BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hadis
adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw. baik perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan Allah yang
disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak dapat disebut hadis. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka membedakan peran Rasulullah saw. sebagai seorang rasul
dan manusia biasa. Hadis hanya yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah SWT.
yang diemban oleh Muhammad saw. sebagai Rasulullah. Ini pun berdasarkan
perkataan, perbuatan, dan ketetapan. Sedangkan kebiasaan, tata cara berpakaian,
cara tidur, dan sebagainya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan
tidak dapat dikategorikan sebagai hadis.
Sebagai
umat Islam yang meyakini akan keberadaan Rasulullah dan Allah SWT. selain
bersandar pada hokum Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an, kita juga bersandar
akan hadis-hadis Rasulullah saw. Akan tetapi, kebanyakan orang bingung melihat
jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Dan kemudian kebingungan itu
hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai
tinjauan dan berbagai segi pandangan.
Salah
satu pembagian hadis ialah bila dilihat dari segi kuantitas jumlah perawi dan
sanadnya. Dan sebagian ulama membaginya menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Yang mana kedua
pembagian ini akan dijelaskan dalam makalah ini.
1.2
Rumusan Masalah
Dari penjelasan
pada latar belakang tersebut, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah,
yaitu sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan Hadis Mutawatir
dan Hadis Ahad?
2. Apa saja yang menjadi syarat-syarat
Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad?
3. Bagaimana pembagian Hadis Mutawatir dan
Hadis Ahad?
4. Dan bagaimana kehujjahan dari Hadis
Mutawatir dan Hadis Ahad tersebut?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan
yang dapat diambil dari rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut.
1. Mengerti akan arti dari Hadis Mutawatir
dan Hadis Ahad;
2. Mengetahui syarat-syarat Hadis Mutawatir
dan Hadis Ahad;
3. Mengetahui pembagian Hadis Mutawatir dan
Hadis Ahad; dan
4. Mengetahui kehujjahan dari Hadis
Mutawatir dan Hadis Ahad tersebut.
1.4
Manfaat
Diharapkan
setelah membaca makalah ini, pembaca paham dan mengerti serta tidak bingung
lagi akan pembagian-pembagian hadis, khususnya pembagian hadis dari segi
kuantitas perawi dan sanadnya. Selanjutnya, semoga makalah ini dapat menjadi
salah satu refernsi pembaca, menambah wawasan pengetahuan Islam, dan menjadi
salah satu motivasi untuk mengenal banyak tentang hadis.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Hadis Mutawatir
2.1.1
Pengertian Hadis Mutawatir
Kata
Mutawatir menurut bahasa merupakan isim fa’il
dari kata al-tawatur yang berarti
berturut-turut. Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian mutawatir:
Menurut
Mahmud al-Thahhan hadis mutawatir adalah:
“Hadis
yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil
mereka baersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”
Nur
ad-Din ‘Atar mendefinisikan hadis mutawatir sebagai berikut:
“Hadis
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak mungkin mereka
bersepakat untuk berdusta ( sejak awal sanad ) sampai akhir sanad . Hadis yang
diriwayatkan didasarkan pada pengematan pancaindra”.
Sedangkan
menurut shubhi al-Shalih mendifinisikan hadis mutawatir:
“Hadis
sahih yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut akal sehat dan
adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta ( yang diriwayatkan )dari
banyak periwayat pada awal, tengah, dan akhir sanadnya”
Berdasar
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir adalah hadis
sahih yang diriwayat oleh sejumlah periwayat yang mana menurut logika dan adat
istiadat mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Hadis ini banyak diriwayat kan
oleh banyak periwayat dari awal, tengah, hingga akhir sanad dengan jumlah
tertentu.
2.1.2
Syarat-syarat Hadis Mutawatir
a. Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Parawi
Para
ulama berbeda pendapat tenatang jumlah banyak para perawi hadis dan tidak ada
pembatas yang tetap. Di antara mereka ada yang berpendapat 4 orang, 5 orang, 7
orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang
bahkan ada yang mengatakan 300 orang. Namun pendapt yang terpilih minimal 10
orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.
Para
ulama yang menetapkan jumlah minimal parawi hadis tersebut berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat
sebenarnya inti dari penentuan jumlah banyak orang yang mana mustahil mereka
untuk berdusta. Yang terpenting bukan angka yang menunjukkan jumlah orang yang
meriwayatkan hadis pada tiap generasi periwayat, tetapi jumlah periwayat
tertentu yang menyebabkan mereka mustahil untuk berdusta baik diukur
berdasarkan akal sehat amupun adat kebiasaan.
b. Mustahil Secara Logika atau Adat Mereka
Sepakat Berdusta
Dari
syarat ini menunjukkan bahwa penentuan jumlah tertentu bukanlah ukuran pokok
untuk menentukan suatu hadis mutawatir, tetapi yang menjadi ukuran adalah
apakah dengan jumlah orang-orang yang membawa berita itu dapat diperoleh
keyakinan pasti atau belum, berdasarkan logika atau adat istiadat bahwa
diantara merela tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk berdusta, juga
menunjukkan bahwa logika dan adat istiadat yang dijadikan ukuran adalah
pemikiran rasional yang benar dan adat istiadat bersifat umum bukan berlaku
disatu temapat tetapi disemua tempat.
c. Jumlah Banyak itu Terdapat pada Setiap
Lapisan Sanad dari Awal hingga Akir
Mengenai
ukuran kesamaan atau keseimbangan ini ada dua kemungkinan, pertama ukuran
kesamaan atau keseimbangan adalah jumlah periwayat pada masing-masing genersai
berada pada kisaran yang sama, tidak terlalu jauh jumlahnya. Misalnya dari
kalangan sahabat 10 orang, tabi’in 9 orang, atba’ al-tabi’in 10 orang dan
seterusnya.
Kedua
ukuran kesamaan atau keseimbangan adalah pada jumlah minimal yang harus
dipenuhi. Misalnya jika suatu hadis diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian
diterima oleh 20 orang tabi’in dan seterusnya tidak kurang dari jumlah itu maka
dapat disebut sebagai hadis mutawatir.
d. Sandaran Berita berdasarkan pada Indra
Berita
yang disampaikan oleh para perawi hadis tersebut haruslah berdasarkan tanggapan
pancaindra. Artinya bahwa berita yang mereka sampaikan haruslah berdasarkan
hasil pendengaran, penglihatan, sentuhan, dirasakan atau dicium. Oleh karena
itu apabila berita itu merupakan hasil renungan atau berdasarkan logika semata
maka tidak dapat dikatakan hadis mutawatir.
2.1.3
Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut
beberapa ulama hadis mutawatir terbagi dua, yaitu mutawatir lafzhi dan
mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang membagi menjadi tiga, ditambah dengan
hadis mutawatir ‘malia.
a. Mutawatir Lafzhi
Hadis
mutawatir lafzhi adalah hadis yang mutawatir baik lafaz ataupun maknanya.
Menurut Muhammad al-Shabbagh hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat dari awal hingga akhir sanadnya dengan
menggunakan redaksi yang sama.
Hadis
mutawatir lafzhi memiliki beberapa syarat:
1) Dari segi sanad, harus banyak periwayat
yang meriwayat sejak awal hingga akhir sanadnya.
2) Matan hadis yang diriwayatkan
menggunakan redaksi yang sama.
Karena
syarat yang dimilikinya, hadis ini susah sekali untuk ditemukan ada yang
mengatakan bahwa hadis ini tidak ada dan ada juga yang mengatakan hadis ini
ada, tetapi hanya sedikit dan sulit untuk dikemukakan. Menurut Ibn Hajar
pendapat bahwa hadis mutawatir sedikit sekali atau tidak ada, hal ini
disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang jalan-jalan atau keadaan-keadaan
para periwayat serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa mereka tidak mungkin
mufakat untuk bedusta.
Contoh
hadis mutawatir lafzhi:
“Barang
siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya
dineraka”
Hadis
diatas diriwayatkan oleh lebih dari tujuh puluh sahabat nabi, demikian
seterusnya pada tiap thabaqah sanadnya diriwayat kan oleh banyak periwayat.
Menurut Abu Bakar Al-Sairi, bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh
enam puluh sahabat. Ada yang mengatakan diriwayatkan oleh enam puluh dua
sahabat, termasuk sepuluh sahabat yang telah diakui akan masuk surga. Dan masih
ada pendapat-pendapat lainnya.
b. Mutawatir Ma’nawi
Hadis
mutawatir ma’nawi adalah hadis yang mutawatir hanya pada maknanya saja bukan
pada lafalnya. Hadis mutawatir ini disepakati penuklikannya secara makna saja
sedangkan redaksinya berbeda-beda.
Menurut
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib hadis mutawatir ma’nawi adalah “hadis yang periwayatannya
disepakati maknanya, akan tetapi maknya tidak.”
Ada
juga yang mendefinisikan “Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang
menurut ada mustahil mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda-beda,
tetapi bertemu pada titik persamaan”.
Contoh hadis
mutawatir ma’nawi:
“Abu
Musa al-Asy’ari berkata: Nabi SAW. Berdoa kemudian dia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat
putih-putih kedua ketiaknya”
c. Hadis Mutawatir Amali
Hadis
mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia termasuk
urusan agama dan telah mutawatir antara di kalangan umat islam, bahwa Nabi SAW.
Mengajarkannya, menyuruhnya, atau selain dari itu.
Hadis
mutawatir amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu
shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat id, tata cara shalat,
pelaksanaan haji, kadar shalat jenazah, dan lain-lain.
2.1.4
Kehujjahan Hadis Mutawatir
Pengetahuan
yang disampaikan pada hadis mutawatir, menurut Muhammad al-Shabbagh, harus
bersifat dharuri yang diperoleh dari pengamatan pancaindra. Hal ini bertujuan
agar berita yang disampaikan berdasarkan ilmu pasti bukan berdasarkan
prasangka. Menurut ibn Taymiyah, orang yang telah meyakini ke mutawatiran suatu
hadis, wajib mempercayai kebenaran dan mengamalkan sesuai dengan isi kanduangan
nya. Sedangkan orang yangn belum mengetahui kemutawatirannya hendaklah
mengikuti dan meyerahkan kepada orang yang telah menyepakati kemutawatiran
hadis tersebut.
Mahmud
al-Thahhan menyatakan bahwa hadis mutawatir tesebut bersifat dharuri, yaitu
ilmu yang meyakini dan mengharuskan manusia mempercayai dan membenarkannya
secara pasti seperti orang yang menyaksikannya sendiri, tanpa disertai dengan
keraguan sedikitpun. Dengan demikian hadis mutawatir dapat diterima untuk
dijadikan hujjah tanpa harus mengkaji para periwayatnya.
Hadis
mutawatir ini tidak dipersyaratkan keadilan dan kedabithan periwayat,
keterlepasan dari syadz dan illat.
2.1.5
Kitab-kitab Hadis Mutawatir
Kitab-kitab
hadis mutawatir antara lain sebagai berikut:
a. Al-Azhar
Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah,
karya As-Suyuthi.
b. Qathf
Al-Azhar, karya As-Suyuthi merupakan resume buku
diatas.
c. Nazhm
Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir,
karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
d. Al-La’ali
Al-Mutanatsirah fil A;-Ahadits Al-Mutawatirah,
karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
2.2
Hadis Ahad
2.2.1
Pengertian Hadis Ahad
Al-Ahad
jama’ dari ahad, menurut bahasa
berarti al-wahid atau satu. Dengan
demikian khabar wahid adalah suatu
berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah, yaitu khabar
yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi
itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak membarikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis
mutawatir. Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadis mutawatir.
Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi,
hadis ahad adalah hadis yang sanadnya
sahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya
memberikan pengertian zhanni dan
tidak sampai kepada qath’i atau
yakin.
Sehingga, dari pengertian-pengertian tersebut
menunjukkan dua hal, yaitu hadis ahad
dari segi kuantitas perawinya berada di bawah hadis mutawatir, dan dari segi isinya hadis ahad berstatus zhanni
bukan qath’i.
2.2.2
Pembagian Hadis Ahad
a.
Hadis Masyhur
Secara bahasa, kata masyhur merupakan isim maf’ul
dari kata syahara berarti sesuatu
yang terkenal, yang dikenal, atau yang popular di kalangan manusia.
Sedangkan menurut istilah, menurut ulama ushul yaitu, “Hadis yang diriwayatkan
dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian
baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”. Ada juga yang
mendefinisikan secara singkat, “Hadis yang mempunyai jalan yang terhingga,
tetapi lebih dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis yang mutawatir”.
Berdasarkan pengertian tersebut, di kalangan
ulama memang dikenal beberapa hadis masyhur meskipun tidak mempunyai sanad sama
sekali yang disebut dengan masyhur non-istilah,
yang disebut juga hadis yang terkenal dalam pembicaraan, yaitu hadis-hadis yang
masyhur di kalangan masyarakat tertentu tanpa harus memenuhi syarat-syarat
hadis masyhur menurut ulama hadis, sehingga hadis kategori ini ada yang
mempunyai satu sanad saja, lebih, atau tidak ada sama sekali sanadnya. Berbeda
dengan hadis masyhur istilah yang
mensyaratkan jumlah tertentu untuk tiap angkatan sanadnya.
Hukum hadis masyhur istilah maupun
non-istilah tidak seluruhnya dinyatakan shahih, atau tidak shahih, akan tetapi
tergantung kepada hasil penelitian para ulama. Sebagian hadis masyhur ada yang
shahih, hasan, dan dha’if, bahkan ada yang mawdhu’. Namun memang diakui, bahwa
keshahihannya hadis masyhur istilah lebih kuat daripada keshahihan hadis ‘aziz
dan gharib yang hanya diriwayatkan satu atau dua orang perawi saja.
Dari definisi hadis masyhur istilah, diketahui bahwa para periwayat hadis jenis
ini berada di bawah jumlah periwayat hadis mutawatir. Meskipun jumlah periwayat
hadis masyhur banyak, tetapi dari jumlah yang banyak itu tidak sampai
menghasilkan ilmu dharuri melainkan ilmu zhanni, sehingga dengan demikian
statusnya sebagian dapat dijadikan hujjah dan sebagian lainnya tidak,
tergantung kualitas hadis yang bersangkutan.
Hadis masyhur ini ada yang berstatus sahih,
hasan, dan dha’if. Yang dimaksud dengan hadis masyhur sahih adalah hadis
masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis sahih, baik pada
sanadnya, maupun matannya. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan
adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik
mengenai sanad, maupun matannya. Adapun yang dimaksud hadis masyhur dha’if
adalah hadis masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadis sahih dan hasan,
baik pada sanad maupun ada matannya.
Hadis masyhur dapat diholongkan sebagai
berikut.
1)
Masyhur di kalangan ahli hadis, seperti hadis
yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW.membaca doa qunut sesudah ruku’ selama
satu bulan penuh, berdoa atas golongan Ri’il dan Zakwan.
2)
Masyhur di kalangan ulama ahli hadis,
ulama-ulama lain, dan di kalangan orang umum, seperti hadis “Orang Islam adalah orang-orang Islam yang
selamat dari lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari-Muslim).
3)
Masyhur di kalangan ahli Fiqh, seperti “Rasulullah SAW. melarang jual beli yang di
dalamnya terdapat tipu daya”. (HR. Muslim)
4)
Masyhur di kalangan ahli Ushul Fiqh, seperti
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu
perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia meperoleh
dua pahala, dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh suatu
pahala”. (HR. Muslim)
5)
Masyhur di kalangan ahli Sufi, seperti “Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui
Aku merekapun kenal padaKu”.
6)
Masyhur di kalangan ulama-ulama Arab, seperti
ungkapan “Kami (orang-orang Arab) yang
paling fasih mengucapkan huruf Dad, sebab kami dari golongan orang Quraisy”.
Adapun
kitab-kitab yang memuat hadis masyhur non-istilah diantaranya sebagai berikut.
1)
Al-Maqashid Al-Hasanah
fima Usytuhira ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi.
2) Kasyfu Al-Khafa’ wa Muzil Al-Ilbas fima
Usytuhira min Al-Hadist ‘ala Alsinah An-Nas, karya Al-Ajaluni.
3) Tamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fima Yadur
‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadist, karya Ibnu Ad-Daiba asy-Syaibani.
b.
Hadis ‘Aziz
Kata ‘aziz
dalam bahasa Arab berasal dari kata :’azza-ya
‘izzu yang berarti sedikit atau jarang dan kata : ‘azza ya ‘azzu yang berarti kuat dan sangat. Disebut demikian
karena hadis kategori ini sedikit adanya dan jarang, atau karena kuat dengan
adanya sanad yang dating dari jalur lain. Sedangkan menurut istilah, “Hadis yang pada semua thabaqah sanadnya
tidak kurang dari dua orang periwayat”. Artinya, bahwa tiap tingkatan sanad
hadis ‘aziz tidak kurang dari dua orang periwayat.
Menurut Mahmud Al-Thahhan, bahwa sekalipun
dalam sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada
masalah, asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah
perawinya hanya dua orang. Sehingga dapat dikatakan, hadis ‘aziz bukan saja
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat, yakni sejak dari
thabaqat pertama sampai terakhir, tetapi selagi salah satu thabaqat didapati
dua orang perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai hadis ‘aziz.
Hukum hadis ‘aziz adakalanya shahis, hasan,
dan dha’if tergantung persyaratan yang terpenuhi, apakah memenuhi seluruh
criteria persyaratan hadis shahih atau tidak. Jika memenuhi segala
persyaratannya berarti berkualitas shasih dan jika tidak memenuhi sebagian atau
seluruh persyaratannya maka tergolong hadis hasan atau dha’if. Adapun
kitab-kitab yang khusus menghimpun hadis-hadis ‘aziz belum didapatkan mungkin
karena kelangkaan hadis tersebut.
c.
Hadis Gharib
Kata gharib
secara bahasa berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Di samping istilah
gharib dikenal pula hadis fard yang
menurut sebagian ulama hadis keduanya sinonim. Akan tetapi, ada pula ulama yang
membedakan antara keduanya. Dalam penggunaannya, menurut Shubhi al-Shalih,
kebanyakan ulama membedakan antara hadis fard
dan hadis gharib, yaitu hadis fard
dimaksudkan pada fard mutlak, yaitu hadis yang diriwayatkan secara sendirian
oleh seorang periwayat meskipun terdapat banyak jalur sanad padanya. Adapun
hadis gharib adalah hadis fard nisbi, yaitu hadis yang diriwayatkan secara
sendirian oleh seorang periwayat pada tempat sanad manapun ketersendirian itu
terjadi.
Menurut Mahmud al-Thahhan, hadis gharib
terbagi menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi. Gharib mutlak adalah
hadis yang diriwayatkan secara sendirian pada thabaqah sahabat. Adapun hadis
gharib nisbi adalah hadis yang diriwayatkan secara sendirian di tengah-tengah
sanad meskipun diriwayatkan oleh banyak periwayat pada thabaqah sahabat. Contoh
hadis gharib mutlak yaitu:
“Sesungguhnya amal
perbuatan itu tergantung pada niat, dan ganjaran seseorang tergantung pada apa
yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari-Muslim)
Hadis tersebut diriwayatkan secara sendirian
oleh “Umar ibn al-Khathab kemudian setelah itu diriwayatkan oleh banyak
periwayat. Contoh hadis gharib nisbi hadis riwayat Malik dari al-Zuhri dari
Anas, katanya:
“Bahwasannya Nabi
SAW.memasuki Mekkah dan di atas kepalanya terdapat penghapus” (H.R. Bukhari
Muslim). Hadis ini diriwayatkan secara sendiri oleh Malik dari al-Zuhri.
Dilihat dari segi cara periwayatannya, di
kalangan ulama hadis, hadis gharib nisbi dibagi dalam beberapa kategori. Mahmud
al-Thahhan membaginya sebagai berikut:
1)
Seorang periwayat menyendiri dalam
meriwayatkan hadis, seperti pernyataan kritikus periwayat, “Tidak seorangpun periwayat tsiqah yang
meriwayatkannya kecuali si fulan”,
2)
Periwayat tertentu secara tersendiri
meriwayatkan dari periwayat tertentu pula, seperti pernyataan kritikus periwayat,
“si fulan meriwayatkan hadis itu secara
sendirian dari si fulan” (meskipun
hadis itu diriwayatkan pula melalui jalur sanad yang lain).
3)
Periwayat menyendiri dari daerah atau tempat
tertentu, seperti pernyataan kritikus periwayat, “Hadis ini hanya diriwayatkan oleh penduduk Mekkah atau Syam”.
4)
Periwayat menyendiri dari daerah atau tempat
tertentu dan tidak dari daerah atau tempat yang lain, seperti pernyataan
kritikus periwayat, “Hadis ini hanya
diriwayatkan oleh penduduk Bashrah dan tidak oleh penduduk Madinah atau hanya
diriwayatkan oleh penduduk Syam dan tidak oleh penduduk Hijaz”.
Selain
pembagian hadis tersebut, para ulama juga membagi hadis gharib menjadi dua
golongan, yaitu hadis gharib pada sanad matan, dan gharib pada sanad saja.
Pembagian ini ditinjau dari segi letak kegharibannya.
Yang
dimaksud gharib pada sanad dan matan adalah hadi yang hanya diriwayatkan
melalui satu jalur, seperti sabda Rasulullah SAW. “Ada dua kalimat yang disenangi oleh Allah, ringan diucapkan dan
memperberat timbangan, yaitu kalimat ‘Subhana Allah wa bihamdih subhana Allah
il’adzim’”.
Adapun
yang dimaksud dengan gharib pada sanad saja adalah hadis yang telah popular dan
diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkannya
dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak popular. Periwayatan hadis
melalui sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai hadis gharib pada sanad.
Bila
suatu hadis telah diketahui sanadnya gharib, maka matannya tidak perlu diteliti
lagi, sebab keghariban pada sanad menjadikan hadis tersebut berstatus gharib.
Namun bila sanadnya tidak gharib, mungkin matannya yang gharib. Oleh karena
itu, penelitian selanjutnya ditujukan pada matannya. Apabila matannya diketahui
gharib, maka hadisnya pun menjadi gharib pula.
Sebagaimana
hadis masyhur dan hadis ‘aziz, hadis
gharib ada yang shahih, hasan, atau dha’if dan ada pula yang mawdhu’ tergantung
pada kualitas sanad dan matannya. Jika suatu hadis gharib memenuhi semua syarat
hadis shahih, maka hadis gharib itu shahih. Tetapi, jika syarat-syaratnya
terpenuhi namun salah seorang periwayat ada yang kurang dhabith, maka hadis itu
dinyatakan hasan. Demikian pula, jika suatu hadis gharib bertentangan dengan
hadis yang memiliki kualitas sama dan tidak mungkin dilakukan kompromi satu dengan
yang lain, maka hadis gharib tersebut dinamakan hadis mudhtaharib. Jika hadis
gharib diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah tetapi bertentangan dengan
riwayat dari periwayat yang lebih tsiqah, maka hadis itu dinamakan sebagai
hadis syadz (janggal). Apabila periwayat pada hadis gharib itu dha’if dan
bertentangan dengan hadis dari periwayat yang tsiqah, maka hadis itu dinamakan
hadis munkar.
2.2.3
Kehujjahan Hadis Ahad
Jumhur ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in, serta para ulama sesudah mereka
dari kalangan ahli hadis, ahli fiqih, dan ahli ushul, berpendapat bahwa hadis ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah
yang wajib diamalkan. Dasarnya adalah kewajiban syar’I bukan kewajiban akli.
Begitu pula dengan pendapat Imam Muslim ibn al-Hajjaj bahwa beramal dengan
hadis ahad yang memenuhi persyaratan maqbul (dapat diterima) hukumnya wajib.
Sedangkan golongan Qodariyah, Rafidhah dan
sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya
tidak wajib. Al-Juba’I dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal
kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari
dua orang. Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramal kecuali hadis
yang diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan oleh empat orang pula.
Pendapat tersebut disanggah oleh para ulama
yang berpendapat tentang kehujjahan hadis ahad,
termasuk ahad yang gharib. Ibnu
Al-Qayim mengatakan :”Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Al-Qur’an. Pertama, kesesuaian terhadap
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an; Kedua, menjelaskan maksud Al-Qur’an, dan Ketiga, menetapkan
hokum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Alternatif ketiga ini merupakan
ketentuan yang ditetapkan oleh Rasul yang wajib ditaati. Lebih dari itu ada
yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma.
Ketaatan kepada Rasulullah tidak hanya yang
ditunjuk oleh hadis mutawatir saja,
sebab jumlahnya sangat sedikit. Padahal, sangat banyak masalah yang tidak
dijelaskan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh hadis ahad. Seandainya hadis ahad
tidak dapat dijadikan hujjah, maka peristiwa-peristiwa seperti larangan
berpuasa bagi wanita haid, hak waris bagi kakek dan nenek, dan sebagainya itu,
tidak ada ketentuan hukumnya. Tentunya pengalaman hadis ahad setelah dilakukan pengkajian sehingga diketahui apakah hadis
itu maqbul (dapat diterima), yakni
berkualitas sahih atau hasan atau mardud (tertolak) karena berkualitas dga’if atau mawdhu’ (palsu).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Hadis
mutawatir adalah hadis sahih yang diriwayat oleh sejumlah periwayat yang mana
menurut logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Hadis
ini banyak diriwayat kan oleh banyak periwayat dari awal, tengah, hingga akhir
sanad dengan jumlah tertentu.
Hadis
mutawatir memiliki beberapa syarat, yaitu diriwayatkan oleh sejumlah besar
parawi, mustahil secara logika atau adat mereka sepakat berdusta, jumlah banyak
itu terdapat pada setiap lapisan sanad dari awal hingga akir, sandaran berita
berdasarkan pada indra. Hadis mutawatir terbagi menjadi beberapa bagian yaitu
Mutawatir Lafzhi, Mutawatir Ma’nawi, Hadis Mutawatir Amali.
Hadis
ahad menurut yaitu khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah perawi
hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya
yang tidak membarikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai
kepada jumlah perawi hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga, yaitu
hadis masyhur, hadis ‘aziz, hadis gharib.
3.2
Saran
Penulis
menyarankan agar pembaca dapat menyadari bahwa sangat penting untuk mempelajari
tentang pembagian hadis sehingga pembaca
dapat membedakan antara yang shahi dan yang ahad. Dan memmudahkan
pembaca dalam menerapkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Zarkasih.
2012. Pengantar Studi Hadis.
Yogyakarta : Aswaja Pressindo.
Suparta,
Munzier. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta :
Rajawali Press.
Khon,
Abdul Majid. 2011. Ulumul Hadis.
Jakarta : Amzah.