BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara
merupakan suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia
yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial) tertentu dengan
mengakui adanaya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan
sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya. Organisasi
negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya organisasi, ada
organisasi-organisasi lain (keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan
organisasi lainnya yang masing-masing memiliki kepribadian yang lepas dari
masalah kenegaraan). Secara umum negara dapat diartikan sebagai suatu
organisasi utama yang ada di dalam suatu wilayah karena memiliki pemerintahan
yang berwenang dan mampu untuk turut campur dalam banyak hal dalam bidang
organisasi-organisasi lainnya.
Suatu negara
akan berfungsi dengan baik apabila memiliki dukungan idiologi nasionalisme, dan
juga tidak kalah pentingnya adalah dukungan demokrasi. Nasionakisme tentu akan
menimbulkan integritas antara berbagai kalangan etnis, ras agama dan lain-lain.
Tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya. Namun jika dilihat dari
realitas social yang terjadi terdapat banyak masyarakat yang acuh dan tidak
peduli terhadap masalah yang terjadi pada suatu Negara, ketidak pedulian ini
akan menyebabkan desintegrasi contohnya Negara indonesia berbagai pemberontakan
yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dan pernah menjadi ancaman
disintegrasi bangsa.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah
yang akan dibahas pada penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1.
Apakah pengertian dari negara?
2.
Apa tujuan dari negara?
3.
Apa aja unsur-unsur dari negara?
4.
Bagaimana teori tentang terbentuknya negara?
5.
Bagaimana bentuk-bentuk negara?
6.
Bagaimana bentuk negara Islam?
7.
Bagaimana relasi antara agama dan negara?
8.
Bagaimana hubungan negara dan pergerakan wanita?
C.
Tujuan
Tujuan dari
penulisan ini adalah untuk mengetahui apa sih arti dari sebuah negara dan bagaimana
suatu negara itu terbentuk dengan berbagai teori yang di kemukakan oleh para
ilmuwan sejarahwan.
D.
Manfaat
Adapun
manfaat beberapa manfaat penyusunan dari makalah ini, antara lain sebagai
berikut:
1.
Memenuhi tuntutan tugas dari dosen.
2.
Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
3.
Dapat dijadikan sebagai referensi atau pedoman, untuk
penelitian selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Tentang Negara
1.
Pengertian Negara
Untuk
memahami secara detail mengenai negara, maka terlebih dahulu akan diawali engan
penelusuran tata negara tersebut. Secara literal istilah negara merupakan
terjemahan dari kata-kata asing, yakni state ( bahasa inggris), staat (bahasa
belanda dan jerman) dan etat (bahasa perancis). Kata Staat, state, etat, itu
diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang
tegak dan tetap atau sesuatu yang memliki sesuatu sifat-sifat yang tegak atau
tetap.
Secara
terminologi negara diartikan dengan organisasi tertinggi diantara satu kelompok
masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah
tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung
nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam
sebuah negara, yakni adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan
adanya pemerintahan yang berdaulat.
Menurut
Roger H.Soltau, “Negara didefenisikan denga alat (agency) atau wewenang
(authority) , yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas
nama masyarakat”. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan Harold J. Laski,
menurutnya “Negara merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan arena
mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu”. Masyarakat
merupakan suatu elompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Dalam
konsepsi Isalam, dengan mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak ditemukan
rumusan tentang negara secara eksplisit, hanya saja dalam Al-Qur’an dan
As-sunnah terdapat prinsip-prinsip dasar di dalam bermasyarkat, berbangsa dan
bernegara. Selain itu, konsep Islam tentang negara juga berasal dari 3
paradigma, yaitu:
a.
Paradigma tentang teori Khilafah yang
dipraktikan sesudah Rasulullah saw, terutama biasanya merujuk pada masa
Khulafah al-Rasyidun,
b.
Paradigma yang bersumber pada teori
Imamah dalam paham Islam Syiah,
c.
Paradigma yang bersumber dari teori
Imamah atau Pemerintahan.
Teori tentang Khilafah menurut Amien
Rais, dipahami sebagai suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakkan dimuka
bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk oleh peraturan Allah SWT
maupun Rasul-Nya. Sedangkan untuk teori
Imamah, Amien lebih lanjut menyatakan bahwa kata Imamah ( dalam pengertian
negara/state) dalam Al-Qur’an tidak tertulis. Akan tetapi kalau dimaksudkan
dengan Imamah itu adalah kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat Islam, hal
itu jelas ada dalam Al-Qur’an. Artinya All-Qur’an menyuruh kaum muslimin untuk
mengikiti pemimpin yang benar yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin
yang menggunakan Islam sebagai patokan Islam kepemimpinannya.[1]
B.
Unsur-unsur
Pembentukan Negara
Setiap negara terdiri
atas lima unsur penting, yaitu:
1.
Kekuasaan yang menjalankan negara,
mengurus organisasi dan menangani urusan-urusan rakyatnya. Kekuasaan ini
terdiri atas seorang kepala negara, para kebinet, dan pejabat di berbagai
daerah serta jabatan lainnya yang terdiri atas militer dan sipil.
2.
Rakyat yang memegang kedaulatan suatu
negara atau yang memilih para pemimpin dan wakil rakyat atau yang lebih sering
menjadi korban kezaliman para penguasa yang korup.
3.
Wilayah suatu negara dengan perbatasan
yang jelas.
4.
Undang-undang yang berlaku dalam suatu
pemerintahan dan negara.
5.
Tujuan utama pemerintahan dan negara yang
didukung oleh segenap rakyatnya.
Dengan demikian, pembentukan negara atau
pemerintahan harus didukung oleh lima unsur tersebut, jika terdapat salah
satunya yang gagal, akan rusaklah suatu negara.
Negara harus dikelola sebaik mungkin
karena itu seluruh negara harus memiliki kepala negara. Satu hari terjadi
kekosongan kepemimpinan dalam negara, akan terjadi kekacauan di masyarakat.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lebih baik suatu negara dipimpin oleh seorang
pemimpin yang zalim, dari pada tidak memiliki pemimpin suatu negara. Pernyataan
tersebut bukan melegalisasi kezaliman seorang pemimpin negara, melainkan betapa
pentingnya kedudukan pemimpin suatu negara. Oleh karena itu, jangan sampai
terjadi kekososngan pemimpin negara.
Unsur kedua yang membentuk negara adalah
rakyat. Keberadaan pemerintah adalah bertugas mengurus kepentingan rakyat.
Rakyat merupakan unsur penting dalam menciptakan seorang pemimpin karena kepala
negara harus dipilih oleh rakyat. Tidak ada artinya eksistensi seorang
penguasa, baik ia raja, kepala negara, imam maupun khalifah, tanpa adanya
rakyat atau jamaah atau umat.
Rakyat adalah bagian dari negara atau
elemen penting dari pemerintahan. Rakyat terdiri atas beberapa orang yang
mempunyai ideologi yang sama, tinggal di daerah/pemerintahan yang sama pula,
dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama, yaitu untuk membela negaranya
apabila diperlukan. Rakyat akan dikatakan rakyat jika telah disahkan oleh
negara yang ditempatinya dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai rakyat atau
warga negara.[2]
C.
Beberapa
Teori Tentang Terbentuknya Negara
1. Teori
Kontrak Sosial (Social Contract)
Teori
kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara
dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Teori perjanjian
masyarakat adalah teori yang termudah dicapai, dan negara tidak merupakan
negara tiranik.
Penganut
teori kontrak sosial ini mencakup para pakar dari paham kenegaraan yang
absolutis sampai ke penganut paham kenegaraan yang terbatas.
2. Teori
Ketuhanan
Teori
ketuhanan ini dikenal juga dengan doktrin teokratis dalam teori asal-mula
negara. Doktrin ini mengemukakan hak-hak raja yang berasal dari Tuhan untuk
memerintah dan bertahta sebagai raja. Negara dibentuk oleh Tuhan dan
pemimpin-pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Raja dan pemimpin-pemimpin negara
hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak pada siapapun.
3. Teori
Kekuatan
Teori
kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa negara yang pertama adalah
hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Negara terbentuk
dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan atau pendudukan dari suatu
kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah
proses pembentukan negara.
4. Teori
Organis
Negara
dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang. Individu
yang merupakan komponen-komponen negara dianggap sebagai sel-sel dari makhluk
hidup itu. Kehidupan korporal dari negara dapat disamakan sebagai
tulang-belulang manusia, undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar)
sebagai kepala dan para individu sebagai daging makhluk hidup itu.
5. Teori
Historis
Teori
historisatau teori evolusionistis merupakan teori yang menyatakan bahwa
lembaga-lembaga sosila tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Sebagai lembaga sosial yang diperuntukkan
guna mmenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak luput
dari pengaruh tempat, waktu, dan tuntutan-tuntutan zaman.[3]
D.
Bentuk-Bentuk
Negara
Dalam
konsep dan teori modern saat ini terbagi kedalam dua bentuk negara, yaitu:
1.
Negara Kesatuan
Negara kesatuan merupakan bentuk suatu
negara yang merdeka dan berdaulat dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa
dan mengatur seluruh daerah. Negara Kesatuan terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
a.
Negara Kesatuan dengan Sistem
Sentralisasi, yakni sistem pemerintahan yang seluruh persoalan yang berkaitan
dengan negara langsung diatur dan di urus pemerintah pusat, sementara
daerah-daerah tinggal melaksanakannya.
b.
Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi,
yakni kepala daerah (sebagai pemerintah daerah) diberikan kesempatan dan
kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau dikenal dengan otonomi
daerah atau swatantra.
2.
Negara serikat (Federasi)
Negara serikat (federasi) merupakan
bentuk negara gabngan dari beberapa negara dari beberapa bagian negara serikat.
Setelah menggabungkan diri dengan negara serikat, maka dengan sendirinya negara
tersebut melepaskan sebagaian dari kekuasaananya dan menyerahkan kepada negara
serikat. Penyerahan kekusaan dari negara bagian kepada negara serikat tersebut,
di sebut limitatif (sebuah demi sebuah) serta hanya kekuasaan di sebut oleh
negara bagian saja (delegated powers) yang menjadi kekuasaan negara serikat.
Kekusaan asli dalam negara federasi
merupakan tugas negara bagian, karena ia berhubungan langsung dengan rakyatnya.
Sementara negara federasi bertugas untuk menjalankan hubungan luar negeri,
pertahanan negara, keuangan, dan urusan pos.
Bentuk negara terbagi kedalam 3
kelompok, yakni:
a.
Monarki
Merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani monos
yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Jadi dapat dikatakan
bahwa negara monarki adlah bentuk negara yang dalam pemerintahnya hanya
dikuasai dan diperintah oleh satu orang saja.
b.
Oligarki
Dipahami sebagai negara yang dipimpin
oleh beberapa orang. Model negara ologarki ini biasanya diperinta dari kelompok
orang yang berasal dari kalangan feodal.
c.
Demokrasi
Merupakan bentuk negara yang pimpinan
tertinggi negara terletak ditangan rakyat. Dalam bentuk negara yang demokratis,
rakyatn memilii kekuasaan penuh dalam menjelankan pemerintahan.[4]
E.
Bentuk
Pemerintahan
1.
Sistem pemerintahan kabinet Presidensial
Yaitu, kabinet yang menteri-menterinya
bertanggung jawab kepada presiden, agar para menteri tidak berlindung dibawah
kekuasaan presiden apabila melakukan kesalahan, maka antar badan legislatif
dengan badan eksekutif harus salaing mengawasi secara ketat.
2.
Sistem pemerintahan kabinet parlementer
Yaitu, kabinet yang menteri-menterinya
masing-masing bertanggung jawab kepada parelemen, hal ini karena parlemen yang
memilih menteri-menteri yang tepat begitu juga perdana menterinya sendiri,
anggota parlemen dapat menjatuhkan setiap kesalahan masing-masing menteri.
3.
Sistem pemerintahan kabinet campuran
Yaitu, kabinet yang presidennya tidak hendak
kehilangan kekuasaan ketika anggota parlemen memberikan mosi tidak percaya
kepada pemerintah oleh karena itu yang jatuh hanya perdana menteri dan
menteri-menterinya tetapi presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen.
4.
Sistem pemerintahan kabinet komunis
Yaitu, kabinet yang baik kepala pemerintahan
maupun kepala pemerintahan dijabat secara ex officio oleh pimpinan partai
komunis, mulai dari tingkat usat sampai tingkat pemerintahan daerah, karea
partai komunis yang ada didaerah sekaligus menjadi kepala daerah dan kepala
wilayah.[5]
F.
Tujuan
Negara
Tujuan sebuah negara dapat bermacam-macam,
antara lain:
a.
Bertujuan untuk memperluas kekuasaan
semata-mata.
b.
Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum
c.
Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum
Dalam konsep dan ajaran Plato, Tujuan adanya
negara adalah untuk memajukan kesusialaan manusia, sebgai perseorangan
(individu) dan sebagai makhluk sosial.
Sedangkan menurut Roger H. Soltau, Tujuan negara adalah memungkinkan
rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (the
freast possible development and creative self expression of it’s
remembers).
Dalam ajaran dan konsep teokratis (yang
diwakili oleh Thomas Aquinas dan Agustinus), tujuan negara adalah untuk
mencapai enghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan di
bawah pimpinan Tuhan.
Dalam Isalam seperti yang dikemukakan oleh Ibn
Arabi, tujuan negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan
baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi dari pihak-pihak asing.
Paradigma ini didasarkan pada konsep sosio-hitoris bahwa manusia diciptakan
oleh Allah dengan watak dan kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang
membawa konsekuensi antara individu-individu satu sama lain saling membutuhkan
bantuan. Sementara menurut Ibnu Khaldun, tujuan negara adalah untuk
mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan
akhirat.
Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara
(sesuai dengan pembukaan UUD 1945) adaalh untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu
dalam penjelasan UUD 1945 ditetapkan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas
hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Dari
pembukaan dn penjelasan UUD 1945 tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia
merupakan suatu negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan
umum, membentuk suatu masyarakat adil dan makmur.[6]
G.
Negara
dan Agama
Tidak asing lagi pada telinga kita bahwa
perdebatan dikalangan para pakar tentang apakah islam mencakup aspek politik,
ataukah islam hanya mengurusi soal akhirat saja, dalam artian hanya
memperhatikan hubungan makhluk dengan Tuhannya. Hal tersebut sampai sekarang
masih merupakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Walaupun para pakar
mencoba untuk memberikan jawaban tentang pertanyaan tersebut, namun mereka
belum ada kata sepakat.
Pada bahasan ini penulis mencoba
mengomparasikan antara beberapa pendapat para pakar yang mengatakan bahwa islam
adalah agama dan negara dengan mengatakan islam merupakan agama yang hanya
mengurusi masalah ibadah seperti solat,zakat,haji,dan lain-lain yang tidak ada
hubungannya dengan masalah politik. Penulis akan menguraikan pendapat yang
mengatakan islam hanyalah agama yang tidak ada hubungannya dengan masalah
politik, lalu baru memaparkan pendapat yang menjadi tandingan pendapat
tersebut, yaitu yang mengatakan bahwa islam adalah agama dan negara yang tidak
terpisahkan.
a.
Pendapat
yang mengatakan islam hanyalah agama, bukan negara.
Menurut Abid al-Jabiri, untuk mengetahui
pemahaman istilah-istilah pemisahan agama dari negara secara klasik adalah: pertama, dalam sejarah islam tidak
terdapat perbedaan atau pemisahan atara agama dan negara, dan tidak ada
penguasa dalam sejarah islam yang tidak mengatasnamakan agama. Karena tidak
seorangpun pemimpin yang mampu menjalankan hukumnya dengan tanpa
mengatasnamakan khidmah (pengabdian) pada agama. Kedua, dalamsejarah islam, tidak ada instansi khusus yang menangani
urusan agama yang terpisah dari negara. Para fuquha tidak mengorganisir
dirinya, tetapi mereka berijtihad dan berfatwa secara individu.
Jadi istilah-istilah pemisahan agama dari
negara menurut referensi klasik adalah: mendirikan negara non-islam atau
mencegah islam dari kekuasaan yang memegang kendali pemerintahan. kita harus
membedakan antara pemegang kekuasaan dengan negara, mengapa? Karena menurut
ulama klasik, agama mencakup hukum yang harus dijalankan dan negara adalah
pemerintah yang merealisasikan suatu hukum. Jadi apakah islam merupakan agama
dan negara? Agama disini bukan berarti agama islam, kecuali jika kita
mengembalikan susunannya dengan meletakkan kata ahkam (pemerintah) pada kata
din (agama), dan kata sultah (penguasa) pada kata dawlah (negara). Yang
akhirnya menjadi ahkam wa sultah.
b.
Pendapat
yang mengatakan islam adalah negara dan agama
Abdul Qadim Zallum mengatakan negara islam
berdiri diatas landasan akidah islam, dan akidah islam inilahyang menjadi
asasnya. Secara syari, akidah islam dalam keadaan apapun, tidak boleh terlepas
dari dari negara. Sehinnga sejak pertama kali ketika rasulullah membangun sebuah pemerintahan
dimadinah serta memimpin pemerintahan di sana, beliau segera membangun
kekuasaan dan pemerintahan dengan landasan akidah islam.
Akidah islamiah merupakan pemikiran politik,
akidah termasuk pemikiran politik bagi orang islam. Hal itu merupakan
pijakan atau undang-undang agama dan negara. Agama tidak memisahkan
urusan dunia dan akhirat, tidak memisahkan antara masalah pribadi dan masalah
kelompok. Bahkan merealisasikan kebahagiaan pribadi dan kelompok di dunia dan
akhirat.
Syariah islamiah sangat universal dan
sempurna. Disana terdapat hukum yang merealisasikan kebahagian manusia di dunia
seperti hukum muamalah perdata dan pidana, perdagangan, pernikahan, hubungan
internasional. Aturan hukum dan mendukungnya seperti kebebasan, persamaan,
musyawarah, keadilan, tanggung jawab sosial. Dalam islam terdapat hukum-hukum
demi terealisasinya kebahagiaan manusia di akhirat seperti hukum ibadah, mulai
dari bersuci, solat, puasa, zakat, haji, dan amal yang utama serta segala yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Bahkan Hasan al-Banna menganggap pemerintahan
adalah merupakan rukun islam, dalam arti merupakan kewajiban dari beberapa
kewajibannya. Tetapi tidak sama dengan kewajiban yang lain. Rukun yang telah
kita ketahui adalah hal dimana suatu bangunan berdiri di atasnya. Ia merupakan
bagian yang termasuk hakikatnya. Jika rukun tersebut runtuh maka runtuhlah
bangunan itu.
Islam tidak akan terealisasi seperti yang
dikehendaki oleh Allah swt kecuali jika ada pemerintahan yang menerpkan
hukum-hukum islam pada segala aspek, politik, ekononomi, peradilan, dan
hubungan internasional. Kita harus tegas menghadapi sekularisme dan para
provokatornyadengan menegaskan keuniversalan islam. Dan menampakkan sisi yang
berkembang dari hukum-hukum dan ajaran islam yaitu negara dan aturannya,
pengarahan hukum-hukum serta adabnya. Serta mengumumkan bahwa semua itu adalah
bagian yang tidak terpecah-pecah dari aturan islam yang sarat dengan
keuniversalan dari zaman ke zaman, tempat, serta manusia. Al-Quran menjelaskan
segala sesuatu sebagaimana firman Allah swt:
“dan
kami turunkan kepadamu al-kitab (al-quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Syaikh Muhammad Bakhit al-Muhtii menanggapi
pernyataan Ali Abd. Al-Raziq mengatakan semua itu hanya karena disebabkan
ketidaktahuannya tentang pemerintahan. Karena rasul telah menjelaskan pada
rakyatnya serta umatnya tentang teori kerajaan, kaidah musyawarah seperti
firman Allah:
“dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.”
Firman diatas menunjukkan wajibnya mengetahui ukuran
perang. Konsekuensi persiapan perang adalah harus adanya sendi-sendi negara dan
pendukung pemerintahan yang cukup dan sempurna. Nabi juga berbicara pada
umatnya tentang musyawarah. Nabi Muhamad saw telah menyampaikan kepada mereka
dalam firman Allah swt:
“dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”
“diriwayatkan
dari abi hurairah di berkata: aku tidak melihat seorangpun yang lebih banyak
bermusyawarah dengan sahabatnya dari pada rasulullah.”
Nabi Muhammad saw tidak membiarkan ulama dalam
kebimbangan tentang aturan pemerintah di zamannya. Tetapi nabi mengajarkan
ulama tentang aturan ini, menjelaskan secara terperinci. Tidak ada kesamaran
dan kerancuan atau kekurangan dalam membangun pemerintahannya.
Menurut Muhammad Imarah, dalam islam hubungan
antara agama dan negara berbeda dengan yang ada pada orang kristen; yaitu tidak
bercampur baur dan tidak terpisahkan. Islam tidak memisahkan antara yang
bersifat ketuhanan dengan yang bersifat kemanusiaan, antara yang Qati dengan yang berubah.[7]
H.
Konsep
Relasi Agama dan Negara dalam Islam
Menurut
Azra, perdebatan anatara hubungan agama dan negara itu telah berlangsung sejak
hampir 1 abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Lebih lanjut Azra mengatakan
bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini di ilhami
oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara
(dawlah).
Menyikapi
realitas empirik tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi nabi saat itu
adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al-kitab) bukan sebagai
penguasa. Dengan kata lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi
agama, bukan suatu ekstentsi bagi agama.
Syafi’i
Ma’arif menegaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai
dalam Al-Qur’an. Istilah dawlah memang ada di dalam Al-Qur’an Q.S.59 (Al-hasyr:7) tetap bukan bermakna negara.
Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan perederan atau
pergantian tangan dari kekayaan.
Dalam
lintasan sejarah dan opini para teoritisi politik Islam ditemukan beberapa
pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara, antara lain
dapat dirangkum kedalam 3 paradigma, yakni:
1.
Paradigma integralistik
Merupakan paham dan konsep hubungn agam dan
negara yang menganggap bahwa agama dan negara merupkan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated).
2.
Paradigma simbiotik
Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara
dipaami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks ini, agam
membutuhkan negara sebgai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama,
begitu juga sebaliknya negara juga membutuhkan agama karena agama juga membantu
negara dalam pembinaan moral, etika, dan spriritualitas.
3.
Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada
pemisahan antaran agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang
berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing sehingga
keberadaannya harus dipisahkan dan tiak boleh satu sama lain elakukan
intervensi.[8]
I.
Hubungan
Islam dan Negara di Indonesia
Masalah
hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk
di bahas, karena tidak saja Indonesia merupakan negara yang mayoritas warga
negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan yang muncul.
Mengkaji hubungan agama dan negara di Indonesia, secara umum dapat digolongkan
ke dalam dua bgaian, yakni:
- Hubungan yang bersifat antagonistik,
Merupakan
sifat hubungan yang mencirikan adanya ketagangan antara negara dengan Islam
sebagai sebuah agama.
- Hubungan yang bersifat akomodatif.
Lebih
dipahami sebagai sifat hubungan di mana negara dan agama satu sama lain salaing
mengisi bahkan ada kecenderungan memliki kesamaan untuk mengurangi konflik.
1. Hubungan
Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik
Eksistensi islam politik (political islam) pada
masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah di anggap sebagai
persaingan kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi
tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha
menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik islam.
Realitas empirik inilah yang kemudian
menjelaskan bahwa hubungan agama dengan negara pada masa ini dikenal dengan
antagonistik, dimana negara betul-betul mencurigai islam sebagai kekuatan yang
potensial dalam menandingi eksistensi negara. Disisi lain uman islam sendiri
pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi
untuk mewujudkan islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan
pemerintahan.
2. Hubungan
agama dan negara yang bersifat akomodatif
Gejala menurunnya ketegangan hubungan antara
islam dan negara mulai terlihat pada pertengahan tahun 1980-an. Hal ini
ditandai dengan besarnya peluang umat islam dalam mengembangkan wacana
politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan yang di anggap positif bagi umat
islam. Kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas, ada yang bersifat
struktural, legislatif, infrasstruktural,dan kultural.
Bahtiar mengatakan ada dua alasan yang
mendasari negara melakukan akomodasiterhadap islam. Pertama,selama 25 tahun
terakhir, umat islam mengalami proses monbilisasi sosial-ekonomi-politik yang
berarti. Hal ini disebabkan oleh pembanguanan ekonomi dan meluasnya akses
kependidikan tinggi modern. Mereka tertransformasikan kedalam entitas level
menengah, baik secara sosial, ekonomi, maupun secara politik. Kedua, adanya
transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru islam. Umat islam
telah mengalami transformasi intelektual dan antivisme yang semula bersifat
legalistik-formalistik menjadi lebih subtansialistik.[9]
J.
Negara
Islam
Para
ulama dan politisi Islam menyatakan bahwa Islam adalah agama dan negara (al-islam huwa al-din wa ad-daulah).
Doktrin ini mengandung sebuah anggapan dasar bahwa agama Islam memiliki dimensi
politik dan dimensi ritual. Doktrin menyatakan bahwa Islam dan politik tidak
terpisahkan, agama dan negara merupakan dua objek penting dalam politik Islam.
Antara agama dengan politik tidak kontradiktif, keduanya memiliki hubungan
fungsional, yaitu kekuasaan politik berfungsi melindungi agama dan agama
berfungsi mengawal kekuasaan politik.
Doktrin
pengintegrasian antara agama dan negara yang tercermin dalam ajaran al-islam huwa ad-din wa ad-daulah tidak
mengandung arti bahwa terjadi campur aduk antara keduanya. Oleh karena itu,
tidak muncul dugaan dan keyakinan bahwa kebenaran agama adalah kebenaran
politik dan kebenaran politik adalah kebenaran agama. Identitas dan watak kebenaran
keduanya tetap bertahan dan tidak hilang. Kebenaran politik tetap sebagai
kebenaran subjektif dan objektif, sedangkan kebenaran agama tetap sebagai
kebenaran sejati. Kebenaran subjektif mengukur benar-salah dari kepentingan
personal. Kebenaran objektif mengukur benar salah berdasarkan nalar sosial
(pandangan orang banyak). Adapun kebenaran sejati adalah kebenaran yang
berdasar pada wahyu Tuhan. Berkaitan dengan itu, doktrin ini tidak mengenalkan
negara Tuhan yang mendapatkan mandat sakral dari langit dan melaksanakan
kehendak Tuhan di muka bumi.[10]
K.
Unsur-unsur
Negara Islam
Dalam
pengertian modern, negara adlah kumpulan rakyat yang menempati wilayah tertentu
dan tunduk pada kekuasaan atau sistem pemerintahan tertentu. Pengertian ini
memberikan batasan bahwa unsur negara terdiri atas tiga hal, yaitu:
1.
Rakyat
Dalam
pengertian ketatanegaraan konvesional, rakyat terdiri atas dua unsur: (1) unsur
materiil, yaitu kumpulan orang yang menetap secara permanen di wilayah
tertentu, dan (2) unsur spiritual (maknawi), yaitu kehendak atau maksud
bertempat tinggal dan hidup bersama.
Rakyat dalam pengertian
negara Islam adalah kumpulan orang yang menetap di negeri Islam, yaitu
komunitas Muslim yang yakin terhadap Islam sebagai agama, sistem undang-undang,
akidah, dan politik. Termasuk rakyat dalam pengertian negara Islam adalah
orang-orang non-Muslim yang mengikat perjanjian damai dengan pihak penguasa dan
tunduk terhadap sistem hukum yang diajalankan.
Batasan
pengertian rakyat dalam ketatanegaraan Islam adalah akidah. Oleh sebab itu,
setiap orang yang berakidah Islam dan berada di negara Islam mana pun dikatakan
sebgai rakyat negara tersebut.
2.
Wilayah
Wilayah
dalam ketatanegaraan Islam adalah setiap teritorial yang berada dalam kekuasaan
kaum Muslim, baik daratan, lautan, maupun udara. Di wilayah tersebut setiap
warga negara Islam memiliki hak penuh untuk hidup dan mendapatkan sumber-sumber
kehidupan.
3.
Pemerintahan yang berdaulat
Pemerintahan
dalam pengertian ketatanegaraan Islam badan-badan negara yang memiliki
kekuasaan untuk memerintah di dalam wilayah negara Islam. Keberadaan
pemerintahan merupakan pembeda antara kumpulan individu yang dikatakan sebagai
negara dengan kumpulan individu nonnegara.
Kriteria
pemerintahan yang berdaulat dalam suatu negara adalah sebagai berikut.
a.
Ditaati oleh setiap individu untuk
setiap kebijakan dan aturan yang dibuat.
b.
Dipercaya untuk menyelesaikan segala
permasalahan yang dihadapi rakyat, sehingga keputusan yang dikeluarkannya
diterima oleh mereka.
c.
Setiap larangan yang dikeluarkannya
diindahkan dan sanksi yang menyertainya diikuti.[11]
L.
Bentuk
Negara Islam
Bentuk
negara Islam adalah negara kesatuan (nizham
wahdah), yaitu negara yang menempatkan pemerintah pusat sebgaia pemegang
kekuasaan tertinggi dan wewenang legislasi. Dalam negara kesatuan tidak
terdapat pemegang kekuasaan eksekutif ganda dan cabang legislatif. Hal ini
didasarkan pada doktrin ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad
SAW., “Apabila seseorang telah mengangkat
seorang pemimpin, berikanlah kesetiaan padanya. Apabila ada imam lain yang
mengaku, hendaklah masyarakat mematahkannya.”
Dalam
negara Islam, khalifah tidak diperkenankan menyerahkan sebagian kekuasaannya
kepada pemerintah daerah secara otonom, baik dalam hal hukum, politik maupun
ekonomi. Akibatnya, salah satu efek hukum politiknya, hubungan dengan negara
lain tidak dapat dilakukan kecuali oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat (khalifah) merupakan satu-satunya aktor
hubungan luar negeri. Dalam hal bentuk negara, negara Islam menganut sistem
sentralisasi, sebagai kebalikan dari sistem desentralisasi.
Semua
kebijakan dan peraturan, dalam negara kesatuan Islam, diproses dan diputus oleh
khalifah (kekuasaan pusat). Sementara itu, penguasa daerah (amir al-bilad) hanya pelaksana kebijakan
dan peraturan tersebut.
Sebagai
kontra sistem, negara Islam tidak mengaku dan menganut bentuk negara persatuan
atau negara serikat, yaitu negara yang terdiri atas beberapa negara bagian.
Dalam sistem negara persatuan atau serikat negara-negara bagian mempunyai
wewenang dan kekuasaan untuk membuat dan memiliki konstitusi sendiri, kepala
negara sendiri, dan lembaga legislasi sendiri.
Selanjutnya,
masih sebagai kontra sistem, negara kesatuan Islam tidak membenarkan bentuk
negara konfederasi, yaitu persekutuan antar beberapa negara yang secara umum
negara-negara sekutu tersebut masih tetap berdaulat dan merdeka. Biasanya,
negara persekutuan dibentuk karena ada kesamaan kepentingan.[12]
M.
Bentuk
Pemerintahan Islam
Bentuk
pemerintahan suatu negara, pada dasarnya merupakan aktualitas cara suatu negara
dijalankan oleh para pemegang kekuasaan. Bentuk pemerintahan negara Islam pada
masa Nabi Muhammad SAW. dapat diidentifikasi sebagai pemerintahan syurakrasi, pemerintahan yang menjadikan
musyawarah sebagai landasan dan metode mengelola negara. Syurakrasi merupakan sistem pemerintahan yang melibatkan masyarakat
dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan setiap program.
Dalam
teori ketatanegaraan modern, terdapat beberapa bentuk pemerintahan, diantaranya
adalah monarki, oligarki, dan demokrasi. Apabila pemerintahan itu terletak di
tangan “satu” orang, pemeritahan itu disebut monarki. Monarki berasal dari kata
“mono”, yang berarti satu dan “archien”, yang berarti memerintah. Jadi monarki
adalah satu orang yang memerintah.
Dalam
perkembangannya, monarki dpaat dibedakan menjadi:
1.
Monarki absolut atau kerajaan mutlak,
yaitu raja sebagai kepala negaranya memegang seluruh kekuasaan negara. Raja
berkuasa mutlak terhadap seluruh kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif. Monarki absolut biasanya dilandasi paham teokrasi, yaitu raja
dianggap sebagai penjelmaan Tuhan atau wakil Tuhan di bumi. Contohnya ialah Louis
XIV yang terkenal dengan semboyan kenegaraannya, L’etat c-est moi” atau negara itu adalah saya.
2.
Monarki konstitusional atau kerajaan
yang dibatasi undang-undang dasar, yaitu kekuasaan raja selaku kepala negara
dibatasi oleh konstitusi. Monarki konstitusional sering disebut juga “monarki
modern”. Umumnya pemerintahan monarki absolut kini adalah monarki
konstitusional, seperti Inggris dan Belanda.
Jika suatu pemerintahan terletak pada
beberapa orang, pemerintahan itu disebut oligarki. Oligarki adalah bentuk
pemerintahan yang kekeuasaan negara terletak di tangan sejumlah orang yang
memerintah ini, mungkin juga berbentuk aristokrasi. Meskipun demikian,
aristokrasi berbeda dengan oligarki. Aristokrasi adalah letak pemerintahan ada
di tangan sejumlah kecil dari rakyat yang merupakan orang-orang yang terbaik
dan menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan “semua orang”. Sementara itu,
jika kekuasaan pemerintah terletak di tangan rakyat bersama-sama, pemerintahan
itu disebut demokrasi.[13]
N.
Negara
dan Gerakan Perempuan
Perempuan
adalah bagian dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah
kesejahteraan masyarakat. Dalam keadaan krisis perekonomian, perempuanlah yang
paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan yang
kritis, seringkali perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan
menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian,
mulai dari perekonomian keluarga, meluas sampai ke perekonomian rakyat.
Kata
feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa
ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill,
"Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada
tahun (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya
gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan
perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua
bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang
bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang
berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar
rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami
perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa
dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke
seluruh dunia.
Menjelang
abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari
para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa
memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal
(universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru,
menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah
politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.
Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang
kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang
kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the
Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh
nilai-nilai maskulin.
Dilihat dari
perkembangan zaman kedudukan perempuan saat ini telah mengalami perkembangan
yang begitu mengembirakan. Sosok perempuan tidak lagi berada di dalam rumah
saja, tetapi perempuan kini lebih mendominasi dibandingkan laki-laki.
Adapun
kedudukan perempuan sudah berkembang di segala bidang yaitu sebagai berikut:
1.
Bidang Politik
Banyaknya
perempuan yang bekerja di bidang politik saat ini telah menunjukkan peran
perempuan yang lebih luas dalam membangun demokrasi di Indonesia. Perempuan
tidak hanya dapat membangun kesadaran berdemokrasi dari lingkup keluarga, tapi
juga menjadi bagian dari lembaga politik dan pemerintahan. Selanjutnya, Priyo
Budi Santoso mencatat bahwa sejak bergulirnya era reformasi yang dimulai pada
tahun 1998, peran lebih besar perempuan dalam proses pengambilan kebijakan
adalah sebuah keniscayaan. Kenyataan ini terindikasi dengan adanya trend
positif peningkatan partisipasi politik kaum hawa tersebut di dalam kancah
perpolitikan nasional.
2.
Bidang pendidikan
Gerakan wanita merupakan sebuah organisasi yang muncul berdasarkan ideologi
sekumpulan wanita Indonesia yang berjuang menjunjung tinggi hak asasi wanita
terutama dalam bidang pendidikan. Mereka
memperjuangkan haknya agar kedudukan wanita setara dengan kaum lelaki.
Tidak hanya berkutik di dapur mengurus suami berserta anak dan keluarganya. Para wanita berhak mendapatkan
pendidikan yang setinggi-tingginya. Sang pelopor organisasi, yaitu RA.
Kartini bekerja sama dengan Belanda dalam
mewujudkan cita-citanya membangun masyarakat wanita yang kaya ilmu dan
pengetahuan. Ia menjadikan perkumpulan wanita Indonesia sebagai perserikatan yang berhaluan kooperatif
terhadap pemerintah. Hal inidirealisasikan dengan diadakannya Kongres
Perempuan.
Sedikit demi sedikit wanita Indonesia memilikikedudukan yang sama dengan
kaum lelaki. Bahkan hingga sekarang wanita Indonesia lebih maju dari laki laki.
Dapat di ambil contoh, bangsa Indonesia pernah dipimpin oleh seorang
wanita. Itu menggambarkan betapa majunya wanita Indonesia pada masa kini. Dan itu merupakan penghargaan terbesar bagi mereka
atas perjuangan dan kerja keras selama bertahun-tahun hingga akhirnya mereka mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan
dan sekarang kita dapatmerasakan hasil dari perjuangan para wanita
Indonesia tersebut.
3.
Dalam Keluarga atau Masyarakat
Di dalam
keluarga atau masyarakat kedudukan perempuan berada sebagai Ibu Rumah Tangga.
Dimana setiap harinya perempuan yang sudah menikah akan mengurus anak dan
suaminya. Perempuan sebagai sosok yang sangat dikagumi dalam rumah. Menyayangi,
mendidik, membesarkan, dan menuntun anak-anak mereka bersama dengan suami.
Perempuan harus menjaga harkat dan martabat suami didalam maupun di luar rumah.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Negara
adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer,
ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di
wilayah tersebut.
Unsur-unsur
pembentuk Negara terdiri atas Rakyat, Wilayah.Pemerintah yang berdaulat dan
pengakuan dari Negara. Tujuan negara yaitu memperluas kekuasaan,
menyelenggarakan ketertiban hukum, dan mencapai kesejahteraan umum. Tujuan
negara RI adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Teori negara
yaitu, teori kontrak sosial, teori ketuhanan, teori kekuatan, teori organis,
dan teori historis. Bentuk negara yaitu, negara kesatuan, negara serikat,
monarkhi, oligarkhi, dan demokrasi. Hubungan agama dan negara secara umum
yaitu, adanya paham teokrasi, paham sekuler, dan paham komunis.
B. Saran
Sebaiknya
pengetahuan akan hakikat Negara ditingkatkan, tujuannya untuk meningkatkan pula
rasa nasionalisme dan patriotisme agar terciptanya warga Negara yang cerdas
kritis dan rasa bela negara yang tinggi.
Saran dan kritik yang bersifat membangun dari dari berbagai pihak sangat diharapkan demi kelengkapan isi dari makalah ini, atas perhatianya kami mengucapkan terima kasih.
Saran dan kritik yang bersifat membangun dari dari berbagai pihak sangat diharapkan demi kelengkapan isi dari makalah ini, atas perhatianya kami mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Rosyada,
Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education) Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarat, 2003.
Toriquddin,
Moh. Relasi Agama dan Negara. Malang:
UIN Malang Press, 2009.
Situmorang,
Jubair. Politik Ketatanegaraan Dalam
Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Kencana
Syafiie, Inu. Etika Pemerintahan.
Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
[1] Rosyada, Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN
Syarif Hidayatullah Jakarat, 2003. Hal. 39.
[2] Situmorang, Jubair. Politik Ketatanegaraan Dalam Islam.
Bandung: Pustaka Setia, 2012. Hal. 281.
[3] Rosyada, Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN
Syarif Hidayatullah Jakarat, 2003. Hal. 45.
[4] Ibid,
hal. 54.
[5] Kencana Syafiie, Inu. Etika Pemerintahan. Jakarta: Rineka
Cipta, 2011. Hal. 82
[6] Rosyada, Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN
Syarif Hidayatullah Jakarat, 2003. Hal. 41.
[7] Ibid.
Hal. 56
[8] Ibid.
Hal. 58.
[9] Ibid.
Hal. 62.
[10] Situmorang, Jubair. Politik Ketatanegaraan Dalam Islam.
Bandung: Pustaka Setia, 2012. Hal. 290.
[11] Ibid.
Hal. 299.
[12] Ibid.
Hal. 306
[13] Ibid.
Hal. 307.
0 komentar:
Posting Komentar