah disapu tangan itu, membuatku jadi curiga apa yang sebenarnya
terjadi pada Adi.
3 hari berlalu, Adi sudah dapat pulang
kerumah. Dan sudah bisa masuk kampus. Setiap berjumpa dengannya aku selalu
menghindar, sehingga timbul curiga pada Adi. Selesai kampus aku pergi kepantai
duduk di batu memandang laut. Tiba-tiba Adi datang, aku mencoba untuk lari,
tetapi Adi sudah dulu memegang tanganku.
“Ada apa Ri? Mengapa kamu selalu menghindar dari ku? Apa
yang salah denganku?”tanya Adi.
“Lupakan
aku Di, aku tidak pantas untukmu, cari saja cewek yang lain yang lebih dari ku,
ini sapu tanganmu, anggap saja selama ini kita tidak pernah kenal!” aku
mengalih pembicaraan Adi, dan melepaskan pegangan Adi.
“Tunggu,,, pasti ini gara-gara orangtuaku kan Ri? Mengapa
kamu begitu percaya dengan mereka? Aku tidak mau kehilangan kamu Ri! Sudahlah,
ikut aku! Kita jumpai orangtua ku!” Adi menarik tanganku, aku hanya bisa
terdiam.
Sampai kami dirumah Adi, orang tuanya
langsung marah-marah pada kami.
“Adi!!!
Mengapa kamu bawa lagi gadis sial ini kesini? Dia hanya bisa membawamu celaka!
Usir dia!!” Papa Adi menyuruh Adi untuk mengusirku.
“Tidak
Pa, aku mencintainya, aku tidak mau kehilangannya!” Adi mencoba untuk
melindungiku.
“Persetan dengan cinta! Hei kamu gadis miskin, pergi sana
jauh-jauh, jangan kembali lagi dikehidupan anakku.” Bentak Papa Adi mengusirku.
Mendengar itu, aku lari keluar rumah
meninggalkan Adi, aku tidak mau lagi dihina oleh Papa Adi.
“Papa,
mengapa Papa begitu tega padaku?” kata Adi marah.
“Ini
demi kebaikanmu nak!! Sekarang masuk kekamarmu!” jawab Papa Adi.
“Tapi Pa,,,,” Adi ingin melawan tapi tak bisa. Dia masuk
kekamarnya dengan penuh emosi.
Tak lama terdengar suara vas bunga terjatuh
dikamar Adi. Orangtua Adi berlari menuju kamar, ternyata mereka menemukan Adi tak
sadarkan diri. Mereka menelephon dokter kerumah. Dan Adi dirawat dirumah. Suatu
malam, orangtua Adi berbicara.
“Pa,
apa sudah waktunya kita memberitahu Adi tentang penyakitnya?” ucap Mama Adi.
“Tidak
Ma, Papa masih takut untuk kehilangan Adi.” Tolak Papa Adi. Tiba-tiba Adi
muncul dari kamarnya.
“Apa
yang harus Adi ketahui Pa? Mengapa Papa begitu takut kehilangan Adi? Apa
sebenarnya yang terjadi pada Adi?” Adi meminta jawaban. Tapi orang tuanya hanya
tertunduk diam tak mau bicara.
“Jawab
Pa, Ma? Apa Papa sama Mama mau liat Adi mati disini?” dengan muka bertambah
pucat Adi membentak dan mengancam.
“Baiklah nak, mungkin ini sudah waktunya! Sebenarnya kamu
terkena penyakit TBC, dan dokter bilang umurmu tidak lama lagi! Itu lah yang
membuat Papa dan Mama takut kehilanganmu dan tak ingin kamu diganggu oleh
siapapun karna itu akan membuatmu dan mereka menjadi sedih!” jelas Papa Adi.
Setelah mendengar itu Adi terdiam bagai
patung dan kembali jatuh pingsan. Mama Adi menangis melihat keadaan Adi yang
semakin memburuk itu. Mereka mengangkat Adi kekamar. Aku tidak mengetahui apa
yang terjadi pada Adi, aku menghabiskan waktu untuk kepantai dan menanam bunga
yang diberikan oleh Adi dibelakang batu yang sering kami duduki. Aku tidak
berani untuk menjenguk Adi, pasti orang tuanya tidak mengizinkanku untuk
bertemu dengan Adi. Seminggu kemudian Adi barulah sadar, dan dia mempunyai
suatu permintaan pada orangtuanya. Dilain tempat aku merawat bunga-bungaku
dengan baik sehingga semua bunga itu bermekaran hari ini juga.
“Ma,
Pa, Adi punya satu permintaan pada Papa dan Mama!” ucap Adi dengan
tertatih-tatih.
“Minta
apa Nak? Pasti akan kami turuti!” jawab Mama Adi.
“Aku
ingin menemui Riri Ma, Pa! Aku ingin memberikan hari yang paling terindah yang
terakhir kali untuknya!” pinta Adi.
“Tapi
Di, kondisi kamu masih belum stabil! Tunggulah saat sehat!” saran Papa Adi.
“Bukankah
Papa sendiri yang bilang kalau umurku tidak akan lama lagi? Aku mohon Pa, untuk
yang terakhir kali!” Adi memelas.
“Baiklah, tapi kamu tidak boleh terlalu capek, dan jangan
pergi terlalu jauh.” Pesan Papa Adi.
Setelah mendapatkan izin, Adi langsung
berangkat menuju pantai dan tak lama pergi menjemputku.
“Riri,
ayo ikut aku!” Adi menarik tanganku, tetapi aku menolaknya.
“Adi!
Apa yang kamu lakukan disini? Pulanglah kerumahmu, orangtuamu tidak
mengizinkanku untuk dekat denganmu, lagi pula sekarang kamu sedang sakit!” aku
memarahi Adi.
“Untuk kali ini saja Ri, setelah itu kamu boleh melupakanku
untuk selamanya!” Adi langsung saja menarikku dan membawaku pergi kepantai.
Ternyata dipantai Adi sudah menyiapkan
sesuatu yang indah sekali di atas batu awal perjumpaan kami. Di batu itu ia
melukis 2 wajah pasang kekasih yang dilingkarinya dengan bentuk hati dan
menulis nama kami berdua dan juga, Adi menyediakan makanan untuk kami berdua
diatas batu itu. Walau sederhana tapi itu membuatku senang sekali.
“Adi,
untuk apa kamu siapkan semua ini? Lebih baik kamu istirahat saja dirumah.
Mukamu begitu pucat!” aku seolah tak percaya apa yang dilakukan Adi, padahal ia
sedang sakit.
“Riri,
disini aku ingin menunjukkan betapa besarnya cintaku padamu seperti laut ini,
putih seperti pasir Pantai Pasir Padi ini, keras seperti batu ini, dan awet
seperti angin yang slalu berhembus dari laut. Aku gak mau kehilanganmu Riri,
walaupun ajal memisahkan kita!” Ungkap Adi.
Disitu aku mulai curiga, apa sebenarnya
maksud dari perkataan Adi. Tapi aku gak mau menanyakannya, aku takut membuat
Adi sedih. Kami memakan makanan yang sudah disediakan oleh Adi, setelah makan
kami memandang laut dan aku bercerita tentang bunga yang kutanam di belakang
batu.
“Adi,
aku punya kejutan untukmu!” ucapku. Aku ingin membuat Adi senang.
“Lihatlah
dibelakang batu ini, bunga-bunga yang bermekaran itu, aku yang menanamnya, dan
bibitnya ku ambil dari bunga yang kamu berikan padaku!” lanjutku. Adi tersenyum
bahagia mendengarnya, seolah-olah aku merasakan hal itu dari senyumannya.
“Riri,
seandainya aku lebih dulu pergi meninggalkanmu, relakanlah aku. Dan biarkanlah
bunga-bunga ini yang menemanimu menggantikanku.” Sejenak Adi terdiam.
“Haaahhhh,,, senangnya aku hari ini bersama kekasih hati
menikmati indahnya pantai sampai matahari tenggelam. Terimakasih Riri, atas
hadiahmu dan kesediaanmu menemaniku selama ini! Ayo kita pulang!” kata-kata Adi
penuh makna yang tak aku mengerti. Dia langsung menarikku untuk pulang. Sesampainya
dirumahku,
“Riri,
mulai saat ini, lupakanlah aku, carilah penggantiku, dan jangan memikirkanku
lagi!” pinta Adi yang membuatku marah.
“Apa maksudmu Di? Jadi semua yang kita lakukan hari ini
hanya untuk mengatakan ini padaku? Kata-kata yang membuatku sakit? Kamu tega
Adi! Kamu tak tau betapa besarnya cintaku padamu, bukan karena materi! Tetapi
karna hatimu Adi! Kamu tega padaku!” aku menangis, marah pada Adi, dan masuk
rumah meninggalkan Adi.
Tak lama melihatku, Adi pun pergi! Aku
menangis tak kuasa mendengar kata-kata Adi, dan berfikir mengapa Adi melakukan
hal itu. Aku sadar, aku tidak perlu memarahi Adi, mungkin ada maksud lain dari
Adi. Aku akan meminta maaf padanya esok pagi.
Esok paginya, pagi-pagi sekali aku
datang kerumah Adi dengan maksud untuk meminta maaf. Tapi alangkah terkejutnya
aku! Dirumah Adi banyak orang yang datang, bendera-bendera kecil berwarna
kuning berkibaran. Aku bertanya dengan orang yang ada disitu.
“Maaf pak, ada apa ya? Kok ramai sekali dirumah Adi? Siapa
yang meninggal?” aku bertanya pada salah satu orang. Tetapi tidak satu
jawabanpun yang kudapat. Aku bertambah penasaran dan masuk kerumah Adi!
Bertambah terkejutnya aku setelah melihat siapa yang terbaring kaku diselimuti
kain kafan itu!
“Adiiii,,,,
apa yang terjadi padamu Di? Mengapa kau meninggalkanku begitu saja? Apa ini
maksud dari semua yang kau katakan semalam? Mengapa kau tidak bilang kalau kau
akan pergi untuk selamanya?” aku menangis tersedu-sedu memeluk Adi, tak percaya
Adi meninggalkanku secepat ini. Mama dan Papa Adi yang melihatku mencoba untuk
menenangkanku.
“Sudahlah
Ri, jangan kau tangisi lagi Adi! Biarkanlah dia pergi dengan bahagia
meninggalkan kita!” nasehat Mama Adi.
“Mengapa
Adi pergi secepat ini Tante? Apa yang sebenarnya terjadi pada Adi?” aku meminta
jawaban.
“Inilah
yang tidak kami inginkan Riri! Kami tidak mau memberi tahumu kalau Adi
menderita penyakit TBC, kalau kau tau, pasti kau akan lebih sedih lagi! Kami
tidak ingin banyak orang yang menderita akibat ini!” jelas Papa Adi.
“Apaaa??? Mengapa Om dan Tante tidak bilang dari dulu? Aku
sudah banyak berfikir salah pada Adi, dan belum sempat untuk meminta maaf
padanya! Disaat aku ingin meminta maaf, dia sudah pergi. Adiii,,, maafkanlah
aku yang sudah memarahimu semalam tanpa tau maksud mu Adi,, maafkanlah aku!”
Aku masih memeluk Adi dan tetap menangis.
Sampai
pemakamanpun aku tetap menemani mengantarkan Adi bahkan setelah orang-orang
mulai pulang, aku tetap duduk didepan nisan.
“Adi, mungkin inilah terakhir kalinya aku melihatmu, begitu
sulit ku percaya akan hal ini Adi! Hidup tenanglah kau disana. Selamat tinggal
Adi!” kata-kataku seolah berbisik pada Adi. Lalu aku pergi meninggalkan
pemakaman, aku pulang kerumah dan memutuskan untuk kembali ke Riau setelah habis semester.
Hari-hariku sepi tanpa senda gurau bersama
Adi! Dipantai aku memandang laut sendiri tanpa Adi disampingku, hanya
bunga-bunganya yang masih mau menemaniku. Selesai semester aku berpamitan pada
nenek, kakek, keluarga, dan juga orangtua Adi. Sebelum pulang, aku pergi
kepantai dulu untuk yang terakhir kali. Aku duduk termenung diatas batu.
“Ini
adalah saat terakhirku berada disini! Jagalah baik-baik dirimu Adi! Tetaplah
mekar menemani batu ini.” aku berbicara pada bunga-bunga yang kutanam dan turun
meninggalkan pantai.
“Selamat jalan Adi!! Selamat jalan!! Aku senang mempunyai
pacar sepertimu! Walaupun kau telah tiada, tetapi cinta kita kan tetap hidup
dan indah seperti Pantai Pasir Padi! Selamat tinggal Adi!!” kalimat-kalimat
terakhirku yang ku curahkan dalam hatiku.
Setelah itu aku pergi meninggalkan
Bangka dan pulang ke Riau tempat orangtuaku, dan menjalani hari-hari yang
baru...
*SELESAI*