BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Proses Islamisasi massif di Asia Tenggara
tidak dapat dilepaskan dari peranan kerajaan Islam (kesultanan). Berawal ketika
raja setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum
bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Dalam perkembangan selanjutnya,
kesultanan memainkan peranan penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan
sebagai institusi politik muslim, pembentukan dan pengembangan
institusi-institusi muslim lainnya, seperti pendidikan dan hukum (peradilan
agama) tetapi juga dalam peningkatan syiar dan dakwah islam.
Sejak kehadirannya, kesultanan Islam menjadi
kekuatan vital dalam perdagangan bebas internasional. Dalam masa perdagangan
bebas internasional, kesultanan mencapai kemakmuran yang pada gilirannya sangat
menentukan bagi perkembangan Islam secara keseluruhan di Asia Tenggara.
Dan salah satu kerajaan yang dimaksud adalah kerajaan yang ada di Sumatera. Di
Sumatera sendiri, memiliki beberapa kerajaan yang membantu awal masuk dan
penyebaran Islam, serta memiliki pengaruh yang besar terhadap penyebaran Islam
di pelosok Nusantara lainnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
menjelaskan bagaimana proses masuknya Islam di Sumatera dan bagaimana pula
peran ulama dan pengusaha dalam membantu penyebaran Islam di Sumatera.
1.2
Rumusan Masalah
Dari
penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana proses awal masuknya Islam di
Sumatera?
2. Bagaimana peran ulama dan pengusaha
dalam penyebaran Islam di Sumatera?
1.3
Tujuan
Adapun
tujuan yang dapat ditarik dari permasalahan yang ada yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana proses awal masuknya Islam di
Sumatera?
2. Bagaimana peran ulama dan pengusaha
dalam penyebaran Islam di Sumatera?
1.4
Manfaat
Manfaat yang
dapat diambil dari makalah ini ialah sebagai berikut.
1. Bagi mahasiswa, selain untuk memenuhi
tugas kuliah penulis, juga dapat menambah ilmu pengetahuan keislaman.
Memperdalam ilmu sejarah Islam yang ada di Nusantara dan Asia Tenggara.
2. Bagi pembaca umum, dapat dijadikan
sebagai salah satu referensi dalam pembuatan tugas lainnya yang berkaitan,
serta dapat menambah wawasan keislaman.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Awal Masuk Islam di Sumatera
Aceh yang secara geografis terletak di utara
pulau Sumatera, di pandang sebagai daerah pertama yang menerima Islam di
Nusantara. Konon kerajaan Islam telah berdiri sejak abad ke-9 M. pendapat ini
dikemukakan antara lain oleh Yunus Jamil dan Hasymi, yang konon telah didirikan
pada 225H/845M. Pendirinya adalah para pelaut pedagang muslim asal Persia, Arab
dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Namun
menurut Azra, sampai saat ini belum ada bukti akurat yang bisa dipegangi, bahwa
pada pertengahan abad ke-9M telah terdapat entitas politik Muslim dikawasan ini
yang di sebut “Kesultanan Perlak”.[1]
Menurut
Morisson, ia menyimpulkan bahwa Islam di Indonesia dibawa para pendakwah Muslim
dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13. Ia menyangkal teori Gujarat yang
mengatakan bahwa tempat asal Islam di Nusantara berasal dari Gujarat, pesisir
selatan India. Ini berdasarkan pada bentuk dan gaya batu nisan yang sama dengan
gaya batu nisan Gujarat. Akan tetapi, menurut Morrison, meskipun batu-batu
nisan tersebut berasal dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Ia
mengatakan, ketika Islamisasi Samudera Pasai yang raja pertamanya wafat pada
698H/1297, Gujarat masih merupakan sebuah kerajaan Hindu. Setahun berikutnya,
Gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan Muslim. Artinya, jika Islam Indonesia
disebarkan oleh orang-orang Gujarat pastilah Islam telah menjadi agama yang
mapan sebelum 698H/1297, yaitu sebelum kematian Malik al-Shalih.[2]
Orang-orang
Muslim dari negeri asing mungkin sudah menetap di pelabuhan-pelabuhan dagang di
Sumatera dan Jawa selama berabad-abad. Namun, baru menjelang akhir abad
XIII-lah ditemukan adanya jejak orang Islam pribumi. Dalam abad-abad
selanjutnya, Islam secara berangsur-angsur menyebar melampaui daerah pantai
Sumatera dan Semenanjung Malaya, ke pantai utara pulau Jawa dan beberapa pulau
pengahasil rempah-rempah di Indonesia bagian Timur.[3]
Di
Sumatera, kerajaan-kerajaan seperti Indragiri, Anak Sungai, Pasaman, Siak,
Jambi, Palembang, dan Aceh merupakan contoh kerajaan yang terletak di tepi
sungai-sungai besar. Pada abad XV sampai XVI, hubungan lalu lintas melalui
sungai dan lautan dengan menggunakan perahu dan kapal layar dianggap lebih
tepat, cepat dan mudah. Kerajaaan-kerajaan tersebut menjadi kota-kota pelabuhan
yang penting, karena letaknya di sepanjang selat Malaka yang selama
berabad-abad merupakan salah satu urat nadi pelayaran dan perdagangan
internasional yang menghubungkan bagian barat, dan timur benua Asia.[4]
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang terletak di
pesisir timur laut Aceh, yang diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke
13M sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke 7M. Bukti pendukungnya ialah
adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu
dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan
tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297M.
Ibnu
Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di sana.
Berdasarkan beritanya, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi
agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk
berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.[5]
Ketika
kerajaan Samudera Pasai sudah berdiri, perkembangan Islam makin meluas.
Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama yang mempunyai kekuatan politik
dan mempunyai hubungan Internasional menjadi pusat politik Islam, dakwah Islam,
dan ekonomi umat Islam. Rajanya mengadakan mudzakarah
tentang Islam, mengimami shalat Jum’at, dan menjadikan istananya tempat
berkumpul ulama-ulama dari Timur Tengah, didatangi oleh penuntut ilmu dan
mengirimkan mubalig-mubalig ke daerah-daerah lain, mengawinkan putri-putrinya
dengan raja-raja muda kerajaan lain dalam rangka peluasan Islam. Kerajaan Pasai
mengirim mubalig ke Jawa, yaitu Maulana Malik Ibrahim dan mengislamkan raja
Malaka Prameswara menjadi Muslim bergelar Megat Iskandar Syah.[6]
Kerajaan
Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524M. Pada tahun 1521M, kerajaan ini
ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun
1524M dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan
Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar
Aceh Darussalam.[7]
Setelah
Kerajaan Samudera Pasai jatuh, selanjutnya dilanjutkan oleh Kerajaan Aceh
Darussalam. Pertumbuhan kerajaan Aceh disebabkan kemajuan perdagangan pada
permulaan abad ke-15 M. Di kota Aceh saudagar-saudagar dari berbagai bangsa
berdagang, membeli dan menjual barang-barang dari berbagai negeri. Sultan Ali
Mughayat Syah adalah Sultan pertama Aceh yang membesarkan kerajaan Aceh,
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Turki yang pada tahun 1453
sultannya, Muhammad al-Fatih, berhasil merebut Konstantinopel yang kemudian
dijadikan ibukota. Sultan Turki memberikan bantuan berupa meriam dan bendera
sebagai lambang perlindungan Turki terhadap Aceh dalam kesatuan kekhalifahan
Islam. Di Asia Tenggara hanya Aceh yang diakui oleh Dunia Islam, dengan
demikian kedudukan Aceh bertaraf internasional. Oleh karena itu, Aceh berani
menentang dan menyerang Portugis.[8]
Kerajaan
Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar,
yang berdiri pada abad ke-15 M oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Pada masa
pemerintahannya, Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang
perdagangan, karena saudagar-saudagar muslim yang sebelumnya berdagang dengan
Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis.[9]
Sultan pertama kerajaaan Aceh adalah Ali
Mughayat Syah. Pada masa pemerintahannya , Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah
kekuasaannya ke daerah Pidie yang berkerjasama dengan Portugis, kemudian ke
Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut ia
dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Keberhasilannya
dalam menguasai beberapa wilayah dan menggabungkannya menjadi Kesultanan Aceh
Darussalam itulah menyebabkan ia dianggap sebagai pendiri kekuasaan Aceh
sesungguhnya. Ali Mughayat Syah digantikan anak sulungnya , Salah ad-Din
(1528-1537). Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, tetapi mengalami kegagalan.
Salah ad-Din digantikan oleh saudaranya Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar
(1537-1568). Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menaklukkan Aru dan Johor,
bahkan dengan bantuan persenjataan Dinasti Ottoman, ia menyerang Portugis di
Malaka. Alauddin Ri’ayat Syah digantikan oleh Sultan Ali Riayat Syah
(1568-1573), kemudian Sultan Seri Alam, Sultan Muda (1604-1607) dan Sultan
Iskandar Muda, Gelar Mahkota Alam(1607-1636).[10]
Kota
Samudera, yang kemudian dikenal sebagai Pasai, segera tumbuh menjadi sebuah
Negara Muslim yang kuat setelah Islam dapat diterima oleh penduduk setempat dan
menemukan pijakannya yang kokoh di kota itu. Kerajaan yang didirikan oleh
Sultan Malik al-Shalih ini sangat berpengaruh dalam Islamisasi di
wilayah-wilayah sekitarnya, seperti Malaka, Pidie, dan Aceh. Pada abad ke-13,
Samudera Pasai menjadi salah satu pusat perdagangan internasional. Di bawah
pemerintahan Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326), kerajaan ini
mengeluarkan mata uang emas yang beridentitas ketuhanan, yang hingga saat ini
dianggap sebagai mata uang emas tertua yang pernah dikeluarkan oleh sebuah
kerajaan Islam di Asia Tenggara.
Aceh
sendiri menerima pengislaman dari Pasai pada pertengahan abad XIV. Pasai
direbut dari tangan Portugis oleh pengusaha besar pertama Aceh, Ali Mughayat
Syah pada 930H/1524M yang merupakan daerah pemberian Sultan Minangkabau. Aceh
mengalami kemakmurannya yang besar pada masa Sultan Iskandar Muda, yang mana
kekuasaannya membentang di sepanjang pantai Timur dan Barat Sumatera. Dari
wilayah ini, Islam menyebar ke Tanah Gayo dan Minangkabau. [11]
2.2
Peran Ulama dan Pengusaha dalam Penyebaran Islam di
Sumatera
Dilihat dari aspek pengembangan agama islam,
peran Aceh tak dapat diabaikan. Seiring dengan kemajuan dan kemakmurannya dalam
bidang ekonomi, politik dan budaya, maka perkembangan pemikiran keagamaaan
serta penyebaran dakwah islam pun semakin meningkat. Kemajuan kerajaan Aceh
dalam bidang agama ditandai dengan munculnya aceh sebagai kiblat pengajaran
islam. Aceh ketika itu menjadi center ilmu pengetahuan di Asia tenggara yang
melahirkan nama-nama para intelektual Muslim atau ulama-ulama terkenal seperti
Hamzah Fansuri, Syamsudi al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdui Rauf
al-Sinkili. Sekitar abad ke 17/18 M, keempat tokoh tersebut telah mewarnai
sejarah pemikiran keagamaan Kesultanan Aceh , al-Riniri dan al-Sinkili adalah
dua dari tiga mata rantai utama dari jaringan ulama di wilayah melayu Indonesia
dengan Timur Tengah yang mempunyai peranan penting dalam menghadirkan
pembaharuan-pembaharuan keagamaan, dan dalam membawa tradisi besar Islam ke
wilayah melayu Indonesia.[12]
Samudera
Pasai merupakan tempat studi Islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah
kerajaan. Setelah Kerajaan Samudera Pasai mundur dalam bidang politik, tradisi
pendidikan agama Islam terus berlanjut. Samudera Pasai terus berfungsi sebagai
pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Di
kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan
pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti Masjid Bait
al-Rahman di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan Islam yang disebut dayah. Sultan mengambil ulama sebagai
penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah Samsuddin al-Sumatrani. Tradisi
ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya, sehingga di Aceh terdapat
ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan ilmu pengetahuan Islam di
Asia Tenggara.[13]
Di
kerajaan Aceh, misalnya ketika Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Syah memerintah,
Hamzah al-Fansuri diangkat menjadi penasihat dan mufti kerajaan yang
bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Selanjutnya, pada masa Iskandar
Tsani, Nur al-Din selain bertanggung jawab dalam bidang keagamaan juga
memainkan peran ekonomi dan politik. Walaupun para ulama Aceh menemani para
pejabat, mereka tidak terikat dengan politik lokal dan berkomunikasi secara
bebas dengan siapa saja dari berbagai tingkat masyarakat. Berbeda dengan kaum
bangsawan atau penguasa wilayah kesultanan Aceh yang dipilih raja sebagai
perantara antara rakyat dengan raja. Maka, mereka selalu harus menjaga hubungan
politik dan ekonomi dengan sultan. Walaupun para ulama terlibat di luar bidang
keagamaan, mereka juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat dari
lahirnya karya-karya dari tangan ulama-ulama Aceh yang mencakup berbagai bidang
studi termasuk ilmu keagamaan. Jadi, selain posisi dan peran ulama Aceh yang
dapat mengakomodasi dua kepentingan (politik dan social keagamaan) tersebut
dapat meminimalisasi ketegangan antara ulama birokrat dan ulama rakyat.[14]
Di masa Sultan Iskandar Tsani , para ulama
besar mulai meletakkan dasar bagi corak
pengaturan sosial. Diantaranya adalah kemitraan antara pemegang otoritas
politik dan pemegang otoritas spiritual di spiritual di seluruh tingkat
pemerintahan. Dalam pengaturan seperti ini, semakin terlihat kedudukan
strategis dan peranan penting yang dimainkan
ulama dalam mewarnai pemerintahan kearah yang lebih islami. Di zaman ini
terutama ulama-ulama besar Aceh menghasilkan karya-karya besar yang selanjutnya
mempengaruhi pemikiran islam diseluruh Nusantara.
Ilmu-ilmu yang di ajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam antara lain ialah dasar-dasar ajaran islam, hukum islam, ilmu
kalam dan teologi, ilmu tasawuf, ilmu Tafsir dan Hadis, dan berbagai ilmu
pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama islam seperti ilmu hisab,
mantiq (logika), nahu (tata bahasa arab), sejarah, astronomi, ilmu ketabiban
dan lain-lain. Selain ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum,
kesastraan Arab dan Parsi turut pula di ajarkan.
Salah satu karya intelektual yang dituliskan
di Pasai ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab
ini ditulis setelah kerajaan ditaklukkan oleh majapahit pada tahun 1365.
Menurut Hadi W.M, dilihat dari sudut corak bahasa melayu dan aksara yang
digunakan, karya ini rampung pada saat bahasa melayu telah benar-benar
mengalami proses islamisasi, dan aksara Arab-Melayu telah mulai mantap dan luas
di gunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Arab-Melayu Pasai inilah
di gunakan oleh para penulis Muslim di Asia Tenggara sehingga akhir abad ke-19
M sebagai bahsa pergaulan utama di bidang intelektual, perdagangan dan
administrasi. Karya-karya intelektual muslim awal yang juga lahir di lingkungan
kesultanan Samudera Pasai ialah berupa saduran beberapa hikayat Parsi, seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafia, HIkayat Amir
Hamzah, HIkayat Bayan Budiman dan lain-lain.[15]
Tengku H. Muslim
Ibrahim menjelaskan system kesenian di Aceh. Menurutnya, hubungan antara seni,
moral dan syariat dalam Islam sangat erat karena seni berawal dari habl min Allah dan habl min al-nas. Oleh karena
itu, kesenian Aceh telah terpadu dengan Islam dan terswujud dalam berbagai
cabang: sastra, seni tari, seni bangunan, dan seni pahat. Ini artinya, Islam di
Sumatera tidak hanya kaku terhadap agama, tetapi juga diakulturasikan dengan
seni sehingga lebih disukai masyarakat dan mudah dalam melakukan penyebarannya.[16]
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Aceh di pandang sebagai daerah pertama yang
menerima Islam di Nusantara. Aceh sendiri menerima pengislaman dari Pasai pada
pertengahan abad ke-14. Menjelang abad ke-13, barulah ditemukannya jejak orang Islam
pribumi. Dan selanjutnya, berangsur-angsur Islam menyebar melampaui daerah
pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya ke Jawa. Kerajaan Islam pertama di
Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh, yang
memiliki kekuatan politik dan mempunyai hubungan Internasional menjadi pusat
politik Islam, dakwah Islam, dan ekonomi umat Islam. Raja pertamanya ialah
Sultan Malik al-Shalih yang berpengaruh dalam Islamisasi di wilayah-wilayah
sekitarnya. Samudera Pasai juga menjadi salah satu pusat perdagangan
internasional. Kerajaan Pasai mengirim mubalig dan mengislamkan raja Malaka
menjadi Muslim. Setelah Samudera Pasai jatuh, digantikan oleh Kerajaan Aceh
yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah, dan mulai mengalami kemajuan dalam
bidang perdagangan. Ia meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie dan
Pasai. Kemudian aceh mengalami kemakmuran yang besar pada masa Sultan Iskandar
Muda, yang mana Islam menyebar hingga ke Tanah Gayo dan Minangkabau.
Aceh menjadi center ilmu pengetahuan di Asia
tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual Muslim atau ulama-ulama
terkenal seperti Hamzah Fansuri, Syamsudi al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan
Abdui Rauf al-Sinkili. Sekitar abad ke 17/18 M. Samudera Pasai merupakan tempat
studi Islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah kerajaan. Sultan
Iskandar Muda juga sangat memerhatikan pengembangan agama. Sultan mengambil
ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah Samsuddin
al-Sumatrani. Tradisi ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya, sehingga
di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan ilmu
pengetahuan Islam di Asia Tenggara. Ketika Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Syah
memerintah, Hamzah al-Fansuri diangkat menjadi penasihat dan mufti kerajaan
yang bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Selanjutnya, pada masa Iskandar
Tsani, Nur al-Din selain bertanggung jawab dalam bidang keagamaan juga
memainkan peran ekonomi dan politik. Di masa Sultan Iskandar Tsani , para ulama
besar mulai meletakkan dasar bagi corak
pengaturan sosial. Di zaman ini terutama ulama-ulama besar Aceh menghasilkan
karya-karya besar yang selanjutnya mempengaruhi pemikiran islam diseluruh
Nusantara.
Dalam proses penyebaran Islam, menghasilkan
seni bercorak islam, baik dari hikayat yang dikenal hingga saat ini, tari, dan
seni budaya lainnya yang masih segar dapat ditemukan hingga saat ini di Aceh.
Ini merupakan bentuk penyebaran Islam yang angat membuat antusiasme masyarakat
untuk masuk dan memeluk Islam.
3.2
Saran
Setelah
menyelesaikan makalah ini, kami berharap agar para pembaca dapat lebih
meningkatkan kualitas keimanannya. Karena, saat ini sebagai generasi di zaman
kemerdekaan, kita hanya perlu bagaimana untuk tetap meneruskan kekokohan Islam
di Nusantara, khususnya di pulau Sumatera ini. Tidaklah sesulit seperti
pendahulu kita yang berjuang dalam penyebaran Islam.
Selain
itu, kami juga berharap aka nada yang meneruskan pembahasan dari makalah ini.
Maksudnya, tidak hanya Sumatera, kami berharap akan ada pembahasan selanjutnya
mengenai bagaimana masuk serta proses penyebaran Islam di Nusantara lainnya,
seperti di Jawa, Maluku, Kalimantan, serta di Asia Tenggara. Sehingga, tidak
hanya Sumatera saja, melainkan kita dapat mengetahui penyebaran Islam di
kawasan Asia Tenggara lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,
Atang Abd. dan Jaih Mubarok. 2011. Metodologi
Studi Islam. Bandung
Remaja Rosdakarya.
Helmiati.
2011. Sejarah Islam Asia Tenggara.
Pekanbaru : SUSKA PRESS.
Huda,
Nor. 2014. Islam Nusantara. Jogjakarta
: Ar-Ruzz Media.
Sunanto,
Musyrifah. 2007. Sejarah Peradaban Islam
Indonesia. Jakarta :
RajaGrafindo Persada.
Yatim,
Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta : RajaGrafindo Persada.
[1] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara (Pekanbaru : SUSKA PRESS, 2011), hlm 17.
[2] Nor
Huda, Islam Nusantara (Jogjakarta :
Ar-Ruzz Media, 2014), hlm 34.
[3] Ibid.,
hlm 42.
[4] Ibid.,
hlm 51.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), hlm
205-207.
[6] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2007), hlm 24.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), hlm
208
[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2007), hlm 25
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), hlm
208
[10] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara (Pekanbaru : SUSKA PRESS, 2011), hlm
24.
[12] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara (Pekanbaru : SUSKA PRESS, 2011), hlm
26.
[13] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2007), hlm 106.
[16] Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.
54.
0 komentar:
Posting Komentar