Jumat, 25 November 2016

Teori Vigotsky dan De Porter tentang Belajar Matematika



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hakikat manusia sebagai makhluk hidup salah satunya adalah untuk terus belajar. Bahkan dalam Islam manusia juga dituntut untuk mencari ilmu dari lahir hingga ke liang lahat. Ini artinya belajar sangatlah penting dan berguna bagi manusia dalam menjalani kehidupan. Ini dimaksudkan agar manusia tidak mudah untuk ditipu, untuk terus mengembangkan kemampuan-kemampuan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Proses dalam sebuah pembelajaran sangat memengaruhi bagaimana perkembangan anak kedepannya. Proses belajar yang baik akan menghasilkan hasil yang baik, dan proses belajar yang kurang baik akan menghasilkan hasil yang kurang baik pula. Untuk itu, sangatlah perlu bagi para pembimbing, guru, atau para orang tua untuk terus memperhatikan proses belajar anak didiknya. Khususnya untuk para orang tua yang sangat dekat dengan anaknya, dan orang yang pertama kali mengenal anaknya. Anak sangat banyak belajar dari apa yang ia lihat atau yang didengar dari orang tuanya.
Sebelum masuk lebih dalam tentang proses belajar, perlu rasanya untuk mengetahui landasan belajar yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Yang mana landasan belajar ini di jelaskan dengan berbagai teori belajar yang telah banyak dikembangkan oleh para ahli tentang bagaimana teori-teori belajar tersebut. Ada banyak teori belajar, seperti Teori Piaget, Teori Ananda, Teori Vigotsky, dan lain sebagainya. Dan di sini akan dibahas bagaimana dan seperti apa teori belajar menurut Vigotsky dan Bobby de Porter.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Teori Vigotsky dan De Porter tentang belajar Matematika?
2.      Bagaimana contoh penggunaan Teori Vigotsky dan De Porter?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui maksud dari Teori Vigotsky dan De Porter.
2.      Mengetahui contoh dari penggunaan Teori Vigotsky dan De Porter.

D.    Manfaat
Setelah dipaparkan tentang latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan dari makalah ini, maka manfaat yang dapat diambil adalah sebagai berikut.
1.      Untuk meenambah pengetahuan bagi para pembaca mengenai teori belajar yang dikembangkan oleh Vigotsky dan Bobby de Porter.
2.      Sebagai acuan atau landasan bagi para guru dalam melakukan proses belajar dan mengajar.
3.      Mengaplikasikan penggunaan dari teori belajar Vigotsky dan Bobby de Porter.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Vigotsky
Lev Semyonovich Vygotsky, seorang keturunan Yahudi yang lahir di kota Orsha Rusia pada tahun 1896. Banyak penelitian yang dilakukan Vigotsky mengenai proses berpikir anak antara tahun 1920-1934. Ia merupakan pelopor dalam meletakkan dasar tentang psikologi yang perkembangannya telah banyak memengaruhi pendidikan di Rusia yang kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di seluruh dunia hingga saat ini. Berkat karyanya yang luar biasa di bidang psikologi ini, bangsa Rusia menjuluki Vigotsky sebagai “Mozartnya psikologi”. Vigotsky menghasilkan banyak teori psikologi yang mana teori-teori tersebut antara lain menyangkut peranan interaksi sosial dalam perkembangan kognitif, dialetika pikiran dan bahasa, perkembangan konsep, dan daerah perkembangan terdekat.
Vigotsky percaya bahwa hidup merindukan proses perkembangan dan hal ini sangat tergantung pada interaksi sosial dan belajar sosial itu secara aktual berpengaruh terhadap perkembangan kognitif. Vigotsky menjelaskan bahwa jarak antara tingkat perkembangan aktual ditentukan oleh pemecahan masalah secara independen dan tingkat perkembangan potensial ditentukan melalui pemecahan masalah melalui kolaborasi antara guru pembimbing dan arahan orang dewasa dan atau antar teman sebaya yang lebih mampu. Dengan kata lain, seorang siswa dapat melaksanakan suatu tugas di bawah bimbingan orang dewasa atau kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu.
Proses belajar menurut Vigotsky terjadi dalam wilayah Zone Proximal Development (ZPD), yakni wilayah antara apa yang diketahui dengan apa yang belum diketahui. Oleh karena itu, Vigotsky berfokus pada koneksi antara orang-orang dan konteks budaya di mana mereka bertindak dan saling berhubungan atau saling berbagi pengalaman. Menurut Vigotsky, manusia menggunakan tools yang bersumber dari suatu kultur, termasuk bahasa lisan dan tulisan yang dimediasi oleh lingkungan sosial. Vigotsky percaya bahwa pada awalnya anak-anak mengembangkan tools ini untuk melayani fungsi sosial, dan mengomunikasikan kebutuhan-kebutuhannya. Internalisasi nilai-nilai budaya melalui interaksi sosial mendorong kemampuan dan keterampilan berpikir. Kemampuan berpikir dan berbicara/bahasa tidak dapat eksis tanpa pergaulan sosial.[1]

1.         Peranan Interaksi Sosial
Menurut Vigotsky, setiap individu berkembang dalam konteks sosial. Semua perkembangan intelektual yang mencakup makna, ingatan, pikiran, persepsi, dan kesadaran bergerak dari wilayah interpersonal ke wilayah intrapersonal. Dalam pandangannya, semua kerja kognitif tingkat tinggi pada manusia mempunyai asal-usul dalam interaksi sosial setiap individu dalam konteks budaya tertentu. Vigotsky sangat menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia.
Vigotsky berpendapat, siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Konsep ini dinamakan pemagangan kognitif, yang mengacu pada proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah orang yang lebih mengusai permasalahan yang dipelajari, dapat berupa orang dewasa atau kawan sebaya.
Setiap anak akan melewati dua tingkat dalam proses belajar, yaitu pertama pada level sosial yang mana anak melakukan kolaborasi dengan orang lain dan kedua pada level individual, yaitu anak melakukan proses internalisasi. Internalisasi merupakan proses transformasi tindakan eksternal (prilaku) menjadi kerja psikologis internal (proses). Dalam pelaksanaan di kelas, guru hendaknya mengorganisasi situasi kelas dan menerapkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa saling berinteraksi dengan temannya dan guru, serta memberikan stimulus keterlibatan siswa melalui pemecahan masalah yang membutuhkan kehadiran orang lain (guru atau teman sebaya yang lebih memahami permasalahan) dan memberikan bantuan disaat mereka mengalami kesulitan.[2]

2.         Daerah Perkembangan Terdekat (Zone of Proximal Development)
Menurut Vigotsky, perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam du tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan actual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Vigotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila siswa bekerja atau belajar mengenai tugas-tugas atau masalah kompleks yang masih berada pada jangkauan kognitif siswa atau tugas-tugas tersebut berada pada Daerah Perkembangan Terdekat (ZPD).
Definisi ZPD (DPT) dapat dipahami sebagai berikut, jika sebuah masalah dapat diselesaikan secara mandiri oleh siswa, maka siswa tersebut telah berada pada taraf kemampuan aktualnya. Tetapi, jika masalah tersebut baru dapat diselesaikan oleh siswa dengan bantuan orang lain yang lebih memahami masalah, maka siswa tersebut telah berada pada taraf kemampuan potensialnya. Jika guru mengajukan masalah untuk dipecahkan oleh siswa sebaiknya masalah itu berada di antara taraf kemampuan actual dan taraf kemampuan potensialnya, atau masalah berada pada daerah jangkauan kognitif siswa. Demikian juga dalam pembelajaran Matematika. Misalkan siswa akan mempelajari materi X untuk pertama kalinya, jika siswa telah menguasai dengan baik materi prasyarat untuk materi X ini, maka siswa telah berada pada taraf kemampuan actualnya. Jika siswa menguasai secara tuntas materi X setelah mengikuti proses pembelajaran, maka siswa berada pada tingkat kemampuan potensialnya. Tingkat perkembangan ZPD terdiri atas empat tahap, yaitu:
·            Tahap Pertama: More Dependence to Others Stage
Tahapan di mana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain, seperti teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari sinilah muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan kognisi anak secara konstruktif.
·            Tahap Kedua: Less Dependence External Assistence Stage
Tahap di mana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tetapi lebih kepada self assistance, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri.
·            Tahap Ketiga: Internalization and Automatization Stage
Tahap di mana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kesadaran akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain. Walaupun demikian, anak pada tahap ini belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang.
·            Tahap Keempat: De-automatization Stage
Tahap di mana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatization sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya.
Selanjutnya, teori Vigotsky berfokus pada faktor lainnya, yaitu:
1.      Budaya
Vigotsky berpendapat bahwa budaya dan lingkungan sosial seorang anak adalah hal terpenting yang mempengaruhi pembentukan pengetahuan mereka. Anak-anak belajar melalui lagu, bahasa, kesenian dan permainan. Ia juga menyatakan bahwa budaya mempengaruhi proses belajar, anak-anak belajar melalui interaksi dan kerja sama dengan orang lain dan lingkungannya. Vigotsky meyakini bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya.

2.      Bahasa
Vigotsky mengemukakan bahwa bahasa berperan penting dalam proses perkembangan kognitif anak. Menurutnya, ada hubungan yang jelas antara perkembangan bahasa dan perkembangan kognitif. Ia menyatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan bahasa, yaitu:
·            Social speech, untuk usia sampai 3 tahun. Berbicara biasa dilakukan untuk mengontrol tingkah laku dan untuk mengekspresikan pemikiran sederhana seperti emosi.
·            Egocentric speech, usia 3-7 tahun. Anak-anak lebih sering berbicara dengan diri mereka sendiri, mereka membicarakan apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya.
·            Inner speech, untuk usia di atas 7 tahun sampai dewasa. Biasa disebut pembicaraan batin, merupakan proses hubungan antara pikiran dan bahasa, pada tahap ini setiap individu telah sampai pada tipe fungsi mental yang lebih tinggi.[3]
Di sini Vigotsky menekankan akan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Vigotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuna yang menurut beliau, bahwa interaksi individu dengan orang lain merupakan faktor terpentinng yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Ia berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung, dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu.
Vigotsky mengemukakan dua ide berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, yaitu yang pertama, bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa. Dan kedua, bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda setiap individu selalu berkembang. Sistem tanda adalah symbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem perhitungan.[4]

B.     Contoh Pemikiran Vigotsky
Implikasi teori Vigotsky dalam pembelajaran menurut Oakley (2004:48-50) yaitu:
a.       Proses pembelajaran yang diberikan oleh guru harus sesuai dengan tingkat perkembangan potensial siswa. Siswa seharusnya diberikan tugas yang dapat membantu mereka untuk mencapai tingkat perkembangan potensialnya.
b.      Vigotsky mempromosikan penggunaan pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, di mana siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing-masing ZPD mereka.
Mengingat proses belajar mula-mula berlangsung pada taraf sosial, maka pembelajaran Matematika di kelas hendaknya bersifat interaktif, baik antara siswa dan guru, maupun antar siswa. Yang mana interaksi ini mengarah sampai kepada terjadinya kecocokan di kedua belah pihak yang memungkinkan keduanya mampu mengerti, memeriksa, bernegosiasi dan saling memanfaatkan sudut pandang pihak lain.
Interaksi sosial dalam pembelajaran Matematika jangan hanya dibatasi dalam bentuk kegiatan interaktif di kelas, tetapi juga mencakup interaksi siswa dengan konteks sosial budaya yang dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari. Contoh dalam pembelajaran, jika siswa membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan di mana letak kesalahan tersebut, melainkan memberikan mereka pertanyaan yang bersifat menuntun yang dimaksudkan agar mereka dapat menemukan dan mengetahui letak kesalahan yang mereka buat.[5]

C.    Teori De Porter
Bobbi de Porter adalah seorang ibu rumah tangga yang kemudian terun di bidang bisnis property dan keuangan, karena bangkrut ia akhirnya menggeluti bidang pembelajaran. Menurutnya, Quantum Teaching adalah konsep yang menguraikan cara-cara baru dalam memudahkan proses belajar mengajar lewat pemanduan unsur seni dan pencapaian-pencapaian yang terarah, apapun mata pelajaran yang diajarkan. Salah satu konsep utama quantum teaching adalah “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka”. Maksudnya, bila kita membaca konsep tersebut akan mengingatkan kita pada pentingnya memasuki dunia peserta didik sebagai langkah pertama, karena tindakan ini akan member izin pendidik untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang luas.
Jadi, pendidik dalam pengajaran kuantum merupakan faktor penting dalam lingkungan belajar dan kehidupan siswa, pendidik bukan hanya sekedar pemberi ilmu, tetapi peran pendidik sebagai rekan belajar, model, pembimbing, dan fasilitator. Oleh karena itu, kuantum menunjukkan kepada kita, sebagai calon pendidik mengenai cara menjadi pendidik yang baik. Quantum menguraikan cara-cara baru yang memudahkan proses belajar kita lewat pemanduan unsur seni dan pencapaian-pencapaian yang terarah.
Quantum teaching merupakan panduan praktis dalam mengajar yang berusaha mengakomodir setiap bakat siswa atau dapat menjangkau setiap siswa. Metode ini sarat dengan penemuan-penemuan terkini yang menimbulkan antusiasme siswa. Quantum teaching menjadikan ruang-ruang kelas ibarat sebuah konser music yang memadukan berbagai instrument sehingga tercipta komposisi yang menggerakkan dari keberagaman tersebut. Sebagai guru yang akan memengaruhi kehidupan murid, guru seolah-olah memimpin konser saat berada di ruang kelas.
Menurut Bobbi De Porter dan Mike Hernacki gaya belajar merupakan suatu kombinasi dari bagaimana seseorang menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Gaya belajar bukan hanya berupa aspek ketika menghadapi informasi, melihat, mendengar, menulis dan berkata tetapi juga ketika merespon sesuatu atas lingkungan belajar (diserap secara abstrak dan konkret). Terdapat tiga modalitas belajar, yaitu Visual, Auditorial dan Kinestetik. Dalam kenyataannya semua orang yang memiliki ketiga gaya belajar tersebut, hanya saja biasanya satu gaya mendominasi. Pernyataan tersebut sesuai dengan Bobbi De Porter, pada lain kesempatan orang tidak hanya cenderung pada salah satu modalitas, mereka juga memanfaatkan kombinasi tertentu yang member mereka bakat dan kekurangan alami tertentu. Tidak selamanya seseorang memiliki hanya satu gaya belajar, seseorang memiliki potensi untuk memiliki beberapa gaya belajar, namun kebanyakan seseorang memiliki satu kecenderungan yang ada dalam dirinya dan biasa dilakukannya.

1.         Gaya Belajar Visual
Modalitas ini mengakses citra visual yang diciptakan maupun yang diingat. Warna, hubungan ruang, potret mental, dan gambar menonjol pada modalitas ini. Seseorang yang memiliki gaya belajar visual cenderung belajar melalui hubungan visual (penglihatan). Dengan demikian dalam gaya belajar visual yang sifatnya eksternal, ia menggunakan materi atau media yang bisa dilihat atau mengeluarkan tanggapan indera penglihatan. Materi atau media yang bisa digunakan adalah buku, poster, majalah, rangka tubuh manusia, peta, dan lain-lain. Sedangkan gaya belajar visual yang bersifat internal adalah menggunakan imajinasi sebagai sumber informasi.

2.         Gaya Belajar Auditorial
Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata-kata yang diciptakan maupun diingat. Musik, nada, rima, dialog internal, dan suara menonjol pada modalitas ini. Individu yang cenderung memiliki gaya belajar auditorial kemungkinan akan belajar lebih baik dengan mendengarkan. Mereka menikmati saat-saat mendengarkan apa yang disampaikan orang lain. Mereka lebih memiliki kecenderungan memahami tugas-tugas bila penjelasannya diberikan secara lisan. Senang mempelajari sesuatu yang memberikan fasilitas untuk bertanya jawab.

3.         Gaya Belajar Kinestetik
Modalitas yang ketiga ini mengakses segala gerak dan emosi yang diciptakan maupun diingat. Gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional, dan kenyamanan fisik menonjol pada modalitas ini. Seseorang yang memiliki kecenderungan gaya belajar kinestetik akan belajar lebih baik apabila terlibat secara fisik dalam kegiatan langsung. Mereka akan belajar sangat baik apabila mereka dilibatkan secara fisik dalam pembelajaran. Mampu belajar dan mengingat dengan efektif melalui kegiatan yang melibatkan seluruh tubuh.[6]
Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dengan teori, keyakinan, dan metode yang dicetuskan De Porter sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti: Teori otak kanan/kiri, Teori otak triune, pilihan Modalitas, Teori kecerdasan ganda, Pendidikan holistic, Belajar berdasarkan Pengalaman, Belajar dengan Simbol, Simulasi/permainan.[7] Prinsip-prinsip dalam Quantum Learning dianggap sebagai struktur chord dasar dari simfoni belajar. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.          Segalanya berbicara
b.         Segalanya bertujuan
c.          Sadarilah bahwa pengalaman mendahului penamaan
d.         Akui setiap usaha
e.          Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan
Ada beberapa prinsip keunggulan yang diyakini dalam Quantum Learning, yaitu:
a.       Terapkanlah hidup dalam integritas
b.      Akuilah kegagalan dapat membawa kesuksesan
c.       Berbicaralah dengan niat baik
d.      Hidup saat ini
e.       Tegaskanlah komitmen
f.       Jadilah pemilik, bertanggung jawab atas tugas yang diberikan
g.      Tetaplah lentur, pandai membaca situasi
h.      Pertahankanlah keseimbangan.[8]

D.    Contoh Pemikiran De Porter
Quantum Learning dan Quantum Teaching adalah dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Quantum teaching didedikasikan untuk diterapkan dalam ruang-ruang kelas yang bertumpu pada konsep Quantum Learning. Quantum teaching menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas. Dalam hal ini terjadi interaksi yang mendirikan kerangka dan landasan untuk belajar.
Quantum teaching juga memiliki unsur-unsur yang terbagi dalam konteks dan isi.

a.       Konteks
1.      Mengorkestrasi Suasana yang menggairahkan
Suasana yang penuh kegembiraan membawa kegembiraan pula dalam belajar. Seorang guru matematika harus mampu menciptakan suasana kelas yang menggairahkan. Penting sekali guru matematika menjalin rasa simpati dengan siswa. Dengan demikian suasana belajar akan menggairahkan. Sejauh mana kita memasuki dunia siswa, sejauh itu pula pengaruh yang kita miliki di dalam kehidupan mereka.

2.      Mengorkestrasi Landasan yang Kukuh
Landasan yang kukuh berbicara tentang kerangka kerja yang solid. Kerangka kerja itu meliputi tujuan, keyakinan, kesepakatan, kebijakan, prosedur, dan aturan bersama yang member guru dan siswa sebuah pedoman untuk bekerja dalam komunitas belajar. Misalnya dalam matematika ada satu materi tentang Pertidaksamaan Linear. Dalam materi tersebut guru harus membuat kesepakatan terlebih dahulu tentang aturan arsiran. Hal-hal semacam ini perlu untuk disepakati bersama dalam ruang kelas agar tidak terjadi kesalahpahaman konsep dalam diri siswa.

3.      Mengorkestrasi Lingkungan yang Mendukung
Lingkungan yang mendukung mencakup cara seorang guru menata ruang kelas dan semua hal yang mendukung proses belajar. Sesekali dalam pembelajaran matematika seorang guru dapat menghandirkan music-musik slow yang bisa mendorong siswa untuk berpikir. Musik yang dipilih juga harus sesuai dengan materi yang dipelajari pada saat itu.

4.      Mengorkestrasi Perancangan Pengajaran yang Dinamis
Perancangan pembelajaran memudahkan guru untuk dapat menyeberang ke dunia siswa dan membawa siswa ke dunia guru, ke dalam proses pembelajaran. Rancangan pembelajaran yang dinamis membuat proses belajar tidak monoton tetapi ada sesuatu yang berbeda dari waktu ke waktu. Tentunya hal ini membutuhkan kekreatifan dari guru itu sendiri. Untuk masuk dalam dunia siswa guru tentunya harus mengenal modalitas yang dimiliki oleh seorang siswa.

b.      Isi
1.      Mengorkestrasi Presentasi/Penyajian yang Prima
Dalam mengajar guru harus mengajarkan keterampilan hidup di tengah-tengah keterampilan akademis, mencetak atribut mental/fisik/spiritual para siswanya. Guru harus mendahulukan interaksi dalam lingkungan belajar, memperhatikan kualitas interaksi antar pelajar, antar pelajar dan guru, antar pelajar dan kurikulum. Komunikasi non verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, nada suara, gerak tubuh, maupun postur juga harus diperhatikan.

2.      Mengorkestrasi Fasilitas yang Luwes dan Elegan
Fasilitas adalah bagian yang membawa guru melampaui penyebaran informasi menuju penciptaan ilmu pengetahuan dan pembentukan kehidupan. Di dalam fasilitas itu terdapat sebuah strategi yang luwes untuk memudahkan siswa dalam belajar. Di situ juga ada interaksi yang hidup dalam lingkungan pembelajaran sehingga tetap menjaga minat pembelajar.


3.      Mengorkestrasi Keterampilan Belajar
Banyak sekali model keterampilan yang dapat merangsang belajar. Seperti yang telah dipelajari sebelumnya, ada keterampilan belajar yang disimulasikan ke dalam beberapa aktifitas, yaitu SLANT, Mind Mapping, dan Circuit Learning. Matematika dapat dihadirkan dalam bentuk peta pikiran, misalnya materi Aljabar, Statistika ataupun materi-materi matematika lainnya. Semuanya dapat diatur sesuai kekreatifan seorang guru.

4.      Mengorkestrasi Keterampilan Hidup
Seorang guru yang terampil membagikan keterampilan hidupnya dengan siswa akan membuat dia dan pelajaran yang dibawakannya dinanti-nantikan siswa. Satu keteladanan yang diberikan oleh seorang guru lebih berharga daripada seribu perkataan yang dikeluarkannya. Sebagai seorang guru, pemberian terbaik yang dapat diberikan kepada siswa adalah keyakinan bahwa kita berpihak pada mereka, bahwa kita ingin mereka sukses dan motivasi bahwa mereka pasti sukses dalam belajar. Mempersiapkan siswa, segala usia untuk menjadi pelajar seumur hidup adalah tujuan terpuji. Demi keberhasilan suatu proses belajar semua keterampilan hidup patut diusahakan.[9]




BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Vigotsky berfokus pada koneksi antara orang-orang dan konteks budaya di mana mereka bertindak dan saling berhubungan atau saling berbagi pengalaman. Proses belajar menuru Vigotsky terjadi dalam wilayah Zone Proximal Development (ZPD), yakni wilayah antara apa yang diketahui dengan apa yang belum diketahui. Ada empat tahapan menurut Vigotsky, yaitu tahap di mana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain, kemudian tahapan di mana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tahapan ketiga kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis, dan tahapan di mana kinerja anak yang mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang.
Konsep utama quantum teaching oleh Bobby de Porter adalah “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka”. Maksudnya, bila kita membaca konsep tersebut akan mengingatkan kita pada pentingnya memasuki dunia peserta didik sebagai langkah pertama, karena tindakan ini akan member izin pendidik untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang luas. Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dengan teori, keyakinan, dan metode yang dicetuskan De Porter sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti: Teori otak kanan/kiri, Teori otak triune, pilihan Modalitas, Teori kecerdasan ganda, Pendidikan holistic, Belajar berdasarkan Pengalaman, Belajar dengan Simbol, Simulasi/permainan.



B.     Saran
Saran yang dapat diberikan pemakalah adalah agar para guru memilih teori belajar yang tepat untuk digunakan di dalam kelas yang sesuai dengan kriteria peserta didik. Materi yang disampaikan juga harus sesuai apabila memilih teori belajar ini. Jika tidak sesuai akan membuat keraguan dan kebingungan oleh peserta didik. Untuk para orang tua juga harus pandai dalam memahami kriteria proses pembelajaran anak. Agar selain di sekolah anak mendapatkan bimbingan juga oleh orang tuanya di rumah. Sehingga terjadi kerja sama yang baik antara orang tua dan guru.



DAFTAR PUSTAKA
Thalib, Syamsul Bachri. 2010. Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta: Kencana.
Amir, Zubaidah. 2015. Psikologi Pembelajaran MatematikaI. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
De Porter, Bobbi. 2010. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
Di akses pada tanggal 26 Februari 2016
Di akses pada tanggal 26 Februari 2016 http://eprints.walisongo.ac.id/4185/3/103711029_bab2.pdf



[1] Thalib, Syamsul Bachri. Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. 2010. Jakarta: Kencana. Hlm.93.
[3] Amir, Zubaidah. Psikologi Pembelajaran MatematikaI.2015.Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Hlm. 137.
[5] Amir, Zubaidah. Psikologi Pembelajaran MatematikaI.2015.Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Hlm. 140.
[7] De Porter, Bobbi.Quantum Learning. 2010. Bandung: Kaifa.hlm. 16.
[8] Amir, Zubaidah. Psikologi Pembelajaran MatematikaI.2015.Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Hlm. 144.
[9] Ibid. Hlm. 147.

0 komentar:

Posting Komentar