Jumat, 25 November 2016

Metodologi Studi Islam BAB Etika, Moral, dan Akhlak



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia mempunyai naluri ingin bermasyarakat. Keinginan ini ada pada tiap-tiap seorang manusia, tidak terkecuali satu dari yang lain. Keinginan ini adalah sifat semula jadi padanya, bukan hasil daripada didikan, ajaran atau latihan. Oleh sebab itu, seseorang manusia akan merasa runsing, malah kadang-kadang runsing sekali sekiranya dia hidup sendirian dalam penjara umpamanya, biarpun dia diberi amakn dan minum yang cukup. Sungguhpun diberi makan, namun masih ada yang masih tiada memuaskan hatinya, karena dia tidak berada dalam suatu masyarakat. Seleranya pun akan berkurang. Tetapi kebalikannya, kalau dia makan beramai-ramai seleranya baik sekali.
Manusia adalah jenis makhluk yang hidup berkelompok. Hidupnya sangat terikat dengan kelompoknya. Dalam hidup bermasyarakat, tidak bisa sesuka hati kita melakukan apa yang diinginkan. Misalkan saja, kita mempunyai keinginan pasangan. Kita tidak boleh melakukan sesuka hati. Harus mengikuti aturan-aturan yang dibolehkan masyarakat. Selain itu, misalnya dalam bertingkah laku dan berinteraksi sesama anggota masyarakat, juga kita harus mengikuti aturan-aturan yang ada dalam masyarakat, serta tidak keluar dari jalan agama yang kita anut.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul dari pertentangan keinginan pribadi dengan kepentingan masyarakat maka diadakannya adat-istiadat, peraturan-peraturan, dan undang-undang yang bisa dikenal dengan etika, moral dan akhlak.
Sungguhpun ketiganya serupa bahkan banyak yang mengatakan ketiganya sama, hakikatnya ketiganya berbeda. Tetapi ketiganya adalah aturan-aturan bagi diri untuk melakukan apa yang diinginkan. Dengan adanya etika, moral dan akhlak maka tingkah laku yang dilakukan lebih terarah dan terjaga, sehingga kita dapat hidup nyaman dengan masyarakat sekitar, masyarakatpun senang dengan kehadiran kita.
Adapun dalam makalah ini, selain membahas perbedaan antara etika dan moral, juga membahas akhlak dalam islam yang sedikit lebih mendalam dibandingkan dengan etika dan moral. Ini dikarenakan ilmu akhlak lebih berhubungan dengan ilmu Islam dibandingkan dengan yang lainnya.

B.     Rumusan Masalah
Dari penjelasan dalam latar belakang tersebut, dapat ditarik beberapa masalah, yaitu sebagai berikut.
1.      Apa pengertian etika, moral, dan akhlak?
2.      Bagaimana karakteristik akhlak dalam Islam?
3.      Bagaimana hubungan Tasawuf dengan akhlak?
4.      Bagaimana aktualisasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari?
5.      Dan bagaimana aturan pergaulan dan pakaian dalam akhlak Islam?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini ialah sebagai berikut.
1.      Mengetahui pengertian etika, moral, dan akhlak;
2.      Memahami karakteristik akhlak dalam Islam;
3.      Mengetahui hubungan Tasawuf dengan akhlak;
4.      Mengetahui aktualisasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari; dan
5.      Mengetahui aturan pergaulan dan pekaian dalam akhlak Islam.








D.    Manfaat
Manfaat dari dibuatnya makalh ini yaitu:
1.      Untuk pembaca dapat menambah pengetahuan mengenai etika, moral dan akhlak. Dapat dijadikan dasar ataupun acuan dalam bertingkah lakku sehari-hari dalam bergaul dan bermasyarakat.
2.      Untuk penulis, selain menambah wawasan dan menyelesaikan tugas, juga menjadi batsan atau aturan-aturan dalam bertingkah laku di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Etika, Moral dan Akhlak
1.      Etika
Etika berasal dari bahasa yunani “ethos” yang artinya adat kebiasaan. Moral juga berasal dari bahasa yunani “mores” yang berarti adat kebiasaan. Etika dan moral merupakan sebuah pranata prilaku seseorang atau sekelompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiah kelompok masyarakat tersebut. Standar baik dan buruk menurut etika adalah akal manusia. Sedangkan standar baik buruk menurut moral berdasarkan adat istiadat sekelompok masyarakat. Oleh karena itu rumusan etika dan moral bersifat lokal dan temporal.
Adapun arti etika dari segi istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ahmad Amin misalnya mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[1]
Selanjutnya Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
Etika merupakan bagian dari filsafat yang menginginkan tentang keluhuran budi dengan mendorong manusia untuk menggunakan akal budi dan daya pikirnya agar dia menjadi baik sejalan dengan kaidah, hukum dan aturan yang ditetapkan.
Kemudian dalam bahasan yang sama Asmaran As mengemukakan etika adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik atau buruk. Sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah akal pikiran manusia.
Antara etika dan moral juga terdapat perbedaan. Etika lebih bersifat kajian ilmu dan filsafat (teoritis), sedangkan moral lebih bersifat praktis. Kajian etika lebih bersifat umum dari kajian moral.
Etika dalam Islam, banyak orang tidak menyadari bahwa etika atau ilmu akhlak ada hubungannya dengan Falsafah. Malah dia adalah bagian dari falsafah itu sendiri. Menurut Aristotle, ada kebaikan yang dapat dicapai dengan membiasakan dan latihan, dan ada pula yang dapat dicapai dengan diajarkan. Yang dapat dicapai dengan pembiasaan dan latihan itu menghasilkan kebahagiaan juga, tetapi kebahagiaan peringkat kedua. Sedangkan yang tertinggi adalah dapat dicapai dengan diajarkan, yaitu kebaikan yang dapat dicapai dengan semata-mata berfikir. Berfikir untuk mencapai hakikat.[2]
Pokok persoalan Etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum “baik dan buruk”, demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan penajagaan sewaktu sadar. Adapun yang timbul bukan dengan kehendak, dan tiada dapat dijaga sebelumnya, maka ia bukan pokok persoalan Etika.
Tujuan Etika bukan hanya mengetahui pandangan (theory), bahkan setengah dari tujuan-tujuannya, ialah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita, supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan, dan member faedah kepada sesama manusia. Maka Etika itu ialah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.[3]

2.      Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Didalam kamus umum bahasa indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.[4]
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam the advanced leaner’s dictionary of current english. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut:
1.      Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk
2.      Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah
3.      Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaraan moral tolok ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dimasyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam dataran konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang dimasyarakat. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan obyektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat. Sebagai hal yang obyektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagis etiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Dalam masalah rasionalitas kesadaran moral itu, manusia meyakini bahwa akan sampai pada pendapat yang sama sebagai suatu masalah moral, dengan ketentuan manusia tersebut bebas dari paksaan dan tekanan, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak berpihak, bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku umum, pengetahuan jernih dan pengetahuan yang berdasarkan informasi yang onyektif. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Atas kesadarannya moralnya seseorang bebas untuk mentaatinya. Bebas dalam menentukan prilakunya dan didalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.[5]

3.      Akhlak
Akhlak, secara etimologi berasal dari kata “khalaqa” dan merupakan bentuk jamak dari “khuluqun” yang berarti perangai, tingkah laku dan tabi’at. Kalimat tersebut mengandung kesesuaian dengan kata khalqun yang berarti kejadian, juga erat kaitannya dengan khaliq berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan.
Ini berarti “akhlak” muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi secara khalik (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) secara timbal balik yang kemudian di sebut dengan hablum minallah dari produk hablum minallah yang vertikal, lahirlah pola hubungan horizontal antara sesama manusia yang disebut dengan hablum minannas.
Begitu pun Al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan fikiran lebih dahulu.
Sejalan dengan itu Ahmad Amin mengemukakan bahwa akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Jika kehendak itu sudah merupakan perbuatan yang di ulang-ulang sehingga mudah untuk melakukannya. Hamzah ya’qub mengemukakan akhlak ialah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan bathin. Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang diobjekkan membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Farid Ma’ruf mengatakan akhlak adalah bentuk kehendak jiwa yang mana dapat melakukan perbuatan yang dilakukan dengan mudah karena kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Soegarda Poerbakawatja mengatakan akhlak adalah budi pekerti, watak, kesusilaan, dan sikap jiwa. M.Abdullah Daraz mengatakan akhlak adalah bentuk kekuatan dengan kehendak yang mantap, kekuatan berkombinasi membawa kecendrungan kepada pemilihan pihak yang benar atau pihak yang jahat.[6]
Dari penjelasan di atas tergambar bahwa akhlak secara substansial adalah sifat hati (kondisi hati) bisa baik bisa buruk yang tercermin dalam prilaku. Sebaliknya jika hatinya kotor, maka akan tercermin pula akhlak yang jelek. Lalu muncul pertanyaan, apa yang menyebab hati manusia kotor dan jelek, dan apa pula yang menyebabkan hati manusia baik dan bersih?[7]
Menurut Ibn Miskawaih, hati manusia bisa jelek dan rusak atau baik dan suci adalah faktor dirinya. Didalam diri manusia ada tiga nafsu: (1) nafsu “syahawaniyah”. Nafsu ini ada pada manusia dan ada pada binatang, yaitu nafsu yang cenderung kepada kelezatan, misalnya makan, minum dan syahwat kepada lawan jenis. (2) nafsu “ghadabiyah”, nafsu ini juga ada pada manusia dan binatang, yaitu nafsu yang cenderung marah, merusak, ambisi, senang menguasai dan mengalahkan yang lain. (3) nafsu “nathiqah”, yaitu nafsu yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia dengan nafsu ini mampu berfikir, berzikir mengambil hikmah dan memahami fenomena alam. Dengan nafsu ini manusia menjadi agung, besar cita-citanya, mampu mengenali dirinya serta bersyukur kepada tuhannya. Nafsu ini pula yang dapat mengendalikan kedua nafsu lainnya.
Dalam perspektif Islam, akhlak terkait erat dengan ajaran dan sumber Islam tersebut, yaitu wahyu. Sehingga sikap dan penilaian akhlak selalu dihubungkan dengan ketentuan syariah dan aturannya. Tidak bisa diakatakan sikap ini baik atau buruk, jika hanya bersandar pada pendapat seseorang ataupun kelompok. Karena bisa jadi pendapat tentang kebaikan dan keburukan sesuatu hal bisa berbeda antara dua orang ataupun dua kelompok. Perbedaan itulah yang selalu muncul dalam kajian falsafah masa klasik ataupun modern.
Menurut Amin Abu Lawi, akhlak dalam perspektif Islam mempunyai nilai samawi yang bersumber dari Al-Qur’an. Menurutnya, akhlak dapat dimaknai dengan mengacu kepada hokum dan ketetapan syariah yang lima, yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, karena itulah realitas akhlak. Lebih lanjut dijelaskan, bila akhlak berbasis kepada hukum yang lima, maka klasifikasinya seperti berikut ini: Akhlak wajib, seperti prilaku jujur, amanah, ikhlas, dan seterusnya; akhlak sunnah seperti mengucapkan salam, memberi makan dan sedekah; akhlak mubah, seperti bermain dan bersenda gurau dengan teman; akhlak makruh seperti tidak berinteraksi dengan masyarakat dan hidup menyendiri; akhlak haram seperti berzina, minum khamaar, berdusta, berkhianat, mencuri, dan lain sebagainya.
Menurut Mohammad Natsir, akhlak ibarat tarikan magnet yang dapat menarik terhadap apa saja yang bersifat logam, yang bermutu tinggi atau rendah. Akhlak juga dapat diibaratkan sumber tenaga. Sumber tenaga bagi daya tarik itu tidak lagi terletak pada ilmu, dan tidak pada hikmah. Ilmu dan hikmah hanya pembuka jalan. Sumber tenaganya sendiri terletak pada akhlak pribadi dari pembawa pesan. Baik atau buruknya amal perbuatan yang terbit secara spontan itu, tergantung pada baik atau buruknya akhlak pribadi yang bersangkutan. Lisan al-hal yang baik dan uswah hasanah yang menarik hanya bisa terbit dari akhlak yang baik dan mulia, yaitu akhlakul karimah.[8]

B.     Karakteristik Akhlak Islam
1.      Al-quran dan hadis sebagai sumber
Jika etika menjadikan akal sebagai sumbernya dan moral menjadikan adat istiadat sebagai sumbernya, tetapi akhlak dalam islam menjadikan al-quran dan hadis sebagai sumber. Al-quran adalah firman Allah swt yang kebenarannya bersifat mutlak. Tidak ada satu katapun yang diragukan didalamnya. Demikian hadis rasulullah juga merupakan sumber hukum islam yang kedua. Dengan demikian kebenaran aturan akhlak bersifat mutlak.[9]
Ayat-ayat Al-Qur’an sangat membangun karakter akhlak. Beberapa diantaranya adalah pengarahan agar umat manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surah dan ayat, seperti QS At-Taubah: 119 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.
Al-Qur’an sendiri melakukan proses pendidikan melalui latihan-latihan baik formal maupun nonformal. Pendidikan akhlak ini merupakan sebuah proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir yang baik. Karena itu, kedudukan akhlak dalam Al-Qur’an sangat penting, sebab melalui ayat-ayat-Nya Al-Qur’an berupaya membimbing dan mengajak umat manusia untuk berakhlakul karimah. Melalui pendidikan akhlak ini, manusia dimuliakan oleh Allah dengaan akal, sehingga manusia mampu mengemban tugas kekhalifahan dengan akhlak yang benar.[10]
2.      Bersifat umum dan universal
Ajaran akhlak yang terdapat dalam al-quran bersifat umum dan universal., artinya dimanapun dan kapanpun masih berlaku dan up to date. Hal ini disebabkan aturan yang bersifat umum dan prinsipal, antara lain tent5ang keadilan, berbuat kebajikan, melarang perbuatan keji, munkar dan permusuhan. Seruan untuk meemnuhi janji dan mengalokasikan harta anak yatim secara benar. (Q.S Al-isra’n :34). Ada juga larangan untuk saling mencela, saling memeberi gelar buruk (Q.S Al-hujarat). Demikian juga berlaku sombong dan angkuh (Q.S Luqman:18-19).
34. dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnya. (Q.S Al-isra’ 34)
18. dan janganlahkamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan jangan lah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membagakan diri.
19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S Luqman: 18-19)

3.      Bersifat menyeluruh
Akhlak dalam islam menyangkut seluruh sisi kehidupan muslim meliputi akhlak kepada Allah, Rasul, sesama manusia dan terhadap lingkungan.

4.      Konsisten dalam cara dan tujuan
Antara satu ajaran dengan ajaran lainnya tetap ada konsistensi. Sekali perkara itu baik, pada ayat-ayat berikutnya akan dikatan baik. Demikian juga sebaliknya sekali perkara itu dikatakan buruk, tetap akan buruk.
5.      Berpangkal pada iman dan taqwa kepada Allah SWT
Seorang muslimdalam melaksanakan akhlak berdasarkan atas iman dan taqwa kepada Allah swt. Iman yang kuat akan melahirkan akhlak yang mulia. Kebobrokan akhlak yang terjadi merupakan pertanda kerapuhan iman.
Iman adalah kebaikan yang tertinggi dalam Islam. Ilmu adalah jalan kepadanya. Soal-soal akhlak atau etika yang biasa diketahui orang, seperti berani, jujur, adil dan sebagainya memang penting. Tetapi dari segala segi ilmiah hal-hal itu adalah taraf kedua dalam etika Islam. Ada dua perkara yang keliru ketika mempertimbangkan akhlak. Pertama, tidak memulai dari kebaikan yang tertinggi ini.
Kedua, soal berani, jujur dan adil dan sebagainya, yang selalu kita rasa termasuk dalam bidang akhlak atau etika, selalu pula hanya diajarkan, tidak di didikkan, dilatih dan dibiasakan. Kita ajarkan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah. Pada hal Aristotle sendiri menyebut, bahwa  kebaikan-kebaikan taraf kedua ini mesti dididikkan, bukan diajarkan. Kita harus biasakan anak-anak sejak kecil menetapinya. Sehingga menjadi sifat yang sudah tertanam benar-benar, seakan-akan sifat semula jadi. Baik Aristotle maupun ulama-ulama Islam menyebuut, bahwa sifat yang tertanam sehingga sebagai sifat semua jadi itulah yang disebut khuluk. Seseorang dapat melaksanakan perbuatan-perbuatannya dengan mudah. Kalau tidak demikian, dia belum disebut mempunyai akhlak. Kita gelisah kalau ada anak-anak yang tidak mempunyai akhlak yang baik, tetapi kita tidak berusaha menanamnya sejak kecil.

6.      Akhlak yang mulia menjanjikan balasan dari Allah SWT
Karena akhlak mulia dilandasi dengan keimanan kepasa Allah swt, maka semua yang dilakukan akan mendapat balasan dari allah. Kebaikan yang ditanam, akan menghasilkan kebaikan disisi allah swt.


7.      Sesuai dengan fitrah yang bersih
Akhlak yang terdapat dalam aturan-aturan islam pada dasar nya sesuai dengan fitrah manusia. Kcendrungan fitrah manusia untuk mencari kebenaran memperkukuh aturan akhlak yanfg mengajarkan kebaikan dan melarang keburukan.

C.    Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada tuhan (Allah) dengan cara mensucikan hati. Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan tuhan malah bisa melihat tuhan (al-ma’rifah). Dalam tasawuf disebutkan bahwa allah yang maha suci tidak bisa didekati kecuali oleh hati yang suci.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa akhlak adalah gambaran hati (al-qalb) yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan. Jika hatinya suci dan bersih, maka yang akan keluar adalah perbuatan-perbuatan yang baik (akhlak mahmudah). Sebaliknya jika hatinya kotor dan penuh dosa, maka yang akan muncul adalah perbuatan-perbuatan yang buruk (akhlak mazmumah).
Persoalannya kemudian adalah bagaimana menyucikan hati dalam tasawuf? Menurut pendapat para sufi ada beberapa hal yang harus dilakukan: (1) ijtinab al-manhiyyat (menjauhi larangan tuhan), (2) ada’ al-wajibat (melaksanakan kewajiban), (3) ada’ al-nafilat (melakukan hal-hal yang sunat) dan (4) riyadhah (latihan spiritual seperti yang diajarkan rasul).
Kemaksiatan dapat mengakibatkan hati manusia kotor, kelam dan berkarat sehingga hati menjadi tidak berfungsi malah mati. Pendapat para sufi, keadaan hati itu ada tiga macam: (1) hati yang mati yaitu hati orang kafir, (2) hati yang hidup yaitu hati orang beriman dan (3) hati orang yang kadang-kadang hidup dan kadang mati yaitu hati orang-orang fasiq dan munafiq.
Ketika rasulullah ditanya tentang perbedaan mukmin dan munafik. Rasul menjawab, oerang mukmin keseriusannya dalam shalat, puasa dan ibadah. Sedangkan orang yang munafik keseriusannya dalam makan dan minum layaknya binatang.
Dengan demikian jelaslah orang yang berakhlak mulia adalah gambaran orang yang betul-betul beriman kepada allah swt. Akhlak merupakan gambaran iman. Karena akhlak bersumber dari hati, maka untuk menciptakan akhlak yang baik, terlebih dahulu hati harus dibersihkan.

D.    Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari
1.      Akhlak kepada Allah SWT
a.       Beribadah kepada allah sebagai bukti ketundukan dan kepatuhan kepadanya
b.      Al-hubb, mencintai allah melebihi cinta kepada apapun
c.       Berzikir, yaitu selalu mengingat allah dalam semua kondisi dan situasi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati.
d.      Berdo’a kepada allah, yaitu m,emohon apa saja kepada allah.
e.       Bertaubat, sikap menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukan.
f.       Tawakkal kepada allah, berserah diri sepenuhnya kepada allah setelah melakukan usaha secara maksimal
g.      Tawadhu’ kepada allah, merasa rendah hati dihadapan allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina dihadapan allah yang maha kuasa
h.      Bersyukur, berterima kasih kepada allah atas segala nikmat yang diberikannya dengan cara memanfaatkan nikmat tersebut dijalan allah serta meningkatkan ibadah kepada nya.
i.        Ridha dan ikhlas terhadap segala keputusan allahg, menjauhkan diri dari riya’.

2.      Akhlak kepada Rasulullah
a.       Mencintai rasulullah secara tulus dan mengikuti semua sunnahnya
b.      Menjadikan rasulullah sebagai idola, suri teladan dalam kehidupan
c.       Melakukan apa yang disuruhnya dan meninggalkan apa yang dilarangnya


3.      Akhlak kepada Ibu Bapak
a.       Mencintai dan menyayangi ibu bapak
b.      Bertutur kata soapan dan lemah lembut
c.       Mentaati segala perintahnya selama tidak bertentangan dengan ajaran agama
d.      Menyantuni mereka jika udah tua
e.       Mendoakan keduanya, baik ketika masih hidup apalagi setelah meninggal dunia
f.       Meneruskan silahturahmi dengan kerabat ibu bapak

4.      Akhlak kepada Sesama Manusia
a.       Saling hormat menghormati dan bersikap sopan santun
b.      Saling bantu membantu
c.       Saling nasehat menasehati
d.      Suka memaafkan

5.      Akhlak kepada Diri Sendiri
a.       Menjaga kesucian diri dan tidak menzalimi diri sendiri
b.      Menjaga kesehatan diri
c.       Memperhatikan hak-hak diri baik secara fisik maupun psikis
d.      Sabar dan pengendalian diri

6.      Akhlak kepada Lingkungan
a.       Kemakmuran bumi dan mengelola sumber daya alam
b.      Tidak membuat kerusakan dimuka bumi

E.     Pergaulan dan Pakaian dalam Islam
Islam sebagai agama membawa kemaslahatan memberikan batasan dalam pergaulan antara lain:
a.       Menjaga pandangan mata dari melihat lawan jenis secara berlebihan
b.      Tidak berdua-duaan antara proia dengan wanita yang bukan muhrim, karena hal ini sangat rawan terhadap godaan syeitan yang memang selalu menggoda manusia
c.       Tidak bersentuhan kulit antara pria dan wanita yang bukan muhrim
d.      Tidak berbaur antara pria dan wanita di suatu tempat
Dengan demikian jelaslah bahwa laki-laki dan perempuan harus menjaga batasan dalam pergaulan agar tidak terjadi perzinahan. Allah swt berfirman dalam al-quran yang artinya “janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu amat keji dan seburuk-buruk jalan”
Adapun kriteria pakaian-pakaian muslimah (pakaian taqwa) adalah:
a.       Menutupi seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
b.      Tidak ketat sehingga masih menampakkan bentuk tubuh yang ditututpi.
c.       Tidak tipis sehingga warna kulit masih bisa dilihat.
d.      Tidak menyerupai pakaian laki-laki. Diriwayatkan oleh abuhurairah ia berkata: rasulullah SAW melaknat seorang laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.
e.       Dipakai tidak dengan maksud memamerkan dan untuk menarik perhatian orang.[11]




BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Standar baik dan buruk menurut etika adalah akal manusia.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk. Standar baik buruk menurut moral berdasarkan adat istiadat sekelompok masyarakat.
Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan fikiran lebih dahulu. Akhlak terkait erat dengan ajaran dan sumber Islam tersebut, yaitu wahyu. Sehingga sikap dan penilaian akhlak selalu dihubungkan dengan ketentuan syariah dan aturannya.
Karakteristik akhlak Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber, bersifat umum dan universal, menyeluruh, konsisten dalam cara dan tujuan, berpangkal pada iman dan taqwa kepada Allah SWT, akhlak yang mulia menjanjukan balasan dari Allah SWT, dan sesuai dengan fitrah yang bersih.

B.     Saran
Saran yang dapat kami berikan sebagai tim penulis dan penyusunan makalh ini, yaitu agar materi etika dan moral yang ada dalam makalah ini dapat dikembangkan lebih lanjut. Serta para pembaca dapat mengaktualisasikan akhlak-akhlak terpuji yang telah dijelaskan dalam makalah ini dalam kehidupan sehari-hari sebagai salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.



DAFTAR PUSTAKA

Armin, Ahmad. 1995. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta : Bulan Bintang.
Bakhtiar, Nurhasanah. 2013. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Lintang, Muchtar. 1976.  Kuliah Islam tentang Etika dan Keadilan Sosial. Jakarta : Bulan Bintang.
Nata, Abuddin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Nasrul. 2015. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta : Aswaja Pressindo.
Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Karakter berbasis Al-Qur’an. Jakarta : Rajawali Press.



[1]Nurhasanah Bakhtiar, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), hlm. 59.

[2] Muchtar Lintang,  Kuliah Islam tentang Etika dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 35.
[3] Ahmad Amin, Etika (ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 5-6.
[4]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 90.
[5]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 93.

[6]Nasrul, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 2.
[7]Nurhasanah Bakhtiar, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), hlm. 60.

[8] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter berbasis Al-Qur’an, ( Jakarta : Rajawali Press, 2014), hlm. 74-78.
[9]Nurhasanah Bakhtiar, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), hlm. 61.
[10] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter berbasis Al-Qur’an, ( Jakarta : Rajawali Press, 2014), hlm. 65.
[11]Nurhasanah bakhtiar, pengantar studi islam, (yogyakarta: aswaja pressindo, 2013), hlm. 69.

0 komentar:

Posting Komentar