Sabtu, 25 Juli 2015

Al - Mantuq Wa Al - Mafhum



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci  yang mulia dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Al-Qur’an kaya akan makna. Apabila kita mau  meneliti dengan seksama, maka kita pasti akan menemukan bahwaAl-Qur’an mengandung keunikan-keunikan serta keindahan-keindahan pada maknanya  yang tiada akan pernah habis untuk dikaji serta dipelajari, dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Dari sinilah timbul motivasi pada diri kaum muslimin untuk semakin giat menmpelajari serta menafsirkan ayat demi ayat dalam kitab suci Al-Qur’an sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para sahabat-sahabat nabi Muhammad SAW.
Ayat-ayat dalam kitab suci Al-Qur’an menyimpan rahasia besar yang tidak semua ayat  memberikan pemahaman secara jelas namun banyak sekali ayat yang  membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dari sinilah kita fahami bahwa ternyata ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi ada ayat yang maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.Maha suci Allah dengan segala firman-NYA.
Petunjuk  lafaz kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (mantuq, arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun mengandung kemungkinan makna lain, dengan takdir maupun tanpa takdir. Dan adakalanya pula berdasarkan pada pemahaman (mafhum, arti tersirat)-nya, baik hukum sesuai dengan hukum mantuq ataupun bertentangan. Inilah yang dinamakan denganmantuq dan mafhum.
Oleh karena itu, agar dapat memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, dalam makalah ini akan dipaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca mengenai sebagian dari qoidah tafsir..Semoga dapat dipahami dengan mudah lagi bermanfaat.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud dengan manthuq ?dan apa saja macam-macam manthuq?
2.         Apa yang dimaksud dengan  mafhum dan apa saja macam-macam mafhum ?
3.         Apa yang dimaksud dengan  mafhum muwafaqah ? dan sebutkan bentuk-bentuknya!
4.         Apa yang dimaksud dengan mafhum mukhalafah ?dan apa saja jenis-jenisnya?

C.      Tujuan Masalah
1.         Untuk mengetahui pengertian manthuq dan macam-macamnya.
2.         Untuk mengetahui pengertian mafhum dan macam-macamnya.
3.         Untuk mengetahui pengertian mafhum muwafaqah dan bentuk-bentuknya.
4.         Untuk mengetahui pengertian mafhum mukhalafah dan jenis-jenisnya.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Manthuq dan Macam-Macamnya
1.      Pengertian Manthuq
Secara etimologi مَنْطُوْقٌ adalah  Isim Maf’ul yang berasal dari (نَطَقَ- يَنْطِقُ) yang artinya berbicara[1] ,  jadi مَنْطُوْق berarti yang dibicarakan.
Sedangkan secara istilah menurut Syafi’i : “ Manthuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.[2] Dan menurut Mudzakir, adalah suatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan[3].
Jadi Manthuq adalah : arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan (yakni, petunjuk arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan).

2.      Macam-Macam Manthuq
Dalam kitab “Zubdah al-Itqan fi Ulum al-Qur’an” karya Prof. Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki membagi mantuq atas dua bagian, yaitu lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti yaitu nash, dan lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti yaitu zahir danmu’awal.[4]
a.         Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti  (nash)
Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti atau nash, ialah lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Misalnya firman Allah dalam QS.Al-Maidah ayat 89:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّام....
“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.”(QS.Al-Maidah : 89 )[5]
Pensifatan “tiga hari” telah mematahkan kemungkinan “tiga” ini diartikan lain secara majaz (metafora). Inilah yang dimaksud dengan nash.
Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 :
وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَوَحَرَّمَالرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS.Al-Baqarah : 275)[6]
Ayat di atas menunjukkan secara jelas dan tegas tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.

b.        Lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
·           Zahir, lafaz yang diberi pemahaman dengan arti yang lebih diunggulkan. Zahir ialah lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).[7] Jadi, zahir itu sama dengan nash dalam hal penunjukkannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia berbeda dengannya karena nash hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedang zahir  di samping menunjukkan satu makna ketika diucapkan juga disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 173:
فَمَنِاضْطُرَّغَيْرَبَاغٍوَلاَعَادٍ
“… tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkan dan melewati batas …”.(QS. Al-Baqarah :173)[8]
Lafaz “baaghin” digunakan untuk makna ”al-Jahil  (bodoh, tidak tahu) dan ”az-dzalim” (melampaui batas, zalim), tetapi kemungkinan arti yang kedua lebih jelas dan lebih umum digunakan.
Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 222 :
وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“…dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum suci …”( QS. Al-Baqarah : 222)[9]
Lafaz “yathhurna” mempunyai kemungkinan arti “suci dengan terhentinya haid” dan arti “suci dengan mandi janabah dan wudu”, tetapi dari kedua arti tersebut, kemungkinan arti yang kedua lebih jelas dan lebih umum digunakan. Kemungkinan arti yang pertama dari contoh-contoh di atas disebut marjuh (tidak diunggulkan), sementara kemungkinan arti kedua yang kedua disebut rajih (diunggulkan).

·           Mu’awwal, Lafaz yang diberi pemahaman dengan arti yang tidak diunggulkan (marjuh) karena terdapat indikasi ketidak-mungkinan diberi pemahaman dengan arti yang diunggulkan (rajih). Mu’awwal ialah lafaz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada suatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih.[10] Mu’awwal berbeda dengan zahir, zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkan kepada yang marjuh. Contohnya dalam QS. Al-Isra ayat 24 :
وَاحْفَضْلَهُمَاجَنَاحَالذُّلِّمِنَالرَّحْمَةَ
“..dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang”. (QS. Al-Isra : 24)[11]
Tidak mungkin memberikan pemahaman kata “adz-dzulli” pada ayat itu dengan pengertian “sayap” yang merupakan arti rajih karena pada kenyataannya memang manusia tidak memiliki sayap. Karenanya, kata itu harus diberi pemahaman dengan arti lain yang marjuh, yakni perlakuan yang baik terhadap kedua orang tua.

B.       Pengertian Mafhum dan Macam – Macamnya
1.         Pengertian Mafhum
Secara etimologi mafhum adalah isim maf’ul yang berasal dari kata (فَهِمَ – يَفْهَمُ) yang artinya faham[12], مَفْهُوْمٌ  berarti yang difahami.
Sedangkan secara istilah Mafhum (pemahaman) adalah arti yang tidak diperlihatkan oleh lafaz yang diucapkan (yakni, petunjuk artinya keluar dari unsur-unsur huruf yang dicapkan).[13] Menurut Syafi’i Karim, mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi bukan dari ucapan lafaz itu sendiri. Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.[14]
Dengan kata lain, mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafaz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada QS. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلاَتَقُلْلَهُمَاأُفٍّوَلاَتَنْهَرْهُمَا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”. (QS. Al-Isra’ : 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.

2.         Macam – Macam Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1)        Mafhum Muwafaqah.
2)        Mafhum Mukhalafah

3.      Pengertian Mafhum Muwafaqah dan Bentuk-bentuknya          
a.      Pengertian Mafhum Muwafaqah
Mafhum Muwafaqah yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Atau Pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq, dengan kata lain makna yang hukumnya sesuai dengan mantuq.
b.      Bentuk-bentuk Mafhum Muwafaqah
Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada 2 bagian yaitu:
1)      Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah pada QS. Al-Isra’ ayat 23  yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.(QS. Al-Isra’ :23)[15]
Dalam ayat di atas menerangkan bahwa kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.

2)      Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.(QS. An-Nisaa : 10).[16]
Dalam ayat di atas menerangkan bahwa membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram).

4.      Pengertian Mafhum Mukhalafah dan jenis-jenisnya
a.      Pengertian Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan).Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Atau pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq, dengan kata lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq.
Seperti dalam firman Allah swt :
يَأَيُّهَاالَّدِيْنَءَامَنُوْاإِذَانُوْدِىَلِلصَّلَواةِمِنْيَوْمِالْجُمْعَةِفَاسْعَوْاإِلَىذِكْرِاٌللّهِوَذَرُوْااٌلْبَيْعَجذلِكُمْخَيْرٌلَّكُمْإِنْكُنْتُمْتَعْلُمُوْنَ
“apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.” (QS. Al-jum’ah:9).[17]
Dapat dipahami dari ayat di atas, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.

b.      Jenis – jenis Mafhum Mukhalafah
Jenis – jenis mafhum mukhalafah ada 5 yaitu[18] :
1)        Mafhum shifat
Mafhum shifat yaitu menggantungkan hukum pada dzat dengan salah satu sifat. Seperti firman Allah ta’ala pada kafarat pembunuhan :
فَتَحْرِيرُرَقَبَةٍمُؤْمِنَةٍ
“…hendaklah ia (yang membunuh) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS. An-Nisaa : 92)[19]
Mafhumnya, jika hamba sahaya yang dimerdekakan itu bukan termasuk orang beriman, maka tidak diperbolehkan.
Contoh lain dalam QS. Al-Hujaratayat 6 :
يَأَيُّهَا الَّدِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ م بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمَام بِجَهلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ.
“ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasikh membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”( QS. Al-Hujarat : 6)[20]
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
2)        Mafhum ‘ilat atau sebab
Mafhum ‘ilat yaitu menggantungkan atau menghubungkan hukum sesuatu karena sebab (illatnya). Seperti pengharaman khamr karena memabukkan.
3)        Mafhum ‘adad atau bilangan
Mafhum ‘adad yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Seperti Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 4.
وَالَّذِينَيَرْمُونَالْمُحْصَنَاتِثُمَّلَمْيَأْتُوابِأَرْبَعَةِشُهَدَاءَفَاجْلِدُوهُمثَمَانِينَجَلْدَةً
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”. (QS. An-Nur : 4)[21]
4)        Mafhum ghayat atau tujuan
Mafhum ghayat yaitu membatasi hukum dengan kata “ila” atau “hatta”.  Seperti firman Allah Ta’ala :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواإِذَاقُمْتُمْإِلَىالصَّلَاةِفَاغْسِلُواوُجُوهَكُمْوَأَيْدِيَكُمْإِلَىالْمَرَافِقِ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku".(QS. Al-Ma’idah:6)[22]

Contoh lain firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 230 :
فَإِنْطَلَّقَهَافَلاَتَحِلُّلَهُمِنْبَعْدُحَتَّىتَنْكِحَزَوْجًاغَيْرَهُ
“Kemudian, jika si suami menalaknya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia kawin lagi dengan lelaki yang lain.”( QS. Al-Baqarah: 230)[23]
Mafhumnya, jika perempuan itu sudah menikah lagi dengan lelaki yang lain, maka si suami yang pertama boleh merujuknya dengan menikahi kembali.
5)        Mafhum Hashr atau pembatas
Mafhum Hashr  yaitu pemahaman dari redaksi yang menggunakan hashr  (pembatasan). Misalnya firman Allah dalam beberapa ayat Al-Qur’an :
لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ
 “Tidak ada Tuhan selain Allah”
Mafhumnya, selain Allah bukanlah Tuhan.



BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
1.      Manthuq adalah petunjuk makna yang bersifat tekstual, yaitu petunjuk yang telah jelas pada seluruh atau sebagian artinya berdasarkan tuturan lafadz itu sendiri.
Mantuq terbagi atas dua bagian, yaitu :
v  Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti atau disebut nash
v  Lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti. Terbagi menjadi dua bagian, yaitu Zahir dan Mu’awwal
2.      Mafhum adalah pemahaman terhadap makna yang tidak terdapat dalam suatu lafadz. Mafhum juga terbagi pada dua bagian, yaitu:
v  Mafhum Muwafaqah
v  Mafhum Mukhalafah.
3.      Mafhum muwafaqah yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah terbagi menjadi 2 yaitu :
v  Fahwal khitab
v  Lahnal khitab
4.      Mafhum mukhalafah yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam menetapkan maupun meniadakkan.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi 5 jenis yaitu :
v   Mafhum shifat
v   Mafhum 'ilat atau sebab
v   Mafhum 'adad atau bilangan
v   Mafhum ghayah atau tujuan batas
v   Mafhum hashr atau pembatas


B.       Saran
Kami sadari dari pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami selaku penyusun makalah ini memohon saran dan kritik dari para pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah-makalah yang akan kami buat selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
AS, Mudzakir.2007. Studi Ilmu-ilmu Qur’an.Bogor; Litera Antar Nusa.
Hakim, Abdul hamid. 1927. Ushul Fiqh. Jakarta ; Maktabah Al-adiyat Qatran.
Ismail, Mohammad. Ulumul Qur’an.Dalam http://alkautsarkalebbi.wordpress.com/2013/12/02/manthuq-dan-mafhum_/ .diakses pada 30 september 2014.
Kalebbi, alkautsar.Ulumul Qur’andalam  http://alkautsarkalebbi.wordpress.com/2013/12/02/manthuq-dan-mafhum/ . diakses pada 30 september 2014.
Karim, Syafi’i. 1997. Fiqih – Ushul Fiqih. Bandung; Pustaka Setia.
Munawwir, Ahmad warson. 1997.  kamus arab indonesia al-munawwir. Surabaya; pustaka progressif.
RI, Departemen Agama. 2002.  Al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta; CV Darus Sunnah.
Rosihon.1999. Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung;  Pustaka Setia.


[1]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir (Surabaya: pustaka progressif, 1997), hlm. 1432
[2]Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 177
[3]Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Litera AntarNusa,2007), hlm. 358
[4]Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 233
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunnah, 2002), hlm. 123.
[6]Ibid, hlm. 48
[7]Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,hlm. 359
[8]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 27
[9]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, hlm.36
[10]Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,hlm. 360
[11]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, hlm.285

[12]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir (Surabaya: pustaka progressif, 1997), hlm. 1075
[13]Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, hlm. 235
[14]Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,hlm. 363
[15]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunnah, 2002),hlm. 285.
[16]Ibid, hlm. 79.
[17]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya,hlm.555.
[18]Abdul hamid  hakim, Ushul Fiqh (Jakarta : Maktabah Al-adiyat Qatran, 1927), hlm. 31
[19]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 94.
[20]Ibid, hlm.517.
[21]Ibid,  hlm.351.
[22]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 109.
[23]Ibid, hlm. 37.