BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia mempunyai naluri
ingin bermasyarakat. Keinginan ini ada pada tiap-tiap seorang manusia, tidak
terkecuali satu dari yang lain. Keinginan ini adalah sifat semula jadi padanya,
bukan hasil daripada didikan, ajaran atau latihan. Oleh sebab itu, seseorang
manusia akan merasa runsing, malah kadang-kadang runsing sekali sekiranya dia
hidup sendirian dalam penjara umpamanya, biarpun dia diberi amakn dan minum
yang cukup. Sungguhpun diberi makan, namun masih ada yang masih tiada memuaskan
hatinya, karena dia tidak berada dalam suatu masyarakat. Seleranya pun akan
berkurang. Tetapi kebalikannya, kalau dia makan beramai-ramai seleranya baik
sekali.
Manusia adalah jenis makhluk
yang hidup berkelompok. Hidupnya sangat terikat dengan kelompoknya. Dalam hidup
bermasyarakat, tidak bisa sesuka hati kita melakukan apa yang diinginkan.
Misalkan saja, kita mempunyai keinginan pasangan. Kita tidak boleh melakukan
sesuka hati. Harus mengikuti aturan-aturan yang dibolehkan masyarakat. Selain
itu, misalnya dalam bertingkah laku dan berinteraksi sesama anggota masyarakat,
juga kita harus mengikuti aturan-aturan yang ada dalam masyarakat, serta tidak
keluar dari jalan agama yang kita anut.
Untuk mengatasi
masalah-masalah yang mungkin timbul dari pertentangan keinginan pribadi dengan
kepentingan masyarakat maka diadakannya adat-istiadat, peraturan-peraturan, dan
undang-undang yang bisa dikenal dengan etika, moral dan akhlak.
Sungguhpun ketiganya serupa
bahkan banyak yang mengatakan ketiganya sama, hakikatnya ketiganya berbeda. Tetapi
ketiganya adalah aturan-aturan bagi diri untuk melakukan apa yang diinginkan.
Dengan adanya etika, moral dan akhlak maka tingkah laku yang dilakukan lebih
terarah dan terjaga, sehingga kita dapat hidup nyaman dengan masyarakat
sekitar, masyarakatpun senang dengan kehadiran kita.
Adapun dalam makalah ini,
selain membahas perbedaan antara etika dan moral, juga membahas akhlak dalam
islam yang sedikit lebih mendalam dibandingkan dengan etika dan moral. Ini
dikarenakan ilmu akhlak lebih berhubungan dengan ilmu Islam dibandingkan dengan
yang lainnya.
B.
Rumusan Masalah
Dari penjelasan dalam latar belakang tersebut,
dapat ditarik beberapa masalah, yaitu sebagai berikut.
1.
Apa pengertian etika, moral,
dan akhlak?
2.
Bagaimana karakteristik
akhlak dalam Islam?
3.
Bagaimana hubungan Tasawuf
dengan akhlak?
4.
Bagaimana aktualisasi akhlak
dalam kehidupan sehari-hari?
5.
Dan bagaimana aturan
pergaulan dan pakaian dalam akhlak Islam?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini ialah sebagai
berikut.
1.
Mengetahui pengertian etika,
moral, dan akhlak;
2.
Memahami karakteristik
akhlak dalam Islam;
3.
Mengetahui hubungan Tasawuf
dengan akhlak;
4.
Mengetahui aktualisasi
akhlak dalam kehidupan sehari-hari; dan
5.
Mengetahui aturan pergaulan
dan pekaian dalam akhlak Islam.
D.
Manfaat
Manfaat dari dibuatnya makalh ini yaitu:
1.
Untuk pembaca dapat menambah
pengetahuan mengenai etika, moral dan akhlak. Dapat dijadikan dasar ataupun
acuan dalam bertingkah lakku sehari-hari dalam bergaul dan bermasyarakat.
2.
Untuk penulis, selain
menambah wawasan dan menyelesaikan tugas, juga menjadi batsan atau
aturan-aturan dalam bertingkah laku di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika, Moral dan Akhlak
1. Etika
Etika
berasal dari bahasa yunani “ethos” yang artinya adat kebiasaan. Moral juga
berasal dari bahasa
yunani “mores” yang berarti adat kebiasaan. Etika dan moral merupakan sebuah
pranata prilaku seseorang atau sekelompok orang yang tersusun dari suatu sistem
nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiah kelompok masyarakat
tersebut. Standar baik dan buruk menurut etika adalah akal manusia. Sedangkan
standar baik buruk menurut moral berdasarkan adat istiadat sekelompok
masyarakat. Oleh karena itu rumusan etika dan moral bersifat lokal dan
temporal.
Adapun
arti etika dari segi istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan
sudut pandangnya. Ahmad Amin
misalnya mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[1]
Selanjutnya
Soegarda
Poerbakawatja
mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, serta
berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
Etika
merupakan bagian dari filsafat yang menginginkan tentang keluhuran budi dengan
mendorong manusia untuk menggunakan akal budi dan daya pikirnya agar dia
menjadi baik sejalan dengan kaidah, hukum dan aturan yang ditetapkan.
Kemudian
dalam bahasan yang sama Asmaran
As mengemukakan etika adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik atau
buruk. Sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah akal pikiran manusia.
Antara
etika dan moral juga terdapat perbedaan. Etika lebih bersifat kajian ilmu dan
filsafat (teoritis), sedangkan moral lebih bersifat praktis. Kajian etika lebih
bersifat umum dari kajian moral.
Etika dalam Islam, banyak orang tidak menyadari bahwa
etika atau ilmu akhlak ada hubungannya dengan Falsafah. Malah dia adalah bagian
dari falsafah itu sendiri. Menurut Aristotle, ada kebaikan yang dapat dicapai
dengan membiasakan dan latihan, dan ada pula yang dapat dicapai dengan
diajarkan. Yang dapat dicapai dengan pembiasaan dan latihan itu menghasilkan
kebahagiaan juga, tetapi kebahagiaan peringkat kedua. Sedangkan yang tertinggi
adalah dapat dicapai dengan diajarkan, yaitu kebaikan yang dapat dicapai dengan
semata-mata berfikir. Berfikir untuk mencapai hakikat.[2]
Pokok persoalan Etika ialah segala perbuatan yang
timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui
waktu melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum “baik
dan buruk”, demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak,
tetapi dapat diikhtiarkan penajagaan sewaktu sadar. Adapun yang timbul bukan
dengan kehendak, dan tiada dapat dijaga sebelumnya, maka ia bukan pokok persoalan
Etika.
Tujuan Etika bukan hanya mengetahui pandangan
(theory), bahkan setengah dari tujuan-tujuannya, ialah mempengaruhi dan
mendorong kehendak kita, supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan
dan kesempurnaan, dan member faedah kepada sesama manusia. Maka Etika itu ialah
mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil
kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.[3]
2. Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari
bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat
kebiasaan. Didalam kamus umum bahasa indonesia dikatakan bahwa moral adalah
penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.[4]
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai,
kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar,
salah, baik, atau buruk.
Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam the
advanced leaner’s dictionary of current english. Dalam buku ini dikemukakan
beberapa pengertian moral sebagai berikut:
1.
Prinsip-prinsip
yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk
2.
Kemampuan untuk
memahami perbedaan antara benar dan salah
3.
Ajaran atau
gambaran tingkah laku yang baik
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan
moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk
menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal
pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaraan moral tolok ukur yang digunakan
adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dimasyarakat.
Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam
dataran konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul
dalam tingkah laku yang berkembang dimasyarakat. Kedua, kesadaran moral
dapat juga berwujud rasional dan obyektif, yaitu suatu perbuatan yang secara
umum dapat diterima oleh masyarakat. Sebagai hal yang obyektif dan dapat
diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap
waktu dan tempat bagis etiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis.
Dalam masalah rasionalitas kesadaran moral itu, manusia meyakini bahwa akan
sampai pada pendapat yang sama sebagai suatu masalah moral, dengan ketentuan
manusia tersebut bebas dari paksaan dan tekanan, tidak mencari keuntungan
sendiri, tidak berpihak, bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang
berlaku umum, pengetahuan jernih dan pengetahuan yang berdasarkan informasi
yang onyektif. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk
kebebasan. Atas kesadarannya moralnya seseorang bebas untuk mentaatinya. Bebas
dalam menentukan prilakunya dan didalam penentuan itu sekaligus terpampang
nilai manusia itu sendiri.[5]
3.
Akhlak
Akhlak,
secara etimologi berasal dari kata “khalaqa” dan merupakan bentuk jamak
dari “khuluqun” yang berarti perangai, tingkah laku dan tabi’at. Kalimat
tersebut mengandung kesesuaian dengan kata khalqun yang berarti kejadian, juga
erat kaitannya dengan khaliq berarti pencipta dan makhluk yang berarti
diciptakan.
Ini
berarti “akhlak” muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi secara
khalik (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) secara timbal balik yang
kemudian di sebut dengan hablum minallah dari produk hablum minallah yang
vertikal, lahirlah pola hubungan horizontal antara sesama manusia yang disebut
dengan hablum minannas.
Begitu
pun Al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak
adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan
dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan fikiran lebih dahulu.
Sejalan
dengan itu Ahmad
Amin
mengemukakan bahwa akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Jika kehendak itu sudah merupakan
perbuatan yang di ulang-ulang sehingga mudah untuk melakukannya. Hamzah ya’qub
mengemukakan akhlak ialah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk,
antara terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan
bathin. Ibrahim Anis
mengatakan akhlak ialah ilmu yang diobjekkan membahas nilai-nilai yang
berkaitan dengan perbuatan manusia. Farid Ma’ruf
mengatakan akhlak adalah bentuk kehendak jiwa yang mana dapat melakukan
perbuatan yang dilakukan dengan mudah karena kebiasaan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Soegarda Poerbakawatja
mengatakan akhlak adalah budi pekerti, watak, kesusilaan, dan sikap jiwa. M.Abdullah Daraz
mengatakan akhlak adalah bentuk kekuatan dengan kehendak yang mantap, kekuatan berkombinasi
membawa kecendrungan kepada pemilihan pihak yang benar atau pihak yang jahat.[6]
Dari
penjelasan di atas tergambar bahwa akhlak secara substansial adalah sifat hati
(kondisi hati) bisa baik bisa buruk yang tercermin dalam prilaku. Sebaliknya
jika hatinya kotor, maka akan tercermin pula akhlak yang jelek. Lalu muncul
pertanyaan, apa yang menyebab hati manusia kotor dan jelek, dan apa pula yang
menyebabkan hati manusia baik dan bersih?[7]
Menurut
Ibn
Miskawaih,
hati manusia bisa jelek dan rusak atau baik dan suci adalah faktor dirinya.
Didalam diri manusia ada tiga nafsu: (1) nafsu “syahawaniyah”. Nafsu ini ada
pada manusia dan ada pada binatang, yaitu nafsu yang cenderung kepada
kelezatan, misalnya makan, minum dan syahwat kepada lawan jenis. (2) nafsu
“ghadabiyah”, nafsu ini juga ada pada manusia dan binatang, yaitu nafsu yang
cenderung marah, merusak, ambisi, senang menguasai dan mengalahkan yang lain.
(3) nafsu “nathiqah”, yaitu nafsu yang membedakan manusia dengan binatang.
Manusia dengan nafsu ini mampu berfikir, berzikir mengambil hikmah dan memahami
fenomena alam. Dengan nafsu ini manusia menjadi agung, besar cita-citanya,
mampu mengenali dirinya serta bersyukur kepada tuhannya. Nafsu ini pula yang
dapat mengendalikan kedua nafsu lainnya.
Dalam perspektif Islam,
akhlak terkait erat dengan ajaran dan sumber Islam tersebut, yaitu wahyu.
Sehingga sikap dan penilaian akhlak selalu dihubungkan dengan ketentuan syariah
dan aturannya. Tidak bisa diakatakan sikap ini baik atau buruk, jika hanya
bersandar pada pendapat seseorang ataupun kelompok. Karena bisa jadi pendapat
tentang kebaikan dan keburukan sesuatu hal bisa berbeda antara dua orang
ataupun dua kelompok. Perbedaan itulah yang selalu muncul dalam kajian falsafah
masa klasik ataupun modern.
Menurut Amin Abu Lawi,
akhlak dalam perspektif Islam mempunyai nilai samawi yang bersumber dari
Al-Qur’an. Menurutnya, akhlak dapat dimaknai dengan mengacu kepada hokum dan
ketetapan syariah yang lima, yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram,
karena itulah realitas akhlak. Lebih lanjut dijelaskan, bila akhlak berbasis
kepada hukum yang lima, maka klasifikasinya seperti berikut ini: Akhlak wajib,
seperti prilaku jujur, amanah, ikhlas, dan seterusnya; akhlak sunnah seperti
mengucapkan salam, memberi makan dan sedekah; akhlak mubah, seperti bermain dan
bersenda gurau dengan teman; akhlak makruh seperti tidak berinteraksi dengan
masyarakat dan hidup menyendiri; akhlak haram seperti berzina, minum khamaar,
berdusta, berkhianat, mencuri, dan lain sebagainya.
Menurut Mohammad Natsir,
akhlak ibarat tarikan magnet yang dapat menarik terhadap apa saja yang bersifat
logam, yang bermutu tinggi atau rendah. Akhlak juga dapat diibaratkan sumber
tenaga. Sumber tenaga bagi daya tarik itu tidak lagi terletak pada ilmu, dan
tidak pada hikmah. Ilmu dan hikmah hanya pembuka jalan. Sumber tenaganya
sendiri terletak pada akhlak pribadi dari pembawa pesan. Baik atau buruknya
amal perbuatan yang terbit secara spontan itu, tergantung pada baik atau
buruknya akhlak pribadi yang bersangkutan. Lisan
al-hal yang baik dan uswah hasanah
yang menarik hanya bisa terbit dari akhlak yang baik dan mulia, yaitu akhlakul karimah.[8]
B. Karakteristik Akhlak Islam
1. Al-quran dan hadis sebagai sumber
Jika etika menjadikan akal sebagai sumbernya dan
moral menjadikan adat istiadat sebagai sumbernya, tetapi akhlak dalam islam
menjadikan al-quran dan hadis sebagai sumber. Al-quran adalah firman Allah swt
yang kebenarannya bersifat mutlak. Tidak ada satu katapun yang diragukan
didalamnya. Demikian hadis rasulullah juga merupakan sumber hukum islam yang
kedua. Dengan demikian kebenaran aturan akhlak bersifat mutlak.[9]
Ayat-ayat
Al-Qur’an sangat membangun karakter akhlak. Beberapa diantaranya adalah
pengarahan agar umat manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa
surah dan ayat, seperti QS At-Taubah: 119 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar.”
Al-Qur’an
sendiri melakukan proses pendidikan melalui latihan-latihan baik formal maupun
nonformal. Pendidikan akhlak ini merupakan sebuah proses mendidik, memelihara,
membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir yang
baik. Karena itu, kedudukan akhlak dalam Al-Qur’an sangat penting, sebab
melalui ayat-ayat-Nya Al-Qur’an berupaya membimbing dan mengajak umat manusia
untuk berakhlakul karimah. Melalui pendidikan akhlak ini, manusia dimuliakan
oleh Allah dengaan akal, sehingga manusia mampu mengemban tugas kekhalifahan
dengan akhlak yang benar.[10]
2. Bersifat umum dan universal
Ajaran akhlak yang terdapat dalam al-quran bersifat
umum dan universal., artinya dimanapun dan kapanpun masih berlaku dan up to
date. Hal ini disebabkan aturan yang bersifat umum dan prinsipal, antara lain
tent5ang keadilan, berbuat kebajikan, melarang perbuatan keji, munkar dan
permusuhan. Seruan untuk meemnuhi janji dan mengalokasikan harta anak yatim
secara benar. (Q.S Al-isra’n :34). Ada juga larangan untuk saling mencela, saling
memeberi gelar buruk (Q.S Al-hujarat). Demikian juga berlaku sombong dan angkuh
(Q.S Luqman:18-19).
34.
dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggung jawabnya. (Q.S Al-isra’ 34)
18.
dan janganlahkamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
jangan lah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membagakan diri.
19.
dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S Luqman: 18-19)
3. Bersifat menyeluruh
Akhlak dalam islam menyangkut seluruh sisi kehidupan
muslim meliputi akhlak kepada Allah, Rasul, sesama manusia dan terhadap
lingkungan.
4. Konsisten dalam cara dan tujuan
Antara satu ajaran dengan ajaran lainnya tetap ada
konsistensi. Sekali perkara itu baik, pada ayat-ayat berikutnya akan dikatan
baik. Demikian juga sebaliknya sekali perkara itu dikatakan buruk, tetap akan
buruk.
5. Berpangkal pada iman dan taqwa kepada Allah SWT
Seorang muslimdalam melaksanakan akhlak berdasarkan
atas iman dan taqwa kepada Allah swt. Iman yang kuat akan melahirkan akhlak
yang mulia. Kebobrokan akhlak yang terjadi merupakan pertanda kerapuhan iman.
Iman adalah
kebaikan yang tertinggi dalam Islam. Ilmu adalah jalan kepadanya. Soal-soal
akhlak atau etika yang biasa diketahui orang, seperti berani, jujur, adil dan
sebagainya memang penting. Tetapi dari segala segi ilmiah hal-hal itu adalah
taraf kedua dalam etika Islam. Ada dua perkara yang keliru ketika
mempertimbangkan akhlak. Pertama, tidak memulai dari kebaikan yang tertinggi
ini.
Kedua, soal
berani, jujur dan adil dan sebagainya, yang selalu kita rasa termasuk dalam
bidang akhlak atau etika, selalu pula hanya diajarkan, tidak di didikkan,
dilatih dan dibiasakan. Kita ajarkan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah.
Pada hal Aristotle sendiri menyebut, bahwa
kebaikan-kebaikan taraf kedua ini mesti dididikkan, bukan diajarkan.
Kita harus biasakan anak-anak sejak kecil menetapinya. Sehingga menjadi sifat
yang sudah tertanam benar-benar, seakan-akan sifat semula jadi. Baik Aristotle
maupun ulama-ulama Islam menyebuut, bahwa sifat yang tertanam sehingga sebagai
sifat semua jadi itulah yang disebut khuluk. Seseorang dapat melaksanakan
perbuatan-perbuatannya dengan mudah. Kalau tidak demikian, dia belum disebut
mempunyai akhlak. Kita gelisah kalau ada anak-anak yang tidak mempunyai akhlak
yang baik, tetapi kita tidak berusaha menanamnya sejak kecil.
6. Akhlak yang mulia menjanjikan balasan dari Allah SWT
Karena akhlak mulia dilandasi dengan keimanan kepasa
Allah
swt, maka semua yang dilakukan akan mendapat balasan dari allah. Kebaikan yang
ditanam, akan menghasilkan kebaikan disisi allah swt.
7. Sesuai dengan fitrah yang bersih
Akhlak yang terdapat dalam aturan-aturan islam pada dasar nya sesuai dengan fitrah
manusia. Kcendrungan fitrah manusia untuk mencari kebenaran memperkukuh aturan
akhlak yanfg mengajarkan kebaikan dan melarang keburukan.
C. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Tasawuf adalah proses pendekatan
diri kepada tuhan (Allah) dengan cara mensucikan hati. Hati yang suci bukan
hanya bisa dekat dengan tuhan malah bisa melihat tuhan (al-ma’rifah). Dalam
tasawuf disebutkan bahwa allah yang maha suci tidak bisa didekati kecuali oleh
hati yang suci.
Seperti
yang telah dijelaskan bahwa akhlak adalah gambaran hati (al-qalb) yang dari
padanya timbul perbuatan-perbuatan. Jika hatinya suci dan bersih, maka yang
akan keluar adalah perbuatan-perbuatan yang baik (akhlak mahmudah). Sebaliknya
jika hatinya kotor dan penuh dosa, maka yang akan muncul adalah
perbuatan-perbuatan yang buruk (akhlak mazmumah).
Persoalannya
kemudian adalah bagaimana menyucikan hati dalam tasawuf? Menurut pendapat para
sufi ada beberapa hal yang harus dilakukan: (1) ijtinab al-manhiyyat (menjauhi
larangan tuhan), (2) ada’ al-wajibat (melaksanakan kewajiban), (3) ada’
al-nafilat (melakukan hal-hal yang sunat) dan (4) riyadhah (latihan spiritual
seperti yang diajarkan rasul).
Kemaksiatan
dapat mengakibatkan hati manusia kotor, kelam dan berkarat sehingga hati
menjadi tidak berfungsi malah mati. Pendapat para sufi, keadaan hati itu ada
tiga macam: (1) hati yang mati yaitu hati orang kafir, (2) hati yang hidup
yaitu hati orang beriman dan (3) hati orang yang kadang-kadang hidup dan kadang
mati yaitu hati orang-orang fasiq dan munafiq.
Ketika
rasulullah ditanya tentang perbedaan mukmin dan munafik. Rasul menjawab, oerang
mukmin keseriusannya dalam shalat, puasa dan ibadah. Sedangkan orang yang
munafik keseriusannya dalam makan dan minum layaknya binatang.
Dengan
demikian jelaslah orang yang berakhlak mulia adalah gambaran orang yang
betul-betul beriman kepada allah swt. Akhlak merupakan gambaran iman. Karena
akhlak bersumber dari hati, maka untuk menciptakan akhlak yang baik, terlebih
dahulu hati harus dibersihkan.
D. Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Akhlak kepada Allah SWT
a. Beribadah
kepada allah sebagai bukti ketundukan dan kepatuhan kepadanya
b. Al-hubb,
mencintai allah melebihi cinta kepada apapun
c. Berzikir,
yaitu selalu mengingat allah dalam semua kondisi dan situasi, baik diucapkan
dengan mulut maupun dalam hati.
d. Berdo’a
kepada allah, yaitu m,emohon apa saja kepada allah.
e. Bertaubat,
sikap menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukan.
f. Tawakkal
kepada allah, berserah diri sepenuhnya kepada allah setelah melakukan usaha
secara maksimal
g. Tawadhu’
kepada allah, merasa rendah hati dihadapan allah. Mengakui bahwa dirinya rendah
dan hina dihadapan allah yang maha kuasa
h. Bersyukur,
berterima kasih kepada allah atas segala nikmat yang diberikannya dengan cara
memanfaatkan nikmat tersebut dijalan allah serta meningkatkan ibadah kepada
nya.
i.
Ridha dan ikhlas
terhadap segala keputusan allahg, menjauhkan diri dari riya’.
2. Akhlak kepada Rasulullah
a. Mencintai
rasulullah secara tulus dan mengikuti semua sunnahnya
b. Menjadikan
rasulullah sebagai idola, suri teladan dalam kehidupan
c. Melakukan
apa yang disuruhnya dan meninggalkan apa yang dilarangnya
3.
Akhlak
kepada Ibu
Bapak
a. Mencintai
dan menyayangi ibu bapak
b. Bertutur
kata soapan dan lemah lembut
c. Mentaati
segala perintahnya selama tidak bertentangan dengan ajaran agama
d. Menyantuni
mereka jika udah tua
e. Mendoakan
keduanya, baik ketika masih hidup apalagi setelah meninggal dunia
f. Meneruskan
silahturahmi dengan kerabat ibu bapak
4. Akhlak kepada Sesama Manusia
a. Saling
hormat menghormati dan bersikap sopan santun
b. Saling
bantu membantu
c. Saling
nasehat menasehati
d. Suka
memaafkan
5. Akhlak kepada Diri Sendiri
a. Menjaga
kesucian diri dan tidak menzalimi diri sendiri
b. Menjaga
kesehatan diri
c. Memperhatikan
hak-hak diri baik secara fisik maupun psikis
d. Sabar
dan pengendalian diri
6. Akhlak
kepada Lingkungan
a. Kemakmuran
bumi dan mengelola sumber daya alam
b. Tidak
membuat kerusakan dimuka bumi
E. Pergaulan dan Pakaian dalam Islam
Islam
sebagai agama membawa kemaslahatan memberikan batasan dalam pergaulan antara
lain:
a. Menjaga
pandangan mata dari melihat lawan jenis secara berlebihan
b. Tidak
berdua-duaan antara proia dengan wanita yang bukan muhrim, karena hal ini
sangat rawan terhadap godaan syeitan yang memang selalu menggoda manusia
c. Tidak
bersentuhan kulit antara pria dan wanita yang bukan muhrim
d. Tidak
berbaur antara pria dan wanita di suatu tempat
Dengan
demikian jelaslah bahwa laki-laki dan perempuan harus menjaga batasan dalam
pergaulan agar tidak terjadi perzinahan. Allah swt berfirman dalam al-quran
yang artinya “janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu amat keji
dan seburuk-buruk jalan”
Adapun kriteria
pakaian-pakaian muslimah (pakaian taqwa) adalah:
a. Menutupi
seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
b. Tidak
ketat sehingga masih menampakkan bentuk tubuh yang ditututpi.
c. Tidak
tipis sehingga warna kulit masih bisa dilihat.
d. Tidak
menyerupai pakaian laki-laki. Diriwayatkan oleh abuhurairah ia berkata:
rasulullah SAW melaknat seorang laki-laki yang menyerupai perempuan dan
perempuan yang menyerupai laki-laki.
e. Dipakai
tidak dengan maksud memamerkan dan untuk menarik perhatian orang.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Etika
adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat. Standar
baik dan buruk menurut etika adalah akal manusia.
Selanjutnya moral dalam
arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas
dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat
dikatakan benar, salah, baik, atau buruk. Standar baik buruk menurut moral
berdasarkan adat istiadat sekelompok masyarakat.
Akhlak
adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan fikiran lebih
dahulu. Akhlak terkait
erat dengan ajaran dan sumber Islam tersebut, yaitu wahyu. Sehingga sikap dan
penilaian akhlak selalu dihubungkan dengan ketentuan syariah dan aturannya.
Karakteristik akhlak Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber,
bersifat umum dan universal, menyeluruh, konsisten dalam cara dan tujuan,
berpangkal pada iman dan taqwa kepada Allah SWT, akhlak yang mulia menjanjukan
balasan dari Allah SWT, dan sesuai dengan fitrah yang bersih.
B. Saran
Saran yang dapat kami berikan sebagai tim penulis dan penyusunan makalh
ini, yaitu agar materi etika dan moral yang ada dalam makalah ini dapat
dikembangkan lebih lanjut. Serta para pembaca dapat mengaktualisasikan
akhlak-akhlak terpuji yang telah dijelaskan dalam makalah ini dalam kehidupan
sehari-hari sebagai salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Armin, Ahmad. 1995. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta : Bulan Bintang.
Bakhtiar, Nurhasanah. 2013. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Lintang,
Muchtar. 1976. Kuliah Islam tentang Etika dan Keadilan Sosial. Jakarta : Bulan
Bintang.
Nata, Abuddin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Nasrul. 2015. Akhlak
Tasawuf. Yogyakarta : Aswaja Pressindo.
Syafri,
Ulil Amri. 2014. Pendidikan Karakter
berbasis Al-Qur’an. Jakarta : Rajawali Press.
[2] Muchtar
Lintang, Kuliah Islam tentang Etika dan Keadilan Sosial,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 35.
[8] Ulil Amri
Syafri, Pendidikan Karakter berbasis
Al-Qur’an, ( Jakarta : Rajawali Press, 2014), hlm. 74-78.
[10] Ulil Amri
Syafri, Pendidikan Karakter berbasis
Al-Qur’an, ( Jakarta : Rajawali Press, 2014), hlm. 65.
[11]Nurhasanah bakhtiar, pengantar studi islam, (yogyakarta:
aswaja pressindo, 2013), hlm. 69.
0 komentar:
Posting Komentar