BAB 6
TEORI DAN KONSEP
BELAJAR
A. Teori-teori
Belajar
Teori ialah prinsip kasar yang
menjadi dasar pembentukan sesuatu ilmu pengetahuan. Dasar teori ini yang akan
di kembangkan pada ilmu pengetahuan agar dapat di ciptakan pengetahuan baru
yang lebih lengkap dan detail sehingga dapat memperkuat pengetahuan
tersebut.Teori juga merupakan satu rumusan daripada pengetahuan sedia ada yang
memberi panduan untuk menjalankan penyelidikan dan mendapatkan maklumat baru.
Sehingga ada ahli yang mengemukakan asumsinya terhadap kebutuha adanya sebuah
rumusan teori. Menurut Snelbecker menjelaskan sejumlah asumsi dijadikan dasar
untuk menentukan gejala yang diamati dan atau teori yang dirumuskan.
Asumsi-asumsi itu adalah:
1.
Ilmu
dan pengetahuan berkembang dengan pesat dengan implikasi bagi kebanyakan orang
untuk mengikuti perkembangan itu.
- Pertambahan penduduk akan senantiasa terjadi meskipun dengan derajat perbandingan yang kian mengecil. Perkembangan penduduk ini membawa implikasi makin banyaknya mereka yang perlu memperoleh pendidikan.
- Terjadinya perubaha-perubahan mendasar dan bersifat menetap di bidang sosial, politik, ekonomi, industri, atau secara luas kebudayaan, yang menghendaki re-edukasi atau pendidikan terus-menerus bagi semua orang.
- Penyebaran teknologi ke dalam kehidupan masyarakat yang makin meluas. Masyarakat mengandung budaya dan teknologi, yang memengaruhi segenap bidang kehidupan, termasuk di dalamnya bidang pendidikan.
Makin terbatasnya sumber-sumber
tradisional sehingga harus diciptakan sumber-sumber baru dan sementara itu
memanfaatkan sumber yang makin terbatas itu secara lebih berdaya guna dan
berhasil guna. Termasuk dalam sumber tradisional ini adalah sumber insani untuk
keperluan pendidikan.
Dan untuk asumsi tersebut dapat di
buktikan kebenarannya atau tidak itu tidak menjadi masalah dalam teori
Pembelajaran. Yang terpenting adalah hasil Teori -teori yang di kemukakan ahli
dapat memberikan rumusan baru pada pembelajaran. Pada asasnya, teori-teori
pembelajaran masa kini dapat diklasifikasikan kepada teori yang utama yaitu
yaitu behavioris, kognitif, sosial, humanis, Piaget, Vygotsky, Ausubel, dan
Konstruktivisme. Untuk lebih jelasnya, disini akan di bahas satu-persatu di
bawah ini.
1.
Teori
Behavioris
Teori behavioris yang
diperkenalkan oleh Ivan Pavlov dan dikembangkan oleh Thorndike
dan Skinner, berpendapat bahwa pembelajaran adalah berkaitan dengan
perubahan tingkah laku. Teori pembelajaran mereka kebanyakannya dihasilkan
dengan. Mereka menumpukan ujian kepada perhubungan antara ‘rangsangan’ dan
‘gerakbalas’ yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Ujian ini bisa bersifat
sebagai suatu usaha yang dapat merubah tingkah laku orang agar bisa lebih baik.
Maka perubahan inilah yang di sebut pembelajaran. Secara umumnya memang teori
behavioris menyatakan bahwa pengajaran dan pembelajaran akan mempengaruhi
segala perbuatan atau tingkah laku pelajar sama ada baik atau sebaliknya. Teori
ini juga menjelaskan bahwa tingkah laku pelajar dapat diperhatikan dan
diprediksi apakah mengarah ke hal positif atau negative.
2.
Teori
Kognitif
Teori kognitif pula berpendapat
bahwa pembelajaran ialah suatu proses pendalaman yang berlaku dalam akal
pikiran, dan tidak dapat diperhatikan secara langsung dengan tingkah laku.
Ahli-ahli psikologi kognitif seperti Bruner dan Piaget menjelaskan kajian
kepada berbagai jenis pembelajaran dalam proses penyelesaian masalah dan akal
berdasarkan berbagai peringkat umur dan kecerdasan pelajar. Teori-teori
pembelajaran mereka adalah bertumpu kepada cara pembelajaran seperti pemikiran
cerdik, urgensi penyelesaian masalah, penemuan dan pengkategorian. Menurut
teori ini, manusia memiliki struktur kognitif, dan semasa proses pembelajaran,
otak akan menyusun segala pernyataan di dalam ingatan.
3.
Teori
Sosial
Teori sosial pula menyarankan teori
pembelajaran dengan menggabungkan teori behavioris bersama dengan kognitif.
Teori ini juga dikenal sebagai Teori Perlakuan Model. Albert Bandura, seorang
tokoh teori sosial ini menyatakan bahwa proses pembelajaran akan dapat
dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan pendekatan ‘permodelan’.
Beliau menjelaskan lagi, bahwa aspek pemerhatian pelajar terhadap apa
yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan juga aspek peniruan oleh
pelajar akan dapat memberikan kesan yang menarik kepada kepahaman pelajar.
Sehingga dalam pembelajaran perlu ada obyek belajar sehingga seorang guru dapat
mempraktekkan materinya untuk lebih dipahami siswa dengan obyek tadi.
4.
Teori
Humanisme
Teori humanis juga berpendapat
pembelajaran manusia bergantung kepada emosi dan perasaannya. Seorang ahli
teori ini, Carl Rogers menyatakan bahwa setiap individu itu mempunyai cara
belajar yang berbeda dengan individu yang lain. Oleh karena itu, strategi dan
pendekatan dalam proses pengajaran dan pembelajaran hendaklah dirancang dan
disusun mengikut kehendak dan perkembangan emosi pelajar itu. Beliau juga
menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai potensi dan keinginan untuk
mencapai aktualisasi diri. Maka, guru hendaknya menjaga psikologi pelajar dan
memberi bimbingan supaya potensi mereka dapat diperkembangkan ke tahap
maksimal.
5.
Teori
Piaget
Menurut Piaget (Dahar 1996; Hasan
1996; Surya 2003), setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan
intelektual dalam pembelajaran. Tahap- tahap tersebut berdasarkan umur seorang
anak. Tahap-tahap tersebut sebagai berikut:
1.
Tingkat
Sensorimotor (0-2 tahun)
Anak mulai
belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan
gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus
yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki pengetahuan object
permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat di depan matanya,
tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya
beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi
memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang
dilakukan orang-orang di sekelilingnya.
2.
Tahap
Preoporational (2-7 tahun)
Pada tahap
ini anak sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya
belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan
anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di mana mereka berpikir subyektif
dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka
sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang perkembangan
kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya membedakan
bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walau
bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia
ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit
daripada menggunakan hanya kata-kata.
3.
Tahap
Concrete (7-11 thn)
Pada
umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep
konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah
bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah
mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak
se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam
bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya
mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif
dibandingkan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).
4.
Tahap
Formal Operations (11 tahun ke atas)
Pada tahap
ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu
mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji
hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada
tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua kemungkinan
dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan
kemampuan berpikir analistis dan logis.
Sehingga pada yang terakhir inilah
merupakan kesempurnaan dari penerimaan pembelajaran yang baik dan mengembangkan
potensi diri yang sempurna.
6.
Teori
Vygotsky
Vygotsky adalah salah seorang tokoh
konstrutivisme. Hal terpenting dari teorinya adalah pentingnya interaksi antara
aspek internal dan eksternal pembelajaran dengan menekankan aspek ling-kungan
sosial pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi ketika
siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas
itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam
zona perkembangan proksimal (zone of proximal development).
Sumbangan teori Vigotsky
adalah penekanan pada bakat sosio budaya dalam pembelajaran. Menurutnya,
pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja dalam zona perkembangan proksima (zone
of proximal development). Zona perkembangan proksima adalah tingkat
perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang pada ketika
pembelajaran berlaku.
Astuty (2000) secara terperinci,
mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan “zona per-kembangan proksima”
adalah jarak antara tingkat per-kembangan sesungguhnya dengan tingkat
perkembangan potensial. Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri sedangkan tingkat per-kembangan potensial
adalah kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui
kerja sama dengan rakan sebaya yang lebih mampu. Oleh yang demkian, maka
tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model pembelajaran
koperatif. Ide penting lain juga diturunkan Vygotsky ialah konsep
pemenaraan (scaffolding) (Nur 2000), yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada
siswa pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab sekadar yang
mereka mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk, peringatan, dorongan,
menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh ataupun
hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh sendiri.
7.
Teori
Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli
psikologi pendidikan. Menurut Ausubel (Dahar 1996) bahan subyek yang dipelajari
siswa haruslah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu
proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta,
konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah disiswai dan diingat
siswa. Suparno (1997) mengatakan pembelajaran bermakna adalah suatu proses
pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang
sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran.
Menurut Ausubel, pemecahan masalah
yang sesuai adalah lebih bermanfaat bagi siswa dan merupakan strategi yang
efisien dalam pembelajaran. Kekuatan dan makna proses pemecahan masalah dalam
pembelajaran sejarah terletak pada kemampuan siswa dalam mengambil peranan pada
kumpulannya. Untuk melancarkan proses tersebut maka diperlukan bimbingan secara
langsung daripada guru, sama ada secara lisan maupun dengan tingkah laku,
manakala siswa diberi kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri.
Selanjutnya Ausubel mengatakan bahwa
ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna (meaningful learning) dan belajar
menghafal (rote learning). Bahan pelajaran yang dipelajari haruslah bermakna.
Belajar bermakna adalah suatu proses di mana informasi baru dihubungkan dengan
struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar
akan bermakna bila siswa mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan
yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah
fakta-fakta, konsep konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari
dan diingat oleh siswa.
Lebih lanjut Ausubel (dalam
Kartadinata, 2001) mengemukakan, seseorang belajar dengan mengasosiasikan
fenomena, pengalaman dan fakta-fakta baru ke dalam skemata yang telah
dipelajari. Hal ini menjadikan pembelajaran akuntansi tidak hanya sebagai
konsep-konsep yang perlu dihapal dan diingat hanya pada saat siswa mendapat
materi itu saja tetapi juga bagaimana siswa mampu menghubungkan pengetahuan
yang baru didapat kemudian dengan konsep yang sudah dimilikinya sehingga
terbentuklah kebermaknaan logis.
8.
Teori
Konstruktivisme
Teori konstruktivisme lahir dari
idea Piaget dan Vygotsky. Konstruktivisme adalah satu faham bahwa siswa membina
sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berasaskan pengetahuan dan
pengalaman sedia ada. Dalam Proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan
yang diterima dengan pengetahuan sedia ada untuk membina pengetahuan baru.
Mengikut Briner (1999), pembelajaran secara konstruktivisme berlaku di mana
siswa membina pengetahuan dengan menguji ide dan pendekatan berasaskan
pengetahuan dan pengalaman sedia ada, mengimplikasikannya pada satu situasi
baru dan mengintegerasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan
intelektual yang sedia wujud. Manakala mengikut Mc Brien dan Brandt (1997),
konstruktivisme adalah satu pendekatan pembelajaran berasaskan kepada penelitian
tentang bagaimana manusia belajar. Kebanyakan peneliti berpendapat setiap
individu membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan daripada
orang lain.
Brooks dan Books (1993) pula
menyatakan konstruktivisme berlaku apabila siswa membina makna tentang dunia
dengan mensintesis pengalaman baru pada apa yang mereka telah faham sebelum
ini. Mereka akan membentuk peraturan melalui cerminan tentang tindak
balas mereka dengan objek dan idea. Apabila mereka bertemu dengan objek, ide atau
perkaitan yang tak bermakna pada mereka, maka mereka akan sama ada
menginterpretasikan apa yang mereka lihat supaya sesuai dengan peraturan yang
telah dibentuk atau disesuaikan dengan peraturan agar dapat menerangkan
informasi baru. Dalam teori konstruktivisme, penekanan diberikan pada siswa
lebih daripada guru. Ini karena siswalah yang bertindak balas dengan bahan dan
peristiwa dan memperoleh kepahaman tentang bahan dan peristiwa
tersebut. Justru, siswa membina sendiri konsep dan membuat penyelesaian kepada masalah
(Sushkin 1999). Pada teori menekankan pada siswa untuk mencari cara sendiri
untuk setiap penyelesaian masalah. Sehingga dapat ditemukan cara yang sesuai
dengan dirinya.
B. Konsep
Belajar
Ada banyak sekali konsep
pembelajaran yang diterapkan khususnya di Indonesia. Salah satunya konsep
pembelajaran konstekstual yang dipandang sebagai salah satu strategi yang
memenuhi prinsip pembelajaran. Konsep pembelajaran yang konstekstual ini merupakan
pembelajaran aktif antara guru dan siswa. Dan di dalam konsep pembelajaran
konstekstual ada unsur-unsurnya. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut
penjelasannya.
a.
Constructivisme
Belajar
adalah proses aktif mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami
maupun manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari makna
dengan memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka
berpikir yang dimiliki. Belajar berarti menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta
didik membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan belajar dikemas menjadi proses
mengonstruksi pengetahu-an, bukan menerima pengetahuan sehingga belajar dimulai
dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik menemukan ide dan
pengetahuan (konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian peserta didik
mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan
kepuasan atas penemuannya itu.
b.
Inquiry
Siklus
inkuiri: observasi dimulai dengan bertanya, mengajukan hipotesis, mengumpulkan
data, dan menarik simpulan. Langkah-langkah inkuiri dengan merumuskan masalah,
melakukan observasi, analisis data, kemudian mengomunikasikan hasilnya.
Inquiri merupakan pembelajaran untuk dapat berpikir nyata dan kritis dalam
menyikapinya. Biasanya untuk inkuiri ini berbentuk kasus untuk dianalisis
berdasarkan teori yang ada.
c.
Questioning
Berguna
bagi guru untuk: mendorong, membimbing dan menilai peserta didik; menggali
informasi tentang pemahaman, perhatian, dan pengetahuan peserta didik. Berguna bagi
peserta didik sebagai salah satu teknik dan strategi belajar. Jika pertanyaan
bagus maka akan memberikan rasa ingin tahu kepada peserta didik.
d.
Learning
Community
Dilakukan
melalui pembelajaran kolaboratif. Belajar dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil
sehingga kemampuan sosial dan komunikasi berkembang.
e.
Modelling
Berguna
sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh peserta didik seperti cara
menggali informasi, demonstrasi, dan lain-lain. Pemodelan ini dapat dilakukan
oleh guru (sebagai teladan), peserta didik, dan tokoh lain.
f.
Reflection
Yaitu
tentang cara berpikir apa yang baru dipelajari. Sehingga ada respon terhadap
kejadian, aktivitas/pengetahuan yang baru. Hasilnya nanti merupakan konstruksi
pengetahuan yang baru. Bentuknya dapat berupa kesan, catatan atau hasil karya
yang dapat memberikan imbal balik.
g.
Autentic
Assesment
Yaitu
menilai sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Hal iuni berlangsung selama proses
pembelajaran secara terintegras. Pada unsur ini dapat dilakukan melalui
berbagai cara yaitu test dan non-test. Alternative bentuk yang dapat dilakukan
kinerja, observasi, portofolio, dan/atau jurnal.
Seorang
ahli yang bernama Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran lain
daripada konsep pembelajaran konstektual yaitu “Student Centered Learning” yang
intinya yaitu :
1.
Kita
tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya.
2.
Seseorang
akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat
memperkuat/menumbuhkan “self”nya.
3.
Manusia
tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan.
4.
Pendidikan
akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan
terhadap peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/pendapat
difasilitasi/diakomodir.
Dari
kedua konsep tersebut memang tidak ada yang salah dalam pembelajaran. Biasanya
yang terjadi kekeliruan adalah pada saat prakteknya. Banyak pengajar yang
mempraktekkan sesuka dirinya sehingga jika dikatakan seorang pengajar itu hanya
menggunakan satu konsep, itu merupakan pernyataan yang salah. Banyak para
pengajar yang menggunakan kombinasi berbagai konsep. Hal ini agar menunjang
pembelajaran yang baik dan agar bisa di mengerti oleh siswanya dengan baik.
Ketika seorang pengajar menggunakan konsep terdiri hanya satu itupun sebenarnya
tidak salah, karena banyak sekali pengajar yang mengajar dengan konsep sama
tetapi terjadi perbedaan di teknik-teknik pembelajarannya. Maka haruslah
dimengerti untuk konsep ini bebas dilakukan oleh pengajar apakah mimilih satu
atau dua konsep.
0 komentar:
Posting Komentar