Sabtu, 25 Juli 2015

Kewarganegaraan : NEGARA



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Negara merupakan suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial) tertentu dengan mengakui adanaya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya. Organisasi negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya organisasi, ada organisasi-organisasi lain (keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang masing-masing memiliki kepribadian yang lepas dari masalah kenegaraan). Secara umum negara dapat diartikan sebagai suatu organisasi utama yang ada di dalam suatu wilayah karena memiliki pemerintahan yang berwenang dan mampu untuk turut campur dalam banyak hal dalam bidang organisasi-organisasi lainnya.
Suatu negara akan berfungsi dengan baik apabila memiliki dukungan idiologi nasionalisme, dan juga tidak kalah pentingnya adalah dukungan demokrasi. Nasionakisme tentu akan menimbulkan integritas antara berbagai kalangan etnis, ras agama dan lain-lain. Tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya.  Namun jika dilihat dari realitas social yang terjadi terdapat banyak masyarakat yang acuh dan tidak peduli terhadap masalah yang terjadi pada suatu Negara, ketidak pedulian ini akan menyebabkan desintegrasi contohnya Negara indonesia berbagai pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dan pernah menjadi ancaman disintegrasi bangsa.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.         Apakah pengertian dari negara?
2.         Apa tujuan dari negara?
3.         Apa aja unsur-unsur dari negara?
4.         Bagaimana teori tentang terbentuknya negara?
5.         Bagaimana bentuk-bentuk negara?
6.         Bagaimana bentuk negara Islam?
7.         Bagaimana relasi antara agama dan negara?
8.         Bagaimana hubungan negara dan pergerakan wanita?

C.      Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apa sih arti dari sebuah negara dan bagaimana suatu negara itu terbentuk dengan berbagai teori yang di kemukakan oleh para ilmuwan sejarahwan.

D.      Manfaat
Adapun manfaat beberapa manfaat penyusunan dari makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1.      Memenuhi tuntutan tugas dari dosen. 
2.      Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
3.      Dapat dijadikan sebagai referensi atau pedoman, untuk penelitian selanjutnya.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Konsep Dasar Tentang Negara
1.         Pengertian Negara
Untuk memahami secara detail mengenai negara, maka terlebih dahulu akan diawali engan penelusuran tata negara tersebut. Secara literal istilah negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state ( bahasa inggris), staat (bahasa belanda dan jerman) dan etat (bahasa perancis). Kata Staat, state, etat, itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memliki sesuatu sifat-sifat yang tegak atau tetap.
Secara terminologi negara diartikan dengan organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintahan yang berdaulat.
Menurut Roger H.Soltau, “Negara didefenisikan denga alat (agency) atau wewenang (authority) , yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat”. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan Harold J. Laski, menurutnya “Negara merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan arena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu”. Masyarakat merupakan suatu elompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Dalam konsepsi Isalam, dengan mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit, hanya saja dalam Al-Qur’an dan As-sunnah terdapat prinsip-prinsip dasar di dalam bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Selain itu, konsep Islam tentang negara juga berasal dari 3 paradigma, yaitu:
a.              Paradigma tentang teori Khilafah yang dipraktikan sesudah Rasulullah saw, terutama biasanya merujuk pada masa Khulafah al-Rasyidun,
b.             Paradigma yang bersumber pada teori Imamah dalam paham Islam Syiah,
c.              Paradigma yang bersumber dari teori Imamah atau Pemerintahan.
Teori tentang Khilafah menurut Amien Rais, dipahami sebagai suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakkan dimuka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk oleh peraturan Allah SWT maupun Rasul-Nya.  Sedangkan untuk teori Imamah, Amien lebih lanjut menyatakan bahwa kata Imamah ( dalam pengertian negara/state) dalam Al-Qur’an tidak tertulis. Akan tetapi kalau dimaksudkan dengan Imamah itu adalah kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat Islam, hal itu jelas ada dalam Al-Qur’an. Artinya All-Qur’an menyuruh kaum muslimin untuk mengikiti pemimpin yang benar yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang menggunakan Islam sebagai patokan Islam kepemimpinannya.[1]

B.       Unsur-unsur Pembentukan Negara
Setiap negara terdiri atas lima unsur penting, yaitu:
1.         Kekuasaan yang menjalankan negara, mengurus organisasi dan menangani urusan-urusan rakyatnya. Kekuasaan ini terdiri atas seorang kepala negara, para kebinet, dan pejabat di berbagai daerah serta jabatan lainnya yang terdiri atas militer dan sipil.
2.         Rakyat yang memegang kedaulatan suatu negara atau yang memilih para pemimpin dan wakil rakyat atau yang lebih sering menjadi korban kezaliman para penguasa yang korup.
3.         Wilayah suatu negara dengan perbatasan yang jelas.
4.         Undang-undang yang berlaku dalam suatu pemerintahan dan negara.
5.         Tujuan utama pemerintahan dan negara yang didukung oleh segenap rakyatnya.
Dengan demikian, pembentukan negara atau pemerintahan harus didukung oleh lima unsur tersebut, jika terdapat salah satunya yang gagal, akan rusaklah suatu negara.
Negara harus dikelola sebaik mungkin karena itu seluruh negara harus memiliki kepala negara. Satu hari terjadi kekosongan kepemimpinan dalam negara, akan terjadi kekacauan di masyarakat. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lebih baik suatu negara dipimpin oleh seorang pemimpin yang zalim, dari pada tidak memiliki pemimpin suatu negara. Pernyataan tersebut bukan melegalisasi kezaliman seorang pemimpin negara, melainkan betapa pentingnya kedudukan pemimpin suatu negara. Oleh karena itu, jangan sampai terjadi kekososngan pemimpin negara.
Unsur kedua yang membentuk negara adalah rakyat. Keberadaan pemerintah adalah bertugas mengurus kepentingan rakyat. Rakyat merupakan unsur penting dalam menciptakan seorang pemimpin karena kepala negara harus dipilih oleh rakyat. Tidak ada artinya eksistensi seorang penguasa, baik ia raja, kepala negara, imam maupun khalifah, tanpa adanya rakyat atau jamaah atau umat.
Rakyat adalah bagian dari negara atau elemen penting dari pemerintahan. Rakyat terdiri atas beberapa orang yang mempunyai ideologi yang sama, tinggal di daerah/pemerintahan yang sama pula, dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama, yaitu untuk membela negaranya apabila diperlukan. Rakyat akan dikatakan rakyat jika telah disahkan oleh negara yang ditempatinya dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai rakyat atau warga negara.[2]

C.      Beberapa Teori Tentang Terbentuknya Negara
1.      Teori Kontrak Sosial (Social Contract)
Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Teori perjanjian masyarakat adalah teori yang termudah dicapai, dan negara tidak merupakan negara tiranik.
Penganut teori kontrak sosial ini mencakup para pakar dari paham kenegaraan yang absolutis sampai ke penganut paham kenegaraan yang terbatas.

2.      Teori Ketuhanan
Teori ketuhanan ini dikenal juga dengan doktrin teokratis dalam teori asal-mula negara. Doktrin ini mengemukakan hak-hak raja yang berasal dari Tuhan untuk memerintah dan bertahta sebagai raja. Negara dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Raja dan pemimpin-pemimpin negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak pada siapapun.

3.      Teori Kekuatan
Teori kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa negara yang pertama adalah hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Negara terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan atau pendudukan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan negara.

4.      Teori Organis
Negara dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang. Individu yang merupakan komponen-komponen negara dianggap sebagai sel-sel dari makhluk hidup itu. Kehidupan korporal dari negara dapat disamakan sebagai tulang-belulang manusia, undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para individu sebagai daging makhluk hidup itu.

5.      Teori Historis
Teori historisatau teori evolusionistis merupakan teori yang menyatakan bahwa lembaga-lembaga sosila tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Sebagai lembaga sosial yang diperuntukkan guna mmenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak luput dari pengaruh tempat, waktu, dan tuntutan-tuntutan zaman.[3]

D.      Bentuk-Bentuk Negara
Dalam konsep dan teori modern saat ini terbagi kedalam dua bentuk negara, yaitu:
1.         Negara Kesatuan
Negara kesatuan merupakan bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Negara Kesatuan terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
a.              Negara Kesatuan dengan Sistem Sentralisasi, yakni sistem pemerintahan yang seluruh persoalan yang berkaitan dengan negara langsung diatur dan di urus pemerintah pusat, sementara daerah-daerah tinggal melaksanakannya.
b.             Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, yakni kepala daerah (sebagai pemerintah daerah) diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau dikenal dengan otonomi daerah atau swatantra.
2.         Negara serikat (Federasi)
Negara serikat (federasi) merupakan bentuk negara gabngan dari beberapa negara dari beberapa bagian negara serikat. Setelah menggabungkan diri dengan negara serikat, maka dengan sendirinya negara tersebut melepaskan sebagaian dari kekuasaananya dan menyerahkan kepada negara serikat. Penyerahan kekusaan dari negara bagian kepada negara serikat tersebut, di sebut limitatif (sebuah demi sebuah) serta hanya kekuasaan di sebut oleh negara bagian saja (delegated powers) yang menjadi kekuasaan negara serikat.
Kekusaan asli dalam negara federasi merupakan tugas negara bagian, karena ia berhubungan langsung dengan rakyatnya. Sementara negara federasi bertugas untuk menjalankan hubungan luar negeri, pertahanan negara, keuangan, dan urusan pos.
Bentuk negara terbagi kedalam 3 kelompok, yakni:
a.              Monarki
Merupakan  kata yang berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Jadi dapat dikatakan bahwa negara monarki adlah bentuk negara yang dalam pemerintahnya hanya dikuasai dan diperintah oleh satu orang saja.
b.             Oligarki
Dipahami sebagai negara yang dipimpin oleh beberapa orang. Model negara ologarki ini biasanya diperinta dari kelompok orang yang berasal dari kalangan feodal.
c.              Demokrasi
Merupakan bentuk negara yang pimpinan tertinggi negara terletak ditangan rakyat. Dalam bentuk negara yang demokratis, rakyatn memilii kekuasaan penuh dalam menjelankan pemerintahan.[4]

E.       Bentuk Pemerintahan
1.         Sistem pemerintahan kabinet Presidensial
Yaitu, kabinet yang menteri-menterinya bertanggung jawab kepada presiden, agar para menteri tidak berlindung dibawah kekuasaan presiden apabila melakukan kesalahan, maka antar badan legislatif dengan badan eksekutif harus salaing mengawasi secara ketat.
2.         Sistem pemerintahan kabinet parlementer
Yaitu, kabinet yang menteri-menterinya masing-masing bertanggung jawab kepada parelemen, hal ini karena parlemen yang memilih menteri-menteri yang tepat begitu juga perdana menterinya sendiri, anggota parlemen dapat menjatuhkan setiap kesalahan masing-masing menteri.
3.         Sistem pemerintahan kabinet campuran
Yaitu, kabinet yang presidennya tidak hendak kehilangan kekuasaan ketika anggota parlemen memberikan mosi tidak percaya kepada pemerintah oleh karena itu yang jatuh hanya perdana menteri dan menteri-menterinya tetapi presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen.
4.         Sistem pemerintahan kabinet komunis
Yaitu, kabinet yang baik kepala pemerintahan maupun kepala pemerintahan dijabat secara ex officio oleh pimpinan partai komunis, mulai dari tingkat usat sampai tingkat pemerintahan daerah, karea partai komunis yang ada didaerah sekaligus menjadi kepala daerah dan kepala wilayah.[5]

F.       Tujuan Negara
Tujuan sebuah negara dapat bermacam-macam, antara lain:
a.         Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata-mata.
b.         Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum
c.         Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum
Dalam konsep dan ajaran Plato, Tujuan adanya negara adalah untuk memajukan kesusialaan manusia, sebgai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk sosial.  Sedangkan menurut Roger H. Soltau, Tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (the freast possible development and creative self expression of it’s remembers). 
Dalam ajaran dan konsep teokratis (yang diwakili oleh Thomas Aquinas dan Agustinus), tujuan negara adalah untuk mencapai enghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan.
Dalam Isalam seperti yang dikemukakan oleh Ibn Arabi, tujuan negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi dari pihak-pihak asing. Paradigma ini didasarkan pada konsep sosio-hitoris bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan watak dan kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa konsekuensi antara individu-individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan. Sementara menurut Ibnu Khaldun, tujuan negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.
Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara (sesuai dengan pembukaan UUD 1945) adaalh untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu dalam penjelasan UUD 1945 ditetapkan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Dari pembukaan dn penjelasan UUD 1945 tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat adil dan makmur.[6]

G.      Negara dan Agama
Tidak asing lagi pada telinga kita bahwa perdebatan dikalangan para pakar tentang apakah islam mencakup aspek politik, ataukah islam hanya mengurusi soal akhirat saja, dalam artian hanya memperhatikan hubungan makhluk dengan Tuhannya. Hal tersebut sampai sekarang masih merupakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Walaupun para pakar mencoba untuk memberikan jawaban tentang pertanyaan tersebut, namun mereka belum ada kata sepakat.
Pada bahasan ini penulis mencoba mengomparasikan antara beberapa pendapat para pakar yang mengatakan bahwa islam adalah agama dan negara dengan mengatakan islam merupakan agama yang hanya mengurusi masalah ibadah seperti solat,zakat,haji,dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan masalah politik. Penulis akan menguraikan pendapat yang mengatakan islam hanyalah agama yang tidak ada hubungannya dengan masalah politik, lalu baru memaparkan pendapat yang menjadi tandingan pendapat tersebut, yaitu yang mengatakan bahwa islam adalah agama dan negara yang tidak terpisahkan.
a.         Pendapat yang mengatakan islam hanyalah agama, bukan negara.
Menurut Abid al-Jabiri, untuk mengetahui pemahaman istilah-istilah pemisahan agama dari negara secara klasik adalah: pertama, dalam sejarah islam tidak terdapat perbedaan atau pemisahan atara agama dan negara, dan tidak ada penguasa dalam sejarah islam yang tidak mengatasnamakan agama. Karena tidak seorangpun pemimpin yang mampu menjalankan hukumnya dengan tanpa mengatasnamakan khidmah (pengabdian) pada agama. Kedua, dalamsejarah islam, tidak ada instansi khusus yang menangani urusan agama yang terpisah dari negara. Para fuquha tidak mengorganisir dirinya, tetapi mereka berijtihad dan berfatwa secara individu.
Jadi istilah-istilah pemisahan agama dari negara menurut referensi klasik adalah: mendirikan negara non-islam atau mencegah islam dari kekuasaan yang memegang kendali pemerintahan. kita harus membedakan antara pemegang kekuasaan dengan negara, mengapa? Karena menurut ulama klasik, agama mencakup hukum yang harus dijalankan dan negara adalah pemerintah yang merealisasikan suatu hukum. Jadi apakah islam merupakan agama dan negara? Agama disini bukan berarti agama islam, kecuali jika kita mengembalikan susunannya dengan meletakkan kata ahkam (pemerintah) pada kata din (agama), dan kata sultah (penguasa) pada kata dawlah (negara). Yang akhirnya menjadi ahkam wa sultah.
b.         Pendapat yang mengatakan islam adalah negara dan agama
Abdul Qadim Zallum mengatakan negara islam berdiri diatas landasan akidah islam, dan akidah islam inilahyang menjadi asasnya. Secara syari, akidah islam dalam keadaan apapun, tidak boleh terlepas dari dari negara. Sehinnga sejak pertama kali ketika  rasulullah membangun sebuah pemerintahan dimadinah serta memimpin pemerintahan di sana, beliau segera membangun kekuasaan dan pemerintahan dengan landasan akidah islam.
Akidah islamiah merupakan pemikiran politik, akidah termasuk pemikiran politik bagi orang islam. Hal itu  merupakan  pijakan atau undang-undang agama dan negara. Agama tidak memisahkan urusan dunia dan akhirat, tidak memisahkan antara masalah pribadi dan masalah kelompok. Bahkan merealisasikan kebahagiaan pribadi dan kelompok di dunia dan akhirat.
Syariah islamiah sangat universal dan sempurna. Disana terdapat hukum yang merealisasikan kebahagian manusia di dunia seperti hukum muamalah perdata dan pidana, perdagangan, pernikahan, hubungan internasional. Aturan hukum dan mendukungnya seperti kebebasan, persamaan, musyawarah, keadilan, tanggung jawab sosial. Dalam islam terdapat hukum-hukum demi terealisasinya kebahagiaan manusia di akhirat seperti hukum ibadah, mulai dari bersuci, solat, puasa, zakat, haji, dan amal yang utama serta segala yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Bahkan Hasan al-Banna menganggap pemerintahan adalah merupakan rukun islam, dalam arti merupakan kewajiban dari beberapa kewajibannya. Tetapi tidak sama dengan kewajiban yang lain. Rukun yang telah kita ketahui adalah hal dimana suatu bangunan berdiri di atasnya. Ia merupakan bagian yang termasuk hakikatnya. Jika rukun tersebut runtuh maka runtuhlah bangunan itu.
Islam tidak akan terealisasi seperti yang dikehendaki oleh Allah swt kecuali jika ada pemerintahan yang menerpkan hukum-hukum islam pada segala aspek, politik, ekononomi, peradilan, dan hubungan internasional. Kita harus tegas menghadapi sekularisme dan para provokatornyadengan menegaskan keuniversalan islam. Dan menampakkan sisi yang berkembang dari hukum-hukum dan ajaran islam yaitu negara dan aturannya, pengarahan hukum-hukum serta adabnya. Serta mengumumkan bahwa semua itu adalah bagian yang tidak terpecah-pecah dari aturan islam yang sarat dengan keuniversalan dari zaman ke zaman, tempat, serta manusia. Al-Quran menjelaskan segala sesuatu sebagaimana firman Allah swt:
dan kami turunkan kepadamu al-kitab (al-quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Syaikh Muhammad Bakhit al-Muhtii menanggapi pernyataan Ali Abd. Al-Raziq mengatakan semua itu hanya karena disebabkan ketidaktahuannya tentang pemerintahan. Karena rasul telah menjelaskan pada rakyatnya serta umatnya tentang teori kerajaan, kaidah musyawarah seperti firman Allah:
“dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.”
Firman diatas menunjukkan wajibnya mengetahui ukuran perang. Konsekuensi persiapan perang adalah harus adanya sendi-sendi negara dan pendukung pemerintahan yang cukup dan sempurna. Nabi juga berbicara pada umatnya tentang musyawarah. Nabi Muhamad saw telah menyampaikan kepada mereka dalam firman Allah swt:
“dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”
“diriwayatkan dari abi hurairah di berkata: aku tidak melihat seorangpun yang lebih banyak bermusyawarah dengan sahabatnya dari pada rasulullah.”
Nabi Muhammad saw tidak membiarkan ulama dalam kebimbangan tentang aturan pemerintah di zamannya. Tetapi nabi mengajarkan ulama tentang aturan ini, menjelaskan secara terperinci. Tidak ada kesamaran dan kerancuan atau kekurangan dalam membangun pemerintahannya.
Menurut Muhammad Imarah, dalam islam hubungan antara agama dan negara berbeda dengan yang ada pada orang kristen; yaitu tidak bercampur baur dan tidak terpisahkan. Islam tidak memisahkan antara yang bersifat ketuhanan dengan yang bersifat kemanusiaan, antara yang Qati dengan yang berubah.[7]

H.      Konsep Relasi Agama dan Negara dalam Islam
Menurut Azra, perdebatan anatara hubungan agama dan negara itu telah berlangsung sejak hampir 1 abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Lebih lanjut Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini di ilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah).
Menyikapi realitas empirik tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al-kitab) bukan sebagai penguasa. Dengan kata lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan suatu ekstentsi bagi agama.
Syafi’i Ma’arif menegaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Istilah dawlah memang ada di dalam Al-Qur’an Q.S.59  (Al-hasyr:7) tetap bukan bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan perederan atau pergantian tangan dari kekayaan.
Dalam lintasan sejarah dan opini para teoritisi politik Islam ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara, antara lain dapat dirangkum kedalam 3 paradigma, yakni:
1.         Paradigma integralistik
Merupakan paham dan konsep hubungn agam dan negara yang menganggap bahwa agama dan negara merupkan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated).
2.         Paradigma simbiotik
Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipaami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks ini, agam membutuhkan negara sebgai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama, begitu juga sebaliknya negara juga membutuhkan agama karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spriritualitas.
3.         Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan antaran agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tiak boleh satu sama lain elakukan intervensi.[8]

I.         Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Masalah hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk di bahas, karena tidak saja Indonesia merupakan negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan negara di Indonesia, secara umum dapat digolongkan ke dalam dua bgaian, yakni:
  1. Hubungan yang bersifat antagonistik,
Merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketagangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama.
  1. Hubungan yang bersifat akomodatif.
Lebih dipahami sebagai sifat hubungan di mana negara dan agama satu sama lain salaing mengisi bahkan ada kecenderungan memliki kesamaan untuk mengurangi konflik.
1.      Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik
Eksistensi islam politik (political islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah di anggap sebagai persaingan kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik islam.
Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama dengan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, dimana negara betul-betul mencurigai islam sebagai kekuatan yang potensial dalam menandingi eksistensi negara. Disisi lain uman islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi  untuk mewujudkan islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.

2.      Hubungan agama dan negara yang bersifat akomodatif
Gejala menurunnya ketegangan hubungan antara islam dan negara mulai terlihat pada pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan besarnya peluang umat islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan yang di anggap positif bagi umat islam. Kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas, ada yang bersifat struktural, legislatif, infrasstruktural,dan kultural. 
Bahtiar mengatakan ada dua alasan yang mendasari negara melakukan akomodasiterhadap islam. Pertama,selama 25 tahun terakhir, umat islam mengalami proses monbilisasi sosial-ekonomi-politik yang berarti. Hal ini disebabkan oleh pembanguanan ekonomi dan meluasnya akses kependidikan tinggi modern. Mereka tertransformasikan kedalam entitas level menengah, baik secara sosial, ekonomi, maupun secara politik. Kedua, adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru islam. Umat islam telah mengalami transformasi intelektual dan antivisme yang semula bersifat legalistik-formalistik menjadi lebih subtansialistik.[9]

J.        Negara Islam
Para ulama dan politisi Islam menyatakan bahwa Islam adalah agama dan negara (al-islam huwa al-din wa ad-daulah). Doktrin ini mengandung sebuah anggapan dasar bahwa agama Islam memiliki dimensi politik dan dimensi ritual. Doktrin menyatakan bahwa Islam dan politik tidak terpisahkan, agama dan negara merupakan dua objek penting dalam politik Islam. Antara agama dengan politik tidak kontradiktif, keduanya memiliki hubungan fungsional, yaitu kekuasaan politik berfungsi melindungi agama dan agama berfungsi mengawal kekuasaan politik.
Doktrin pengintegrasian antara agama dan negara yang tercermin dalam ajaran al-islam huwa ad-din wa ad-daulah tidak mengandung arti bahwa terjadi campur aduk antara keduanya. Oleh karena itu, tidak muncul dugaan dan keyakinan bahwa kebenaran agama adalah kebenaran politik dan kebenaran politik adalah kebenaran agama. Identitas dan watak kebenaran keduanya tetap bertahan dan tidak hilang. Kebenaran politik tetap sebagai kebenaran subjektif dan objektif, sedangkan kebenaran agama tetap sebagai kebenaran sejati. Kebenaran subjektif mengukur benar-salah dari kepentingan personal. Kebenaran objektif mengukur benar salah berdasarkan nalar sosial (pandangan orang banyak). Adapun kebenaran sejati adalah kebenaran yang berdasar pada wahyu Tuhan. Berkaitan dengan itu, doktrin ini tidak mengenalkan negara Tuhan yang mendapatkan mandat sakral dari langit dan melaksanakan kehendak Tuhan di muka bumi.[10]

K.      Unsur-unsur Negara Islam
Dalam pengertian modern, negara adlah kumpulan rakyat yang menempati wilayah tertentu dan tunduk pada kekuasaan atau sistem pemerintahan tertentu. Pengertian ini memberikan batasan bahwa unsur negara terdiri atas tiga hal, yaitu:
1.         Rakyat
Dalam pengertian ketatanegaraan konvesional, rakyat terdiri atas dua unsur: (1) unsur materiil, yaitu kumpulan orang yang menetap secara permanen di wilayah tertentu, dan (2) unsur spiritual (maknawi), yaitu kehendak atau maksud bertempat tinggal dan hidup bersama.
Rakyat dalam pengertian negara Islam adalah kumpulan orang yang menetap di negeri Islam, yaitu komunitas Muslim yang yakin terhadap Islam sebagai agama, sistem undang-undang, akidah, dan politik. Termasuk rakyat dalam pengertian negara Islam adalah orang-orang non-Muslim yang mengikat perjanjian damai dengan pihak penguasa dan tunduk terhadap sistem hukum yang diajalankan.
Batasan pengertian rakyat dalam ketatanegaraan Islam adalah akidah. Oleh sebab itu, setiap orang yang berakidah Islam dan berada di negara Islam mana pun dikatakan sebgai rakyat negara tersebut.

2.         Wilayah
Wilayah dalam ketatanegaraan Islam adalah setiap teritorial yang berada dalam kekuasaan kaum Muslim, baik daratan, lautan, maupun udara. Di wilayah tersebut setiap warga negara Islam memiliki hak penuh untuk hidup dan mendapatkan sumber-sumber kehidupan.

3.         Pemerintahan yang berdaulat
Pemerintahan dalam pengertian ketatanegaraan Islam badan-badan negara yang memiliki kekuasaan untuk memerintah di dalam wilayah negara Islam. Keberadaan pemerintahan merupakan pembeda antara kumpulan individu yang dikatakan sebagai negara dengan kumpulan individu nonnegara.
Kriteria pemerintahan yang berdaulat dalam suatu negara adalah sebagai berikut.
a.              Ditaati oleh setiap individu untuk setiap kebijakan dan aturan yang dibuat.
b.             Dipercaya untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi rakyat, sehingga keputusan yang dikeluarkannya diterima oleh mereka.
c.              Setiap larangan yang dikeluarkannya diindahkan dan sanksi yang menyertainya diikuti.[11]

L.       Bentuk Negara Islam
Bentuk negara Islam adalah negara kesatuan (nizham wahdah), yaitu negara yang menempatkan pemerintah pusat sebgaia pemegang kekuasaan tertinggi dan wewenang legislasi. Dalam negara kesatuan tidak terdapat pemegang kekuasaan eksekutif ganda dan cabang legislatif. Hal ini didasarkan pada doktrin ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW., “Apabila seseorang telah mengangkat seorang pemimpin, berikanlah kesetiaan padanya. Apabila ada imam lain yang mengaku, hendaklah masyarakat mematahkannya.”
Dalam negara Islam, khalifah tidak diperkenankan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah daerah secara otonom, baik dalam hal hukum, politik maupun ekonomi. Akibatnya, salah satu efek hukum politiknya, hubungan dengan negara lain tidak dapat dilakukan kecuali oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat (khalifah) merupakan satu-satunya aktor hubungan luar negeri. Dalam hal bentuk negara, negara Islam menganut sistem sentralisasi, sebagai kebalikan dari sistem desentralisasi.
Semua kebijakan dan peraturan, dalam negara kesatuan Islam, diproses dan diputus oleh khalifah (kekuasaan pusat). Sementara itu, penguasa daerah (amir al-bilad) hanya pelaksana kebijakan dan peraturan tersebut.
Sebagai kontra sistem, negara Islam tidak mengaku dan menganut bentuk negara persatuan atau negara serikat, yaitu negara yang terdiri atas beberapa negara bagian. Dalam sistem negara persatuan atau serikat negara-negara bagian mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk membuat dan memiliki konstitusi sendiri, kepala negara sendiri, dan lembaga legislasi sendiri.
Selanjutnya, masih sebagai kontra sistem, negara kesatuan Islam tidak membenarkan bentuk negara konfederasi, yaitu persekutuan antar beberapa negara yang secara umum negara-negara sekutu tersebut masih tetap berdaulat dan merdeka. Biasanya, negara persekutuan dibentuk karena ada kesamaan kepentingan.[12]

M.     Bentuk Pemerintahan Islam
Bentuk pemerintahan suatu negara, pada dasarnya merupakan aktualitas cara suatu negara dijalankan oleh para pemegang kekuasaan. Bentuk pemerintahan negara Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. dapat diidentifikasi sebagai pemerintahan syurakrasi, pemerintahan yang menjadikan musyawarah sebagai landasan dan metode mengelola negara. Syurakrasi merupakan sistem pemerintahan yang melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan setiap program.
Dalam teori ketatanegaraan modern, terdapat beberapa bentuk pemerintahan, diantaranya adalah monarki, oligarki, dan demokrasi. Apabila pemerintahan itu terletak di tangan “satu” orang, pemeritahan itu disebut monarki. Monarki berasal dari kata “mono”, yang berarti satu dan “archien”, yang berarti memerintah. Jadi monarki adalah satu orang yang memerintah.
Dalam perkembangannya, monarki dpaat dibedakan menjadi:
1.         Monarki absolut atau kerajaan mutlak, yaitu raja sebagai kepala negaranya memegang seluruh kekuasaan negara. Raja berkuasa mutlak terhadap seluruh kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Monarki absolut biasanya dilandasi paham teokrasi, yaitu raja dianggap sebagai penjelmaan Tuhan atau wakil Tuhan di bumi. Contohnya ialah Louis XIV yang terkenal dengan semboyan kenegaraannya, L’etat c-est moi” atau negara itu adalah saya.
2.         Monarki konstitusional atau kerajaan yang dibatasi undang-undang dasar, yaitu kekuasaan raja selaku kepala negara dibatasi oleh konstitusi. Monarki konstitusional sering disebut juga “monarki modern”. Umumnya pemerintahan monarki absolut kini adalah monarki konstitusional, seperti Inggris dan Belanda.
Jika suatu pemerintahan terletak pada beberapa orang, pemerintahan itu disebut oligarki. Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekeuasaan negara terletak di tangan sejumlah orang yang memerintah ini, mungkin juga berbentuk aristokrasi. Meskipun demikian, aristokrasi berbeda dengan oligarki. Aristokrasi adalah letak pemerintahan ada di tangan sejumlah kecil dari rakyat yang merupakan orang-orang yang terbaik dan menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan “semua orang”. Sementara itu, jika kekuasaan pemerintah terletak di tangan rakyat bersama-sama, pemerintahan itu disebut demokrasi.[13]

N.      Negara dan Gerakan Perempuan
Perempuan adalah bagian dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Dalam keadaan krisis perekonomian, perempuanlah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan yang kritis, seringkali perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga, meluas sampai ke perekonomian rakyat.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Dilihat dari perkembangan zaman kedudukan perempuan saat ini telah mengalami perkembangan yang begitu mengembirakan. Sosok perempuan tidak lagi berada di dalam rumah saja, tetapi perempuan kini lebih mendominasi dibandingkan laki-laki.
Adapun kedudukan perempuan sudah berkembang di segala bidang yaitu sebagai berikut:
1.         Bidang Politik
Banyaknya perempuan yang bekerja di bidang politik saat ini telah menunjukkan peran perempuan yang lebih luas dalam membangun demokrasi di Indonesia. Perempuan tidak hanya dapat membangun kesadaran berdemokrasi dari lingkup keluarga, tapi juga menjadi bagian dari lembaga politik dan pemerintahan. Selanjutnya, Priyo Budi Santoso mencatat bahwa sejak bergulirnya era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, peran lebih besar perempuan dalam proses pengambilan kebijakan adalah sebuah keniscayaan. Kenyataan ini terindikasi dengan adanya trend positif peningkatan partisipasi politik kaum hawa tersebut di dalam kancah perpolitikan nasional.
2.         Bidang pendidikan
Gerakan wanita merupakan sebuah organisasi yang muncul berdasarkan ideologi sekumpulan wanita Indonesia yang berjuang menjunjung tinggi hak asasi wanita terutama dalam bidang pendidikan. Mereka memperjuangkan haknya agar kedudukan wanita setara dengan kaum lelaki. Tidak hanya berkutik di dapur mengurus suami berserta anak dan keluarganya. Para wanita berhak mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Sang pelopor organisasi, yaitu RA. Kartini bekerja sama dengan Belanda dalam mewujudkan cita-citanya membangun masyarakat wanita yang kaya ilmu dan pengetahuan. Ia menjadikan perkumpulan wanita Indonesia sebagai perserikatan yang berhaluan kooperatif terhadap pemerintah. Hal inidirealisasikan dengan diadakannya Kongres Perempuan.
Sedikit demi sedikit wanita Indonesia memilikikedudukan yang sama dengan kaum lelaki. Bahkan hingga sekarang wanita Indonesia lebih maju dari laki laki. Dapat di ambil contoh, bangsa Indonesia pernah dipimpin oleh seorang wanita. Itu menggambarkan betapa majunya wanita Indonesia pada masa kini. Dan itu merupakan penghargaan terbesar bagi mereka atas perjuangan dan kerja keras selama bertahun-tahun hingga akhirnya mereka mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan dan sekarang kita dapatmerasakan hasil dari perjuangan para wanita Indonesia tersebut.
3.         Dalam  Keluarga atau Masyarakat
Di dalam keluarga atau masyarakat kedudukan perempuan berada sebagai Ibu Rumah Tangga. Dimana setiap harinya perempuan yang sudah menikah akan mengurus anak dan suaminya. Perempuan sebagai sosok yang sangat dikagumi dalam rumah. Menyayangi, mendidik, membesarkan, dan menuntun anak-anak mereka bersama dengan suami. Perempuan harus menjaga harkat dan martabat suami didalam maupun di luar rumah.
BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Unsur-unsur pembentuk Negara terdiri atas Rakyat, Wilayah.Pemerintah yang berdaulat dan pengakuan dari Negara. Tujuan negara yaitu memperluas kekuasaan, menyelenggarakan ketertiban hukum, dan mencapai kesejahteraan umum. Tujuan negara RI adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Teori negara yaitu, teori kontrak sosial, teori ketuhanan, teori kekuatan, teori organis, dan teori historis. Bentuk negara yaitu, negara kesatuan, negara serikat, monarkhi, oligarkhi, dan demokrasi. Hubungan agama dan negara secara umum yaitu, adanya paham teokrasi, paham sekuler, dan paham komunis.

B.       Saran
Sebaiknya pengetahuan akan hakikat Negara ditingkatkan, tujuannya untuk meningkatkan pula rasa nasionalisme dan patriotisme agar terciptanya warga Negara yang cerdas kritis dan rasa bela negara yang tinggi.
Saran dan kritik yang bersifat membangun dari dari berbagai pihak sangat diharapkan demi kelengkapan isi dari makalah ini, atas perhatianya kami mengucapkan terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA

Rosyada, Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarat, 2003.
Toriquddin, Moh. Relasi Agama dan Negara. Malang: UIN Malang Press, 2009.
Situmorang, Jubair. Politik Ketatanegaraan Dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Kencana Syafiie, Inu. Etika Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta, 2011.


[1] Rosyada, Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarat, 2003. Hal. 39.
[2] Situmorang, Jubair. Politik Ketatanegaraan Dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2012. Hal. 281.
[3] Rosyada, Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarat, 2003. Hal. 45.
[4] Ibid, hal. 54.
[5] Kencana Syafiie, Inu. Etika Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta, 2011. Hal. 82
[6] Rosyada, Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarat, 2003. Hal. 41.
[7] Ibid. Hal. 56
[8] Ibid. Hal. 58.
[9] Ibid. Hal. 62.
[10] Situmorang, Jubair. Politik Ketatanegaraan Dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2012. Hal. 290.
[11] Ibid. Hal. 299.
[12] Ibid. Hal. 306
[13] Ibid. Hal. 307.

0 komentar:

Posting Komentar