BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hakikat manusia sebagai makhluk hidup salah satunya
adalah untuk terus belajar. Bahkan dalam Islam manusia juga dituntut untuk
mencari ilmu dari lahir hingga ke liang lahat. Ini artinya belajar sangatlah
penting dan berguna bagi manusia dalam menjalani kehidupan. Ini dimaksudkan
agar manusia tidak mudah untuk ditipu, untuk terus mengembangkan
kemampuan-kemampuan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Proses dalam sebuah pembelajaran sangat memengaruhi
bagaimana perkembangan anak kedepannya. Proses belajar yang baik akan
menghasilkan hasil yang baik, dan proses belajar yang kurang baik akan
menghasilkan hasil yang kurang baik pula. Untuk itu, sangatlah perlu bagi para
pembimbing, guru, atau para orang tua untuk terus memperhatikan proses belajar
anak didiknya. Khususnya untuk para orang tua yang sangat dekat dengan anaknya,
dan orang yang pertama kali mengenal anaknya. Anak sangat banyak belajar dari
apa yang ia lihat atau yang didengar dari orang tuanya.
Sebelum masuk lebih dalam tentang proses belajar,
perlu rasanya untuk mengetahui landasan belajar yang akan digunakan dalam
proses pembelajaran. Yang mana landasan belajar ini di jelaskan dengan berbagai
teori belajar yang telah banyak dikembangkan oleh para ahli tentang bagaimana
teori-teori belajar tersebut. Ada banyak teori belajar, seperti Teori Piaget,
Teori Ananda, Teori Vigotsky, dan lain sebagainya. Dan di sini akan dibahas
bagaimana dan seperti apa teori belajar menurut Vigotsky dan Bobby de Porter.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Teori Vigotsky
dan De Porter tentang belajar Matematika?
2. Bagaimana contoh penggunaan Teori
Vigotsky dan De Porter?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari Teori
Vigotsky dan De Porter.
2. Mengetahui contoh dari penggunaan Teori
Vigotsky dan De Porter.
D.
Manfaat
Setelah dipaparkan tentang latar belakang, rumusan
masalah, dan tujuan dari makalah ini, maka manfaat yang dapat diambil adalah
sebagai berikut.
1.
Untuk meenambah pengetahuan bagi para pembaca
mengenai teori belajar yang dikembangkan oleh Vigotsky dan Bobby de Porter.
2.
Sebagai acuan atau landasan bagi para guru dalam
melakukan proses belajar dan mengajar.
3.
Mengaplikasikan penggunaan dari teori belajar
Vigotsky dan Bobby de Porter.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teori Vigotsky
Lev
Semyonovich Vygotsky, seorang keturunan Yahudi yang lahir di kota Orsha Rusia
pada tahun 1896. Banyak penelitian yang dilakukan Vigotsky mengenai proses
berpikir anak antara tahun 1920-1934. Ia merupakan pelopor dalam meletakkan
dasar tentang psikologi yang perkembangannya telah banyak memengaruhi
pendidikan di Rusia yang kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di
seluruh dunia hingga saat ini. Berkat karyanya yang luar biasa di bidang
psikologi ini, bangsa Rusia menjuluki Vigotsky sebagai “Mozartnya psikologi”. Vigotsky menghasilkan banyak teori psikologi
yang mana teori-teori tersebut antara lain menyangkut peranan interaksi sosial
dalam perkembangan kognitif, dialetika pikiran dan bahasa, perkembangan konsep,
dan daerah perkembangan terdekat.
Vigotsky
percaya bahwa hidup merindukan proses perkembangan dan hal ini sangat
tergantung pada interaksi sosial dan belajar sosial itu secara aktual
berpengaruh terhadap perkembangan kognitif. Vigotsky menjelaskan bahwa jarak
antara tingkat perkembangan aktual ditentukan oleh pemecahan masalah secara
independen dan tingkat perkembangan potensial ditentukan melalui pemecahan
masalah melalui kolaborasi antara guru pembimbing dan arahan orang dewasa dan
atau antar teman sebaya yang lebih mampu. Dengan kata lain, seorang siswa dapat
melaksanakan suatu tugas di bawah bimbingan orang dewasa atau kerja sama dengan
teman sebaya yang lebih mampu.
Proses
belajar menurut Vigotsky terjadi dalam wilayah Zone Proximal Development (ZPD), yakni wilayah antara apa yang
diketahui dengan apa yang belum diketahui. Oleh karena itu, Vigotsky berfokus
pada koneksi antara orang-orang dan konteks budaya di mana mereka bertindak dan
saling berhubungan atau saling berbagi pengalaman. Menurut Vigotsky, manusia
menggunakan tools yang bersumber dari suatu kultur, termasuk bahasa lisan dan
tulisan yang dimediasi oleh lingkungan sosial. Vigotsky percaya bahwa pada
awalnya anak-anak mengembangkan tools ini untuk melayani fungsi sosial, dan
mengomunikasikan kebutuhan-kebutuhannya. Internalisasi nilai-nilai budaya
melalui interaksi sosial mendorong kemampuan dan keterampilan berpikir.
Kemampuan berpikir dan berbicara/bahasa tidak dapat eksis tanpa pergaulan
sosial.[1]
1.
Peranan
Interaksi Sosial
Menurut
Vigotsky, setiap individu berkembang dalam konteks sosial. Semua perkembangan
intelektual yang mencakup makna, ingatan, pikiran, persepsi, dan kesadaran
bergerak dari wilayah interpersonal ke wilayah intrapersonal. Dalam
pandangannya, semua kerja kognitif tingkat tinggi pada manusia mempunyai
asal-usul dalam interaksi sosial setiap individu dalam konteks budaya tertentu.
Vigotsky sangat menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan
interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia.
Vigotsky
berpendapat, siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan
teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide
baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Konsep ini dinamakan pemagangan kognitif, yang mengacu pada
proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh
keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah orang
yang lebih mengusai permasalahan yang dipelajari, dapat berupa orang dewasa
atau kawan sebaya.
Setiap
anak akan melewati dua tingkat dalam proses belajar, yaitu pertama pada level
sosial yang mana anak melakukan kolaborasi dengan orang lain dan kedua pada
level individual, yaitu anak melakukan proses internalisasi. Internalisasi
merupakan proses transformasi tindakan eksternal (prilaku) menjadi kerja
psikologis internal (proses). Dalam pelaksanaan di kelas, guru hendaknya
mengorganisasi situasi kelas dan menerapkan strategi pembelajaran yang
memungkinkan siswa saling berinteraksi dengan temannya dan guru, serta
memberikan stimulus keterlibatan siswa melalui pemecahan masalah yang
membutuhkan kehadiran orang lain (guru atau teman sebaya yang lebih memahami
permasalahan) dan memberikan bantuan disaat mereka mengalami kesulitan.[2]
2.
Daerah
Perkembangan Terdekat (Zone of Proximal
Development)
Menurut
Vigotsky, perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam du tingkat,
yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat
perkembangan actual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Sedangkan tingkat
perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau
ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Vigotsky yakin
bahwa pembelajaran terjadi apabila siswa bekerja atau belajar mengenai
tugas-tugas atau masalah kompleks yang masih berada pada jangkauan kognitif
siswa atau tugas-tugas tersebut berada pada Daerah Perkembangan Terdekat (ZPD).
Definisi
ZPD (DPT) dapat dipahami sebagai berikut, jika sebuah masalah dapat
diselesaikan secara mandiri oleh siswa, maka siswa tersebut telah berada pada
taraf kemampuan aktualnya. Tetapi, jika masalah tersebut baru dapat
diselesaikan oleh siswa dengan bantuan orang lain yang lebih memahami masalah,
maka siswa tersebut telah berada pada taraf kemampuan potensialnya. Jika guru
mengajukan masalah untuk dipecahkan oleh siswa sebaiknya masalah itu berada di
antara taraf kemampuan actual dan taraf kemampuan potensialnya, atau masalah
berada pada daerah jangkauan kognitif siswa. Demikian juga dalam pembelajaran
Matematika. Misalkan siswa akan mempelajari materi X untuk pertama kalinya,
jika siswa telah menguasai dengan baik materi prasyarat untuk materi X ini, maka
siswa telah berada pada taraf kemampuan actualnya. Jika siswa menguasai secara
tuntas materi X setelah mengikuti proses pembelajaran, maka siswa berada pada
tingkat kemampuan potensialnya. Tingkat perkembangan ZPD terdiri atas empat
tahap, yaitu:
·
Tahap
Pertama: More Dependence to Others Stage
Tahapan di mana
kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain, seperti teman-teman
sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari sinilah
muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan
kognisi anak secara konstruktif.
·
Tahap
Kedua: Less Dependence External
Assistence Stage
Tahap di mana
kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain,
tetapi lebih kepada self assistance,
lebih banyak anak membantu dirinya sendiri.
·
Tahap
Ketiga: Internalization and
Automatization Stage
Tahap di mana
kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kesadaran akan
pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan
arahan yang lebih besar dari pihak lain. Walaupun demikian, anak pada tahap ini
belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas diri
dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang.
·
Tahap
Keempat: De-automatization Stage
Tahap di mana kinerja anak
mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan
secara berulang-ulang, bolak-balik. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut
dengan de automatization sebagai
puncak dari kinerja sesungguhnya.
Selanjutnya, teori Vigotsky berfokus
pada faktor lainnya, yaitu:
1. Budaya
Vigotsky berpendapat bahwa budaya dan
lingkungan sosial seorang anak adalah hal terpenting yang mempengaruhi
pembentukan pengetahuan mereka. Anak-anak belajar melalui lagu, bahasa,
kesenian dan permainan. Ia juga menyatakan bahwa budaya mempengaruhi proses
belajar, anak-anak belajar melalui interaksi dan kerja sama dengan orang lain
dan lingkungannya. Vigotsky meyakini bahwa jalan pikiran seseorang harus
dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya.
2. Bahasa
Vigotsky mengemukakan bahwa bahasa
berperan penting dalam proses perkembangan kognitif anak. Menurutnya, ada
hubungan yang jelas antara perkembangan bahasa dan perkembangan kognitif. Ia
menyatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan bahasa, yaitu:
·
Social speech,
untuk usia sampai 3 tahun. Berbicara biasa dilakukan untuk mengontrol tingkah
laku dan untuk mengekspresikan pemikiran sederhana seperti emosi.
·
Egocentric speech,
usia 3-7 tahun. Anak-anak lebih sering berbicara dengan diri mereka sendiri,
mereka membicarakan apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya.
·
Inner speech,
untuk usia di atas 7 tahun sampai dewasa. Biasa disebut pembicaraan batin,
merupakan proses hubungan antara pikiran dan bahasa, pada tahap ini setiap
individu telah sampai pada tipe fungsi mental yang lebih tinggi.[3]
Di sini Vigotsky menekankan akan
pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Vigotsky menekankan pada
pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan
pengetahuna yang menurut beliau, bahwa interaksi individu dengan orang lain
merupakan faktor terpentinng yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang.
Ia berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif
apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan
lingkungan yang mendukung, dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu.
Vigotsky mengemukakan dua ide
berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, yaitu yang pertama, bahwa
perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan
sejarah pengalaman siswa. Dan kedua, bahwa perkembangan intelektual bergantung
pada sistem tanda setiap individu selalu berkembang. Sistem tanda adalah
symbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang berpikir,
berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan,
dan sistem perhitungan.[4]
B.
Contoh Pemikiran Vigotsky
Implikasi
teori Vigotsky dalam pembelajaran menurut Oakley (2004:48-50) yaitu:
a. Proses pembelajaran yang diberikan oleh
guru harus sesuai dengan tingkat perkembangan potensial siswa. Siswa seharusnya
diberikan tugas yang dapat membantu mereka untuk mencapai tingkat perkembangan
potensialnya.
b. Vigotsky mempromosikan penggunaan
pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, di mana siswa dapat saling
berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang
efektif dalam masing-masing ZPD mereka.
Mengingat proses belajar mula-mula
berlangsung pada taraf sosial, maka pembelajaran Matematika di kelas hendaknya
bersifat interaktif, baik antara siswa dan guru, maupun antar siswa. Yang mana
interaksi ini mengarah sampai kepada terjadinya kecocokan di kedua belah pihak
yang memungkinkan keduanya mampu mengerti, memeriksa, bernegosiasi dan saling
memanfaatkan sudut pandang pihak lain.
Interaksi sosial dalam pembelajaran
Matematika jangan hanya dibatasi dalam bentuk kegiatan interaktif di kelas,
tetapi juga mencakup interaksi siswa dengan konteks sosial budaya yang dekat
dengan kehidupan siswa sehari-hari. Contoh dalam pembelajaran, jika siswa
membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak
langsung memberitahukan di mana letak kesalahan tersebut, melainkan memberikan
mereka pertanyaan yang bersifat menuntun yang dimaksudkan agar mereka dapat
menemukan dan mengetahui letak kesalahan yang mereka buat.[5]
C.
Teori De Porter
Bobbi
de Porter adalah seorang ibu rumah tangga yang kemudian terun di bidang bisnis
property dan keuangan, karena bangkrut ia akhirnya menggeluti bidang
pembelajaran. Menurutnya, Quantum Teaching adalah konsep yang menguraikan
cara-cara baru dalam memudahkan proses belajar mengajar lewat pemanduan unsur
seni dan pencapaian-pencapaian yang terarah, apapun mata pelajaran yang
diajarkan. Salah satu konsep utama quantum
teaching adalah “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia Kita
ke Dunia Mereka”. Maksudnya, bila kita membaca konsep tersebut akan
mengingatkan kita pada pentingnya memasuki dunia peserta didik sebagai langkah
pertama, karena tindakan ini akan member izin pendidik untuk memimpin,
menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu
pengetahuan yang luas.
Jadi,
pendidik dalam pengajaran kuantum merupakan faktor penting dalam lingkungan
belajar dan kehidupan siswa, pendidik bukan hanya sekedar pemberi ilmu, tetapi
peran pendidik sebagai rekan belajar, model, pembimbing, dan fasilitator. Oleh
karena itu, kuantum menunjukkan kepada kita, sebagai calon pendidik mengenai
cara menjadi pendidik yang baik. Quantum menguraikan cara-cara baru yang
memudahkan proses belajar kita lewat pemanduan unsur seni dan
pencapaian-pencapaian yang terarah.
Quantum
teaching merupakan panduan praktis dalam mengajar yang berusaha mengakomodir
setiap bakat siswa atau dapat menjangkau setiap siswa. Metode ini sarat dengan
penemuan-penemuan terkini yang menimbulkan antusiasme siswa. Quantum teaching
menjadikan ruang-ruang kelas ibarat sebuah konser music yang memadukan berbagai
instrument sehingga tercipta komposisi yang menggerakkan dari keberagaman
tersebut. Sebagai guru yang akan memengaruhi kehidupan murid, guru seolah-olah
memimpin konser saat berada di ruang kelas.
Menurut
Bobbi De Porter dan Mike Hernacki gaya belajar merupakan suatu kombinasi dari
bagaimana seseorang menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi.
Gaya belajar bukan hanya berupa aspek ketika menghadapi informasi, melihat,
mendengar, menulis dan berkata tetapi juga ketika merespon sesuatu atas
lingkungan belajar (diserap secara abstrak dan konkret). Terdapat tiga
modalitas belajar, yaitu Visual, Auditorial dan Kinestetik. Dalam kenyataannya
semua orang yang memiliki ketiga gaya belajar tersebut, hanya saja biasanya
satu gaya mendominasi. Pernyataan tersebut sesuai dengan Bobbi De Porter, pada
lain kesempatan orang tidak hanya cenderung pada salah satu modalitas, mereka
juga memanfaatkan kombinasi tertentu yang member mereka bakat dan kekurangan
alami tertentu. Tidak selamanya seseorang memiliki hanya satu gaya belajar,
seseorang memiliki potensi untuk memiliki beberapa gaya belajar, namun
kebanyakan seseorang memiliki satu kecenderungan yang ada dalam dirinya dan
biasa dilakukannya.
1.
Gaya
Belajar Visual
Modalitas
ini mengakses citra visual yang diciptakan maupun yang diingat. Warna, hubungan
ruang, potret mental, dan gambar menonjol pada modalitas ini. Seseorang yang
memiliki gaya belajar visual cenderung belajar melalui hubungan visual
(penglihatan). Dengan demikian dalam gaya belajar visual yang sifatnya
eksternal, ia menggunakan materi atau media yang bisa dilihat atau mengeluarkan
tanggapan indera penglihatan. Materi atau media yang bisa digunakan adalah
buku, poster, majalah, rangka tubuh manusia, peta, dan lain-lain. Sedangkan
gaya belajar visual yang bersifat internal adalah menggunakan imajinasi sebagai
sumber informasi.
2.
Gaya
Belajar Auditorial
Modalitas
ini mengakses segala jenis bunyi dan kata-kata yang diciptakan maupun diingat.
Musik, nada, rima, dialog internal, dan suara menonjol pada modalitas ini.
Individu yang cenderung memiliki gaya belajar auditorial kemungkinan akan
belajar lebih baik dengan mendengarkan. Mereka menikmati saat-saat mendengarkan
apa yang disampaikan orang lain. Mereka lebih memiliki kecenderungan memahami
tugas-tugas bila penjelasannya diberikan secara lisan. Senang mempelajari
sesuatu yang memberikan fasilitas untuk bertanya jawab.
3.
Gaya
Belajar Kinestetik
Modalitas
yang ketiga ini mengakses segala gerak dan emosi yang diciptakan maupun
diingat. Gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional, dan kenyamanan fisik
menonjol pada modalitas ini. Seseorang yang memiliki kecenderungan gaya belajar
kinestetik akan belajar lebih baik apabila terlibat secara fisik dalam kegiatan
langsung. Mereka akan belajar sangat baik apabila mereka dilibatkan secara
fisik dalam pembelajaran. Mampu belajar dan mengingat dengan efektif melalui
kegiatan yang melibatkan seluruh tubuh.[6]
Quantum Learning menggabungkan
sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dengan teori, keyakinan, dan metode
yang dicetuskan De Porter sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci
dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti: Teori otak
kanan/kiri, Teori otak triune, pilihan Modalitas, Teori kecerdasan ganda,
Pendidikan holistic, Belajar berdasarkan Pengalaman, Belajar dengan Simbol,
Simulasi/permainan.[7]
Prinsip-prinsip dalam Quantum Learning dianggap sebagai struktur chord dasar
dari simfoni belajar. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.
Segalanya
berbicara
b.
Segalanya
bertujuan
c.
Sadarilah
bahwa pengalaman mendahului penamaan
d.
Akui
setiap usaha
e.
Jika
layak dipelajari, maka layak pula dirayakan
Ada beberapa prinsip keunggulan yang diyakini dalam
Quantum Learning, yaitu:
a. Terapkanlah hidup dalam integritas
b. Akuilah kegagalan dapat membawa
kesuksesan
c. Berbicaralah dengan niat baik
d. Hidup saat ini
e. Tegaskanlah komitmen
f. Jadilah pemilik, bertanggung jawab atas
tugas yang diberikan
g. Tetaplah lentur, pandai membaca situasi
h. Pertahankanlah keseimbangan.[8]
D.
Contoh Pemikiran De Porter
Quantum
Learning dan Quantum Teaching adalah dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan.
Quantum teaching didedikasikan untuk diterapkan dalam ruang-ruang kelas yang
bertumpu pada konsep Quantum Learning. Quantum teaching menyertakan segala
kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum
teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas. Dalam hal ini
terjadi interaksi yang mendirikan kerangka dan landasan untuk belajar.
Quantum
teaching juga memiliki unsur-unsur yang terbagi dalam konteks dan isi.
a. Konteks
1. Mengorkestrasi Suasana yang
menggairahkan
Suasana
yang penuh kegembiraan membawa kegembiraan pula dalam belajar. Seorang guru
matematika harus mampu menciptakan suasana kelas yang menggairahkan. Penting
sekali guru matematika menjalin rasa simpati dengan siswa. Dengan demikian
suasana belajar akan menggairahkan. Sejauh mana kita memasuki dunia siswa,
sejauh itu pula pengaruh yang kita miliki di dalam kehidupan mereka.
2. Mengorkestrasi Landasan yang Kukuh
Landasan
yang kukuh berbicara tentang kerangka kerja yang solid. Kerangka kerja itu
meliputi tujuan, keyakinan, kesepakatan, kebijakan, prosedur, dan aturan
bersama yang member guru dan siswa sebuah pedoman untuk bekerja dalam komunitas
belajar. Misalnya dalam matematika ada satu materi tentang Pertidaksamaan
Linear. Dalam materi tersebut guru harus membuat kesepakatan terlebih dahulu
tentang aturan arsiran. Hal-hal semacam ini perlu untuk disepakati bersama
dalam ruang kelas agar tidak terjadi kesalahpahaman konsep dalam diri siswa.
3. Mengorkestrasi Lingkungan yang Mendukung
Lingkungan
yang mendukung mencakup cara seorang guru menata ruang kelas dan semua hal yang
mendukung proses belajar. Sesekali dalam pembelajaran matematika seorang guru
dapat menghandirkan music-musik slow yang bisa mendorong siswa untuk berpikir.
Musik yang dipilih juga harus sesuai dengan materi yang dipelajari pada saat
itu.
4. Mengorkestrasi Perancangan Pengajaran
yang Dinamis
Perancangan
pembelajaran memudahkan guru untuk dapat menyeberang ke dunia siswa dan membawa
siswa ke dunia guru, ke dalam proses pembelajaran. Rancangan pembelajaran yang
dinamis membuat proses belajar tidak monoton tetapi ada sesuatu yang berbeda
dari waktu ke waktu. Tentunya hal ini membutuhkan kekreatifan dari guru itu
sendiri. Untuk masuk dalam dunia siswa guru tentunya harus mengenal modalitas
yang dimiliki oleh seorang siswa.
b. Isi
1. Mengorkestrasi Presentasi/Penyajian yang
Prima
Dalam
mengajar guru harus mengajarkan keterampilan hidup di tengah-tengah
keterampilan akademis, mencetak atribut mental/fisik/spiritual para siswanya.
Guru harus mendahulukan interaksi dalam lingkungan belajar, memperhatikan
kualitas interaksi antar pelajar, antar pelajar dan guru, antar pelajar dan
kurikulum. Komunikasi non verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, nada
suara, gerak tubuh, maupun postur juga harus diperhatikan.
2. Mengorkestrasi Fasilitas yang Luwes dan
Elegan
Fasilitas
adalah bagian yang membawa guru melampaui penyebaran informasi menuju
penciptaan ilmu pengetahuan dan pembentukan kehidupan. Di dalam fasilitas itu
terdapat sebuah strategi yang luwes untuk memudahkan siswa dalam belajar. Di
situ juga ada interaksi yang hidup dalam lingkungan pembelajaran sehingga tetap
menjaga minat pembelajar.
3. Mengorkestrasi Keterampilan Belajar
Banyak
sekali model keterampilan yang dapat merangsang belajar. Seperti yang telah
dipelajari sebelumnya, ada keterampilan belajar yang disimulasikan ke dalam
beberapa aktifitas, yaitu SLANT, Mind Mapping, dan Circuit Learning. Matematika
dapat dihadirkan dalam bentuk peta pikiran, misalnya materi Aljabar, Statistika
ataupun materi-materi matematika lainnya. Semuanya dapat diatur sesuai
kekreatifan seorang guru.
4. Mengorkestrasi Keterampilan Hidup
Seorang
guru yang terampil membagikan keterampilan hidupnya dengan siswa akan membuat
dia dan pelajaran yang dibawakannya dinanti-nantikan siswa. Satu keteladanan
yang diberikan oleh seorang guru lebih berharga daripada seribu perkataan yang
dikeluarkannya. Sebagai seorang guru, pemberian terbaik yang dapat diberikan
kepada siswa adalah keyakinan bahwa kita berpihak pada mereka, bahwa kita ingin
mereka sukses dan motivasi bahwa mereka pasti sukses dalam belajar. Mempersiapkan
siswa, segala usia untuk menjadi pelajar seumur hidup adalah tujuan terpuji.
Demi keberhasilan suatu proses belajar semua keterampilan hidup patut
diusahakan.[9]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Vigotsky berfokus pada koneksi antara orang-orang
dan konteks budaya di mana mereka bertindak dan saling berhubungan atau saling
berbagi pengalaman. Proses belajar menuru Vigotsky terjadi dalam wilayah Zone Proximal Development (ZPD), yakni
wilayah antara apa yang diketahui dengan apa yang belum diketahui. Ada empat
tahapan menurut Vigotsky, yaitu tahap di mana kinerja anak mendapat banyak
bantuan dari pihak lain, kemudian tahapan di mana kinerja anak tidak lagi
terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tahapan ketiga kinerja
anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis, dan tahapan di mana kinerja
anak yang mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang
dilakukan secara berulang-ulang.
Konsep utama quantum
teaching oleh Bobby de Porter
adalah “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia
Mereka”. Maksudnya, bila kita membaca konsep tersebut akan mengingatkan kita
pada pentingnya memasuki dunia peserta didik sebagai langkah pertama, karena
tindakan ini akan member izin pendidik untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan
perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang luas. Quantum
Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dengan teori,
keyakinan, dan metode yang dicetuskan De Porter sendiri. Termasuk di antaranya
konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain,
seperti: Teori otak kanan/kiri, Teori otak triune, pilihan Modalitas, Teori
kecerdasan ganda, Pendidikan holistic, Belajar berdasarkan Pengalaman, Belajar
dengan Simbol, Simulasi/permainan.
B.
Saran
Saran yang dapat diberikan pemakalah adalah agar
para guru memilih teori belajar yang tepat untuk digunakan di dalam kelas yang
sesuai dengan kriteria peserta didik. Materi yang disampaikan juga harus sesuai
apabila memilih teori belajar ini. Jika tidak sesuai akan membuat keraguan dan
kebingungan oleh peserta didik. Untuk para orang tua juga harus pandai dalam
memahami kriteria proses pembelajaran anak. Agar selain di sekolah anak
mendapatkan bimbingan juga oleh orang tuanya di rumah. Sehingga terjadi kerja
sama yang baik antara orang tua dan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Thalib, Syamsul Bachri. 2010. Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta:
Kencana.
Amir, Zubaidah. 2015. Psikologi Pembelajaran MatematikaI. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
De Porter, Bobbi. 2010. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
Di akses pada
tanggal 26 Februari 2016 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=116773&val=5324
Di
akses pada tanggal 26 Februari 2016
Di akses pada
tanggal 26 Februari 2016 http://eprints.walisongo.ac.id/4185/3/103711029_bab2.pdf
[1] Thalib, Syamsul Bachri. Psikologi
Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. 2010. Jakarta: Kencana.
Hlm.93.
[3] Amir, Zubaidah. Psikologi
Pembelajaran MatematikaI.2015.Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Hlm. 137.
[5] Amir, Zubaidah. Psikologi
Pembelajaran MatematikaI.2015.Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Hlm. 140.
[7] De Porter, Bobbi.Quantum
Learning. 2010. Bandung: Kaifa.hlm. 16.
[8] Amir, Zubaidah. Psikologi
Pembelajaran MatematikaI.2015.Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Hlm. 144.
[9] Ibid. Hlm. 147.
0 komentar:
Posting Komentar