Jumat, 25 November 2016

Sejarah Islam Asia Tenggara bab Islam di Sumatera dan Peranan Raja serta Penguasa dalam Penyebarannya



 BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Proses Islamisasi massif di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari peranan kerajaan Islam (kesultanan). Berawal ketika raja setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan memainkan peranan penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai institusi politik muslim, pembentukan dan pengembangan institusi-institusi muslim lainnya, seperti pendidikan dan hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam peningkatan syiar dan dakwah islam.
Sejak kehadirannya, kesultanan Islam menjadi kekuatan vital dalam perdagangan bebas internasional. Dalam masa perdagangan bebas internasional, kesultanan mencapai kemakmuran yang pada gilirannya sangat menentukan bagi perkembangan Islam secara keseluruhan di Asia Tenggara. Dan salah satu kerajaan yang dimaksud adalah kerajaan yang ada di Sumatera. Di Sumatera sendiri, memiliki beberapa kerajaan yang membantu awal masuk dan penyebaran Islam, serta memiliki pengaruh yang besar terhadap penyebaran Islam di pelosok Nusantara lainnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan menjelaskan bagaimana proses masuknya Islam di Sumatera dan bagaimana pula peran ulama dan pengusaha dalam membantu penyebaran Islam di Sumatera.

1.2  Rumusan Masalah
Dari penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana proses awal masuknya Islam di Sumatera?
2.      Bagaimana peran ulama dan pengusaha dalam penyebaran Islam di Sumatera?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan yang dapat ditarik dari permasalahan yang ada yaitu sebagai berikut.
1.      Bagaimana proses awal masuknya Islam di Sumatera?
2.      Bagaimana peran ulama dan pengusaha dalam penyebaran Islam di Sumatera?

1.4  Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini ialah sebagai berikut.
1.      Bagi mahasiswa, selain untuk memenuhi tugas kuliah penulis, juga dapat menambah ilmu pengetahuan keislaman. Memperdalam ilmu sejarah Islam yang ada di Nusantara dan Asia Tenggara.
2.      Bagi pembaca umum, dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam pembuatan tugas lainnya yang berkaitan, serta dapat menambah wawasan keislaman.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Awal Masuk Islam di Sumatera
Aceh yang secara geografis terletak di utara pulau Sumatera, di pandang sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara. Konon kerajaan Islam telah berdiri sejak abad ke-9 M. pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Yunus Jamil dan Hasymi, yang konon telah didirikan pada 225H/845M. Pendirinya adalah para pelaut pedagang muslim asal Persia, Arab dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Namun menurut Azra, sampai saat ini belum ada bukti akurat yang bisa dipegangi, bahwa pada pertengahan abad ke-9M telah terdapat entitas politik Muslim dikawasan ini yang di sebut “Kesultanan Perlak”.[1]
Menurut Morisson, ia menyimpulkan bahwa Islam di Indonesia dibawa para pendakwah Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13. Ia menyangkal teori Gujarat yang mengatakan bahwa tempat asal Islam di Nusantara berasal dari Gujarat, pesisir selatan India. Ini berdasarkan pada bentuk dan gaya batu nisan yang sama dengan gaya batu nisan Gujarat. Akan tetapi, menurut Morrison, meskipun batu-batu nisan tersebut berasal dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Ia mengatakan, ketika Islamisasi Samudera Pasai yang raja pertamanya wafat pada 698H/1297, Gujarat masih merupakan sebuah kerajaan Hindu. Setahun berikutnya, Gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan Muslim. Artinya, jika Islam Indonesia disebarkan oleh orang-orang Gujarat pastilah Islam telah menjadi agama yang mapan sebelum 698H/1297, yaitu sebelum kematian Malik al-Shalih.[2]
Orang-orang Muslim dari negeri asing mungkin sudah menetap di pelabuhan-pelabuhan dagang di Sumatera dan Jawa selama berabad-abad. Namun, baru menjelang akhir abad XIII-lah ditemukan adanya jejak orang Islam pribumi. Dalam abad-abad selanjutnya, Islam secara berangsur-angsur menyebar melampaui daerah pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya, ke pantai utara pulau Jawa dan beberapa pulau pengahasil rempah-rempah di Indonesia bagian Timur.[3]
Di Sumatera, kerajaan-kerajaan seperti Indragiri, Anak Sungai, Pasaman, Siak, Jambi, Palembang, dan Aceh merupakan contoh kerajaan yang terletak di tepi sungai-sungai besar. Pada abad XV sampai XVI, hubungan lalu lintas melalui sungai dan lautan dengan menggunakan perahu dan kapal layar dianggap lebih tepat, cepat dan mudah. Kerajaaan-kerajaan tersebut menjadi kota-kota pelabuhan yang penting, karena letaknya di sepanjang selat Malaka yang selama berabad-abad merupakan salah satu urat nadi pelayaran dan perdagangan internasional yang menghubungkan bagian barat, dan timur benua Asia.[4]
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang terletak di pesisir timur laut Aceh, yang diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke 13M sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke 7M. Bukti pendukungnya ialah adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297M.
Ibnu Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di sana. Berdasarkan beritanya, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.[5]
Ketika kerajaan Samudera Pasai sudah berdiri, perkembangan Islam makin meluas. Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama yang mempunyai kekuatan politik dan mempunyai hubungan Internasional menjadi pusat politik Islam, dakwah Islam, dan ekonomi umat Islam. Rajanya mengadakan mudzakarah tentang Islam, mengimami shalat Jum’at, dan menjadikan istananya tempat berkumpul ulama-ulama dari Timur Tengah, didatangi oleh penuntut ilmu dan mengirimkan mubalig-mubalig ke daerah-daerah lain, mengawinkan putri-putrinya dengan raja-raja muda kerajaan lain dalam rangka peluasan Islam. Kerajaan Pasai mengirim mubalig ke Jawa, yaitu Maulana Malik Ibrahim dan mengislamkan raja Malaka Prameswara menjadi Muslim bergelar Megat Iskandar Syah.[6]
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524M. Pada tahun 1521M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524M dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.[7]
Setelah Kerajaan Samudera Pasai jatuh, selanjutnya dilanjutkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pertumbuhan kerajaan Aceh disebabkan kemajuan perdagangan pada permulaan abad ke-15 M. Di kota Aceh saudagar-saudagar dari berbagai bangsa berdagang, membeli dan menjual barang-barang dari berbagai negeri. Sultan Ali Mughayat Syah adalah Sultan pertama Aceh yang membesarkan kerajaan Aceh, mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Turki yang pada tahun 1453 sultannya, Muhammad al-Fatih, berhasil merebut Konstantinopel yang kemudian dijadikan ibukota. Sultan Turki memberikan bantuan berupa meriam dan bendera sebagai lambang perlindungan Turki terhadap Aceh dalam kesatuan kekhalifahan Islam. Di Asia Tenggara hanya Aceh yang diakui oleh Dunia Islam, dengan demikian kedudukan Aceh bertaraf internasional. Oleh karena itu, Aceh berani menentang dan menyerang Portugis.[8]
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar, yang berdiri pada abad ke-15 M oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Pada masa pemerintahannya, Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis.[9]
Sultan pertama kerajaaan Aceh adalah Ali Mughayat Syah. Pada masa pemerintahannya , Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang berkerjasama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut ia dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Keberhasilannya dalam menguasai beberapa wilayah dan menggabungkannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam itulah menyebabkan ia dianggap sebagai pendiri kekuasaan Aceh sesungguhnya. Ali Mughayat Syah digantikan anak sulungnya , Salah ad-Din (1528-1537). Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, tetapi mengalami kegagalan. Salah ad-Din digantikan oleh saudaranya Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar (1537-1568). Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menaklukkan Aru dan Johor, bahkan dengan bantuan persenjataan Dinasti Ottoman, ia menyerang Portugis di Malaka. Alauddin Ri’ayat Syah digantikan oleh Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), kemudian Sultan Seri Alam, Sultan Muda (1604-1607) dan Sultan Iskandar Muda, Gelar Mahkota Alam(1607-1636).[10]
Kota Samudera, yang kemudian dikenal sebagai Pasai, segera tumbuh menjadi sebuah Negara Muslim yang kuat setelah Islam dapat diterima oleh penduduk setempat dan menemukan pijakannya yang kokoh di kota itu. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Malik al-Shalih ini sangat berpengaruh dalam Islamisasi di wilayah-wilayah sekitarnya, seperti Malaka, Pidie, dan Aceh. Pada abad ke-13, Samudera Pasai menjadi salah satu pusat perdagangan internasional. Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326), kerajaan ini mengeluarkan mata uang emas yang beridentitas ketuhanan, yang hingga saat ini dianggap sebagai mata uang emas tertua yang pernah dikeluarkan oleh sebuah kerajaan Islam di Asia Tenggara.
Aceh sendiri menerima pengislaman dari Pasai pada pertengahan abad XIV. Pasai direbut dari tangan Portugis oleh pengusaha besar pertama Aceh, Ali Mughayat Syah pada 930H/1524M yang merupakan daerah pemberian Sultan Minangkabau. Aceh mengalami kemakmurannya yang besar pada masa Sultan Iskandar Muda, yang mana kekuasaannya membentang di sepanjang pantai Timur dan Barat Sumatera. Dari wilayah ini, Islam menyebar ke Tanah Gayo dan Minangkabau. [11]

2.2  Peran Ulama dan Pengusaha dalam Penyebaran Islam di Sumatera
Dilihat dari aspek pengembangan agama islam, peran Aceh tak dapat diabaikan. Seiring dengan kemajuan dan kemakmurannya dalam bidang ekonomi, politik dan budaya, maka perkembangan pemikiran keagamaaan serta penyebaran dakwah islam pun semakin meningkat. Kemajuan kerajaan Aceh dalam bidang agama ditandai dengan munculnya aceh sebagai kiblat pengajaran islam. Aceh ketika itu menjadi center ilmu pengetahuan di Asia tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual Muslim atau ulama-ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri, Syamsudi al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdui Rauf al-Sinkili. Sekitar abad ke 17/18 M, keempat tokoh tersebut telah mewarnai sejarah pemikiran keagamaan Kesultanan Aceh , al-Riniri dan al-Sinkili adalah dua dari tiga mata rantai utama dari jaringan ulama di wilayah melayu Indonesia dengan Timur Tengah yang mempunyai peranan penting dalam menghadirkan pembaharuan-pembaharuan keagamaan, dan dalam membawa tradisi besar Islam ke wilayah melayu Indonesia.[12]
Samudera Pasai merupakan tempat studi Islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah kerajaan. Setelah Kerajaan Samudera Pasai mundur dalam bidang politik, tradisi pendidikan agama Islam terus berlanjut. Samudera Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Di kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti Masjid Bait al-Rahman di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan Islam yang disebut dayah. Sultan mengambil ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah Samsuddin al-Sumatrani. Tradisi ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya, sehingga di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan ilmu pengetahuan Islam di Asia Tenggara.[13]
Di kerajaan Aceh, misalnya ketika Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Syah memerintah, Hamzah al-Fansuri diangkat menjadi penasihat dan mufti kerajaan yang bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Selanjutnya, pada masa Iskandar Tsani, Nur al-Din selain bertanggung jawab dalam bidang keagamaan juga memainkan peran ekonomi dan politik. Walaupun para ulama Aceh menemani para pejabat, mereka tidak terikat dengan politik lokal dan berkomunikasi secara bebas dengan siapa saja dari berbagai tingkat masyarakat. Berbeda dengan kaum bangsawan atau penguasa wilayah kesultanan Aceh yang dipilih raja sebagai perantara antara rakyat dengan raja. Maka, mereka selalu harus menjaga hubungan politik dan ekonomi dengan sultan. Walaupun para ulama terlibat di luar bidang keagamaan, mereka juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.  Ini dapat dilihat dari lahirnya karya-karya dari tangan ulama-ulama Aceh yang mencakup berbagai bidang studi termasuk ilmu keagamaan. Jadi, selain posisi dan peran ulama Aceh yang dapat mengakomodasi dua kepentingan (politik dan social keagamaan) tersebut dapat meminimalisasi ketegangan antara ulama birokrat dan ulama rakyat.[14]
Di masa Sultan Iskandar Tsani , para ulama besar  mulai meletakkan dasar bagi corak pengaturan sosial. Diantaranya adalah kemitraan antara pemegang otoritas politik dan pemegang otoritas spiritual di spiritual di seluruh tingkat pemerintahan. Dalam pengaturan seperti ini, semakin terlihat kedudukan strategis dan peranan penting  yang dimainkan ulama dalam mewarnai pemerintahan kearah yang lebih islami. Di zaman ini terutama ulama-ulama besar Aceh menghasilkan karya-karya besar yang selanjutnya mempengaruhi pemikiran islam diseluruh Nusantara.
Ilmu-ilmu yang di ajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam antara lain ialah dasar-dasar ajaran islam, hukum islam, ilmu kalam dan teologi, ilmu tasawuf, ilmu Tafsir dan Hadis, dan berbagai ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tata bahasa arab), sejarah, astronomi, ilmu ketabiban dan lain-lain. Selain ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, kesastraan Arab dan Parsi turut pula di ajarkan.
Salah satu karya intelektual yang dituliskan di Pasai ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ditaklukkan oleh majapahit pada tahun 1365. Menurut Hadi W.M, dilihat dari sudut corak bahasa melayu dan aksara yang digunakan, karya ini rampung pada saat bahasa melayu telah benar-benar mengalami proses islamisasi, dan aksara Arab-Melayu telah mulai mantap dan luas di gunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Arab-Melayu Pasai inilah di gunakan oleh para penulis Muslim di Asia Tenggara sehingga akhir abad ke-19 M sebagai bahsa pergaulan utama di bidang intelektual, perdagangan dan administrasi. Karya-karya intelektual muslim awal yang juga lahir di lingkungan kesultanan Samudera Pasai ialah berupa saduran beberapa hikayat Parsi, seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafia, HIkayat Amir Hamzah, HIkayat Bayan Budiman dan lain-lain.[15]
Tengku H. Muslim Ibrahim menjelaskan system kesenian di Aceh. Menurutnya, hubungan antara seni, moral dan syariat dalam Islam sangat erat karena seni berawal dari habl min Allah dan  habl min al-nas. Oleh karena itu, kesenian Aceh telah terpadu dengan Islam dan terswujud dalam berbagai cabang: sastra, seni tari, seni bangunan, dan seni pahat. Ini artinya, Islam di Sumatera tidak hanya kaku terhadap agama, tetapi juga diakulturasikan dengan seni sehingga lebih disukai masyarakat dan mudah dalam melakukan penyebarannya.[16]
BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Aceh di pandang sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara. Aceh sendiri menerima pengislaman dari Pasai pada pertengahan abad ke-14. Menjelang abad ke-13, barulah ditemukannya jejak orang Islam pribumi. Dan selanjutnya, berangsur-angsur Islam menyebar melampaui daerah pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya ke Jawa. Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh, yang memiliki kekuatan politik dan mempunyai hubungan Internasional menjadi pusat politik Islam, dakwah Islam, dan ekonomi umat Islam. Raja pertamanya ialah Sultan Malik al-Shalih yang berpengaruh dalam Islamisasi di wilayah-wilayah sekitarnya. Samudera Pasai juga menjadi salah satu pusat perdagangan internasional. Kerajaan Pasai mengirim mubalig dan mengislamkan raja Malaka menjadi Muslim. Setelah Samudera Pasai jatuh, digantikan oleh Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah, dan mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Ia meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie dan Pasai. Kemudian aceh mengalami kemakmuran yang besar pada masa Sultan Iskandar Muda, yang mana Islam menyebar hingga ke Tanah Gayo dan Minangkabau.
Aceh menjadi center ilmu pengetahuan di Asia tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual Muslim atau ulama-ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri, Syamsudi al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdui Rauf al-Sinkili. Sekitar abad ke 17/18 M. Samudera Pasai merupakan tempat studi Islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah kerajaan. Sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan pengembangan agama. Sultan mengambil ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah Samsuddin al-Sumatrani. Tradisi ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya, sehingga di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan ilmu pengetahuan Islam di Asia Tenggara. Ketika Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Syah memerintah, Hamzah al-Fansuri diangkat menjadi penasihat dan mufti kerajaan yang bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Selanjutnya, pada masa Iskandar Tsani, Nur al-Din selain bertanggung jawab dalam bidang keagamaan juga memainkan peran ekonomi dan politik. Di masa Sultan Iskandar Tsani , para ulama besar  mulai meletakkan dasar bagi corak pengaturan sosial. Di zaman ini terutama ulama-ulama besar Aceh menghasilkan karya-karya besar yang selanjutnya mempengaruhi pemikiran islam diseluruh Nusantara.
Dalam proses penyebaran Islam, menghasilkan seni bercorak islam, baik dari hikayat yang dikenal hingga saat ini, tari, dan seni budaya lainnya yang masih segar dapat ditemukan hingga saat ini di Aceh. Ini merupakan bentuk penyebaran Islam yang angat membuat antusiasme masyarakat untuk masuk dan memeluk Islam.

3.2  Saran
Setelah menyelesaikan makalah ini, kami berharap agar para pembaca dapat lebih meningkatkan kualitas keimanannya. Karena, saat ini sebagai generasi di zaman kemerdekaan, kita hanya perlu bagaimana untuk tetap meneruskan kekokohan Islam di Nusantara, khususnya di pulau Sumatera ini. Tidaklah sesulit seperti pendahulu kita yang berjuang dalam penyebaran Islam.
Selain itu, kami juga berharap aka nada yang meneruskan pembahasan dari makalah ini. Maksudnya, tidak hanya Sumatera, kami berharap akan ada pembahasan selanjutnya mengenai bagaimana masuk serta proses penyebaran Islam di Nusantara lainnya, seperti di Jawa, Maluku, Kalimantan, serta di Asia Tenggara. Sehingga, tidak hanya Sumatera saja, melainkan kita dapat mengetahui penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok. 2011. Metodologi Studi Islam. Bandung
Remaja Rosdakarya.
Helmiati. 2011. Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru : SUSKA PRESS.
Huda, Nor. 2014. Islam Nusantara. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Sunanto, Musyrifah. 2007. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta :
RajaGrafindo Persada.
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.


[1] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara (Pekanbaru : SUSKA PRESS, 2011), hlm 17.
[2] Nor Huda, Islam Nusantara (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2014), hlm 34.
[3] Ibid., hlm 42.
[4] Ibid., hlm 51.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), hlm 205-207.
[6] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 24.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), hlm 208
[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 25
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), hlm 208
[10] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara (Pekanbaru : SUSKA PRESS, 2011), hlm 24.
[11] Nor Huda, Islam Nusantara (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2014), hlm 64-65.
[12] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara (Pekanbaru : SUSKA PRESS, 2011), hlm 26.
[13] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 106.
[14] Nor Huda, Islam Nusantara (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2014), hlm 216.
[15] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara (Pekanbaru : SUSKA PRESS, 2011), hlm 21.
[16] Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 54.

0 komentar:

Posting Komentar