Jumat, 25 November 2016

Masalah Pendidikan di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Secara fungsional, pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat, bangsa maupun antar bangsa.  Hal ini berarti pendidikan nasional mempunyai tugas untuk menyiapkan sumber daya manusia yang baik, yang dapat berguna dalam pembangunan dimasa depan.  Derap langkah pembangunan sendiri selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman.  Tetapi, perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya tidak dapat diramalkan sebelumnya.  Sebagai konsekuensi logis, pendidikan selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru. Masalah-masalah tersebut kemudian berdampak kepada kualitas  sumber daya manusia dan pendidikan di Indonesia.
Kualitas pendidikan di Indonesia sendiri saat ini pantas dikatakan  memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Survei Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), pada awal November 2011, yang merilis indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada di urutan ke-124 dari 187 negara yang disurvei. IPM Indonesia hanya 0,617, jauh di bawah Malaysia di posisi 61 dunia dengan angka 0,761. 
Selain itu, terdapat pula survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), mengenai kualitas pendidikan di Indonesia yang berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-30 dari 57 negara yang disurvei di dunia pada tahun 1996, ke-15(1997), ke-31(1998), ke-37(1999), dank ke-44(2000). Dan masih menurut survei dari lembaga yang sama yang mengatakan bahwa Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Berbagai data diatas, selain menggambarkan tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, juga menegaskan bahwa pada era bersaing nanti tidak ada jaminan bangsa Indonesia akan memenangkannya, jika tidak dilakukan perbaikan.  Oleh karena itu, dalam memasuki abad ke- 21 dunia ini pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia.
Makalah ini akan menitiberatkan pada pokok-pokok permasalahan pendidikan yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia dan strategi-strategi pemecahan masalah dari permasalahan pendidikan tersebut.

B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
2.      Apa masalah-masalah pendidikan yang terjadi di Indonesia ?
3.      Apa penyebab permasalahan pendidikan di indonesia ?
4.      Bagaimana solusi mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia ?

C.       Tujuan

1.      Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
2.      Menjelaskan  permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia.
3.      Menjelaskan penyebab permasalahan pendidikan di Indonesia.
4.      Menjelaskan  solusi untuk mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia.

D.    Manfaat

1.      Bagi pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia demi meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

2.      Bagi mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri sendiri dalam proses pembelajaran pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.













BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kualitas Pendidikan di Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah. 

B.       Permasalahan Pendidikan yang Terjadi di Indonesia serta Penyebabnya

Masalah adalah suatu kendala atau persoalan yang harus dipecahkan, dengan kata lain masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan suatu yang diharapkan dengan baik, agar tercapai tujuan dengan hasil yang maksimal.
Sementara itu, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU No. 20 Tahun 2003).
Dalam perjalanannya menuju tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang tujuan pendidikan nasional yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab dan kemasyarakatan dan kebangsaan”,  Pendidikan di Indonesia dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang berdampak kepada kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia.
Secara umum, terdapat empat masalah pokok pendidikan nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya.  Masalah yang dimaksud adalah :
·           Masalah pemerataan kesempatan dan akses pendidikan
·           Masalah peningkatan mutu
·           Masalah relevansi pendidikan; dan
·           Masalah efisiensi dan sistem manajemen pendidikan
Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu, diantaranya rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Secara lengkap empat permasalahan pokok tersebut dipaparkan sebagai berikut.

1.         Pemerataan kesempatan dan akses pendidikan

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.  Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) yang menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia.
Pemerataan pendidikan sendiri mencakup dua aspek penting yaitu aspek equality dan aspek equity. Equality atau persamaan mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Selain itu,  Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua masyarakat memiliki hak untuk memperoleh pendidikan dengan mudah.
Masalah pemerataan pendidikan ini berkenaan dengan rasio atau perbandingan antara masukan pendidikan atau jumlah penduduk yang tertampung dalam satuan-satuan pendidikan, dengan jumlah penduduk yang secara potensial sudah siap memasuki satuan-satuan pendidikan.  Makin besar kesenjangan antara jumlah penduduk yang menjadi peserta didik dengan penduduk yang seharusnya memperoleh pendidikan, makin besar pula masalah pemerataan dan akses pendidikan tersebut.
Masalah ini kemudian dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD. Maka mereka memiliki bekal dasar berupa kemampuan membaca menulis, dan berhitung. Sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajuan melalui berbagai media masa dan sumber belajar yang tesedia, baik, mereka nantinya berperan sebagai produser dan konsumen. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan.
Namun, kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
Permasalahan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :
a.         Kondisi sosial ekonomi keluarga.
b.        Kondisi fisik dan mental calon peserta didik.
c.         Kondisi tempat pendidikan yang tersedia.
d.        Tingkatan aspirasi masyarakat tentang peranan dan pentingnya pendidikan bagi kehidupan.
e.         Daerah jangkauan satua pendidikan.
Hal ini kemudian menghadapkan pemerintah kepada tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak masyarakat memperoleh pendidikan, dalam hal ini melakukan pemerataan kesempatan dan akses pendidikan keseluruh pelosok negeri ini.
Langkah-langkah kongkrit pun telah di upayakan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah ini.  salah satunya adalah Kebijakan pembangunan pendidikan pada tahun 2007 mencakup diantaranya adalah mengenai pemerataan dan perluasan akses pendidikan, dimana  mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.  Selain itu, ada pula kebijakan pemberian beasiswa kepada siswa tidak mampu dan program BOS atau Bantuan Operasional Sekolah untuk pendidikan dasar.  Tetapi kebijakan-kebijakan tersebut dipandang belum mampu mengatasi masalah pemerataan dan akses pendidikan di Indonesia.

2.         Peningkatan mutu

Sebagai komitmen terhadap mutu pendidikan, pemerintah merancang  sistem penjaminan mutu pendidikan (SPMP). SPMP dituangkan dalam Permendiknas No. 63 tahun 2009. Dalam Permendiknas tersebut dinyatakan bahwa “Penjaminan mutu adalah serangkaian proses dan sistem yang terkait untuk mengumpulkan , menganalisis, dan melaporkan data mutu tentang  kinerja staf, program, dan lembaga” . 
Namun, hal tersebut tidak serta merta mengubah keadaan mutu pendidikan di Indonesia.  Pada kenyataannya mutu pendidikan di Indonesia justru makin memprihatinkan.  Hal ini berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia di Indonesia yang sama sekali tidak dapat diandalkan untuk pembangunan.
Terdapat beberapa penyebab mengapa mutu pendidikan di Indonesia, baik pendidikan formal maupun informal, dinilai rendah. Penyebab rendahnya mutu pendidikan  di Indonesia adalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran.

a.       Efektifitas Pendidikan di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia  sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey kelapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.

b.      Efisiensi Pengajaran di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di  indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, lamanya waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumberdaya manusia Indonesia yang lebih baik.

c.       Standarisasi Pendidikan di Indonesia
Dunia pendidikan terus berubah. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus-menerus berubah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam era globalisasi. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan harus lah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal  terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan di ukur oleh standar dan kompetensi di dalam berbagai versi sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standarisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).  Tinjauan terhadap standarisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya memunculkan bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekan oleh standar kompetensi saja sehingga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut. Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaimana agar  mencapai standar pendidikan, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang  diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofersi misalnya, adanya sistem evaluasi seperti UAN sebenarnya sangat baik, namun yang disayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya seorang siswa mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalui siswa tersebut yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti.  Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

3.         Relevansi pendidikan

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tugas pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia yang baik untuk menunjang pembangunan.  Proses ini tentu berkaitan erat dengan relevansi pendidikan di indonesia.
Secara umum, arti dari relevansi adalah kecocokan. Relevan adalah bersangkut paut, berguna secara langsung (kamus bahasa Indonesia). Relevansi berarti kaitan, hubungan (kamus bahasa Indonesia).  Itu berarti, Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan output atau sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat secara langsung berguna dalam proses pembangunan.  Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang aktual (yang tersedia) maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi dianggap tinggi.
Masalah relevansi ini terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan diatasnya.  Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
Permasalahan relevansi pendidikan di Indonesia tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
a.         Ketersediaan lapangan pekerjaan dalam masyarakat.
b.        Perkembangan dan perubahan yang cepat dalam jenis dan tugas pekerjaan.  Jenis dan tugas-tugas tenaga pekerjaan dalam masyarakat tidaklah tetap, tetapi berubah, yang tidak jarang tidak dapat diikuti oleh lembaga pendidikan.
c.         Mutu dan perolehan tamatan yang dihasilkan sekolah tidak dapat memenuhi harapan dan kebutuhan dunia kerja.  Mutu tamatan yang dibawah standar yang jumlah yang kurang atau berlebihan merupakan masalah inti relevansi pendidikan.  

4.         Efisiensi dan sistem manajemen pendidikan

Kata Manajemen berasal dari bahasa Perancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.  Secara umum dikatakan manajemen merupakan proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfatan sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya. (George R. Terry, 1997).
Manajemen pendidkan merupakan proses pengembangan kegiatan kerjasama kelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.  Sehingga dapat dikatakan bahwa masalah manajemen pendidikan berkaitan dengan bagaimana seharusnya sistem pendidikan diatur agar dapat menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Sedangkan, Masalah efisiensi pendidikan berkenaan dengan proses pengubahan atau transformasi masukan produk (raw input) menjadi produk (output). Salah satu cara menentukan mutu transformasi pendidikan adalah mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikan (educational wastage), dalam arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yang putus sekolah, meng-ulang atau selesai tidak tepat waktu.
Masalah efisiensi pendidikan tidak lepas dari masalah sistem manajemen pendidikan, sistem yang tidak sesuai dengan potensi seorang mahasiswa tentu akan menjadikan mahasiswa tersebut gagal menjadi sumber daya manusia yang dapat diandalkan dan pada akhirnya pendidikan tersebut menjadi tidak efisien.  Masalah efisiensi pendidikan dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu :

a.         Tenaga kependidikan, terutama mutu tenaga pengajar
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

b.        Rendahnya Kesejahteraan Pengajar
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).

c.         Sarana/prasarana pendidikan.
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

d.        Kurikulum.
e.         Program belajar dan pembelajaran
f.         Peserta didik.
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

g.        Mahalnya biaya pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

C.      Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Meskipun keempat masalah pendidikan seperti yang telah dikemukakan  tersebut dapat dibedakan satu sama lain, namun dalam kenyataan pelaksanaan pendidikan dilapangan masalah-masalah tersebut saling berkaitan.  Pada saat upaya pemerataan pendidikan sedang dilancarkan, maka pada saat yang sama mutu pendidikan belum dapat diwujudkan, malah sering ditelantarkan.
Bertolak dari gambaran tersebut terlihat juga kaitannya dengan masalah efisiensi.  Karena kondisi pelaksanaan pendidikan tidak sempurna, seperti telah digambarkan maka dengan sendirinya pelaksanaan pendidikan dan khususnya proses pembelajaran berlangsung tidak efisien. Tentu dengan proses yang tidak efisien akan menghasilkan luaran yang sesuai dengan tuntutan persyaratan kerja dilapangan.
Dengan adanya keterkaitan antara satu permasalahan dengan permasalahan pendidikan yang lain, tentu kita dapat melakukan strategi pemecahan masalah yang mencakup keseluruhan masalah.  Yang mana pemecahan masalah yang dapat ditawarkan demi mengatasi permasalahan pendidikan diantaranya, yang pertama adalah adanya partisipasi dari semua pihak, dalam hal ini adanya komitmen dari semua pihak terkait. Tenaga pendidik meningkatkan kualitas pengajarannya, Sekolah meningkatkan perannya sebagai ujung tombak penjaminan mutu pendidikan dan Instansi terkait lainnya menjalankan peran sesuai wewenangnya masing-masing. Hal tersebut bukan sebuah pekerjaan yang semudah membalikkan telapak tangan, tetapi membutuhkan kerja keras dan usaha. Karena tidak akan ada artinya ketika sistem sudah baik tetapi SDM yang ada tidak memiliki komitmen untuk mencapai mutu.
Setelah semua pihak melaksanakan perannya dengan baik, solusi yang kedua adalah solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.  Yakni, dengan melakukan pemerataan akses pendidikan hingga ke pelosok negeri, meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Kemudian yang ketiga adalah  meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan guru sebagai tenaga kependidikan. Profesi guru harus memiliki dan menguasai perencanaan kegiatan belajar mengajar, melaksanakan kegiatan yang direncanakan dan melakukan penilaian terhadap hasil dari proses belajar mengajar. Kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran merupakan faktor utama dalam mencapai tujuan pengajaran. Keterampilan merencanakan dan melaksanakan proses belajar mengajar ini sesuatu yang erat kaitannya dengan tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar yang mendidik.
Dan yang terakhir adalah menerapkan sistem pendidikan berbasis life skill dan pengembangan learn how to learn. Para peserta didik tidak hanya dibekali dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia usaha, tetapi juga dibekali dengan berbagai life skill dan nilai-nilai hidup dengan jiwa entrepeneur supaya mereka bisa survive di zaman global ini.
Life skill yang dikembangkan mencakup 9 (sembilan) dimensi yaitu : (1) communication skills, (2) numeracy skills, (3) information skills, (4) problem solving skills, (5) self management and competitive skills, (6) social dan co-operation skills, (7) physical skills dan (8) work and study skills, serta (9) attitude and values.  Sistem ini bukan hanya menjadi tanggungjawab staff pengajar  agama, etika profesi dan kewarganegaraan saja, tetapi merupakan tanggung jawab semua staff pengajar, sehingga nilai akhir yang diberikan kepada siswa didalamnya sudah mencakup nilai dari beberapa dimensi life skill. Dengan demikian staff pengajar dituntut untuk melakukan kajian-kajian terhadap materi pembelajaran yang akan diberikan kepada warga belajar yang ada relevansinya dengan aspek–aspek life skill. Dan secara personal staff pengajar juga di tuntut untuk mampu menjadi ‘pigur’ yang layak menjadi tauladan bagi anak didiknya.
Pembelajaran yang dikembangkan adalah pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Menyenangkan, dan Berkelanjutan (PAKEMB) dengan konsep learn how to learn, yang mencakup 4 (empat) dimensi, yaitu learn to know, learn to be, learn to do, dan learn to life together.
Learn to know,  yaitu hasil belajar yang dimanfaatkan untuk memahami kenyataan sosial dan belajar lebih lanjut guna meningkatkan profesionalisme.  Learn to be, yaitu hasil belajar dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari seperti etos kerja dan sopan santun / etika baik di lingkungan masyarakat maupun di tempat kerja. Learn to do, yaitu hasil belajar dimanfaatkan untuk bekerja, baik kerja mandiri (wirausaha) maupun kerja sebagai karyawan di perusahaan. Learn to life together, yaitu hasil belajar yang dimanfaakan untuk hidup lebih baik dengan lingkungan sekitar, mandiri dan produktif, yaitu manusia penuh manfaat sesuai dengan hakikat manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Selain itu, solusi-solusi lain dari permasalahan pendidikan di Indonesia yaitu dengan:
·           Pertama solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
·           Kedua solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
























BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersenut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Masalah pokok pendidikan yang perlu diprioritaskan penanggulangannya.  Masalah yang dimaksud adalah : Masalah pemerataan kesempatan dan akses pendidikan, Masalah peningkatan mutu, Masalah relevansi pendidikan, dan Masalah Efisiensi dan system manajemen pendidikan.
2.      Permasalahan pendidikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya :  Kondisi sosial ekonomi keluarga, Efektifitas Pendidikan di Indonesia, Efsiensi Pengajaran di Indonesia, Standarisasi Pendidikan di Indonesia, Mutu dan perolehan tamatan yang dihasilkan sekolah tidak dapat memenuhi harapan dan kebutuhan dunia kerja, dan Tenaga kependidikan, terutama mutu tenaga pengajar.
3.      Dari keempat masalah pendidikan di Indonesia tersebut masing-masing dikatkan teratasi jika pendidikan :
a.         Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar
b.         Dapat mencapai hasil yang bermutu
c.         Dapat terlaksana secara efisien
d.        Produknya yang bermutu tersebut relevan
4.      Solusi pemecahan masalah dari berbagai permasalahan yang melanda pendidikan di Indonesia adalah partisipasi dari semua pihak, dalam hal ini adanya komitmen dari semua pihak terkait. Tenaga pendidik meningkatkan kualitas pengajarannya, Sekolah meningkatkan perannya sebagai ujung tombak penjaminan mutu pendidikan dan Instansi terkait lainnya menjalankan peran sesuai wewenangnya masing-masing.

B.       Saran

Permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.  Rendahnya kulitas pendidikan di Indonesia menyebabkan keterbelakangan Sumber Daya Manusia Indonesia yang pada akhirnya berdampak pada keterlambatan pembangunan di Indonesia.  Hal ini tentu tidak di inginkan, oleh karena itu marilah kita bersama-sama mengaasi berbagai permasalahan yang terjadi.  Sehingga Negara Indonesia tidak selamanya menjadi follower perkembangan bangsa lain.





DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu.  1991.  Ilmu pengantar pendidikan.  Jakarta : Rineka Cipta.
Abu ihsan, manto.  Masalah pendidikan di Indonesia penyebab dan solusinya. April 2011. Diakses melalui www.mantoakg.blogspot.com pada 23 februari 2012.
Abuud.  DATA PENGANGGURAN DI INDONESIA TAHUN 2005-2010.  12 Mei 2011. Di akses melalui www.abuud.blogspot.com pada 2 maret 2012.
Badan Pusat Statistik.  LAPORAN BULANAN DATA SOSIAL EKONOMI.  Maret 2011.  Diakses melalui  www.bps.go.id/aboutus.php?search=1 pada 2 maret 2012.
Buchori, Mochtar.  1994.  Spektrum problematika pendidikan di Indonesia.  Yogyakarta : Tiara Wacana.
Detiknews.  Buruknya kualitas manusia Indonesia.  21 november 2011. Diakses melalui www.news.detik.com pada 23 februari 2012.
Ebekunt.  Masalah efisiensi, efektifitas, dan relevansi pendidikan dalam perspektif manajemen pendidikan.  14 april 2009. Diakses melalui www.ebekunt.wordpress.com pada 23 februari 2012.
Mudyahardjo, Redja.  2006.  Pengantar pendidikan.   Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang  Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Suyanto dan abbas.  2001.  Wajah dan dinamika pendidikan anak bangsa.   Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Tirtarahardja, umar dan La Sulo.   2005.  Pengantar Pendidikan.  Jakarta : Rineka Cipta
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.sib-bangkok.org.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
http://meilanikasim.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar