Jumat, 25 November 2016

Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw. baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak dapat disebut hadis. Hal ini menunjukkan bahwa mereka membedakan peran Rasulullah saw. sebagai seorang rasul dan manusia biasa. Hadis hanya yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah SWT. yang diemban oleh Muhammad saw. sebagai Rasulullah. Ini pun berdasarkan perkataan, perbuatan, dan ketetapan. Sedangkan kebiasaan, tata cara berpakaian, cara tidur, dan sebagainya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadis.
Sebagai umat Islam yang meyakini akan keberadaan Rasulullah dan Allah SWT. selain bersandar pada hokum Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an, kita juga bersandar akan hadis-hadis Rasulullah saw. Akan tetapi, kebanyakan orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Dan kemudian kebingungan itu hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan.
Salah satu pembagian hadis ialah bila dilihat dari segi kuantitas jumlah perawi dan sanadnya. Dan sebagian ulama membaginya menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.  Yang mana kedua pembagian ini akan dijelaskan dalam makalah ini.

1.2  Rumusan Masalah
Dari penjelasan pada latar belakang tersebut, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad?
2.      Apa saja yang menjadi syarat-syarat Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad?
3.      Bagaimana pembagian Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad?
4.      Dan bagaimana kehujjahan dari Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad tersebut?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan yang dapat diambil dari rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut.
1.      Mengerti akan arti dari Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad;
2.      Mengetahui syarat-syarat Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad;
3.      Mengetahui pembagian Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad; dan
4.      Mengetahui kehujjahan dari Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad tersebut.

1.4  Manfaat
Diharapkan setelah membaca makalah ini, pembaca paham dan mengerti serta tidak bingung lagi akan pembagian-pembagian hadis, khususnya pembagian hadis dari segi kuantitas perawi dan sanadnya. Selanjutnya, semoga makalah ini dapat menjadi salah satu refernsi pembaca, menambah wawasan pengetahuan Islam, dan menjadi salah satu motivasi untuk mengenal banyak tentang hadis.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Hadis Mutawatir
2.1.1        Pengertian Hadis Mutawatir
Kata Mutawatir menurut bahasa merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang berarti berturut-turut. Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian mutawatir:
Menurut Mahmud al-Thahhan hadis mutawatir adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka baersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”[1]
Nur ad-Din ‘Atar mendefinisikan hadis mutawatir sebagai berikut:
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta ( sejak awal sanad ) sampai akhir sanad . Hadis yang diriwayatkan didasarkan pada pengematan pancaindra”.
Sedangkan menurut shubhi al-Shalih mendifinisikan hadis mutawatir:
“Hadis sahih yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut akal sehat dan adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta ( yang diriwayatkan )dari banyak periwayat pada awal, tengah, dan akhir sanadnya”
Berdasar beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir adalah hadis sahih yang diriwayat oleh sejumlah periwayat yang mana menurut logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Hadis ini banyak diriwayat kan oleh banyak periwayat dari awal, tengah, hingga akhir sanad dengan jumlah tertentu.

2.1.2        Syarat-syarat Hadis Mutawatir
a.       Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Parawi
Para ulama berbeda pendapat tenatang jumlah banyak para perawi hadis dan tidak ada pembatas yang tetap. Di antara mereka ada yang berpendapat 4 orang, 5 orang, 7 orang, 10 orang,  40 orang, 70 orang bahkan ada yang mengatakan 300 orang. Namun pendapt yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari. [2]
Para ulama yang menetapkan jumlah minimal parawi hadis tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat sebenarnya inti dari penentuan jumlah banyak orang yang mana mustahil mereka untuk berdusta. Yang terpenting bukan angka yang menunjukkan jumlah orang yang meriwayatkan hadis pada tiap generasi periwayat, tetapi jumlah periwayat tertentu yang menyebabkan mereka mustahil untuk berdusta baik diukur berdasarkan akal sehat amupun adat kebiasaan.

b.      Mustahil Secara Logika atau Adat Mereka Sepakat Berdusta
Dari syarat ini menunjukkan bahwa penentuan jumlah tertentu bukanlah ukuran pokok untuk menentukan suatu hadis mutawatir, tetapi yang menjadi ukuran adalah apakah dengan jumlah orang-orang yang membawa berita itu dapat diperoleh keyakinan pasti atau belum, berdasarkan logika atau adat istiadat bahwa diantara merela tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk berdusta, juga menunjukkan bahwa logika dan adat istiadat yang dijadikan ukuran adalah pemikiran rasional yang benar dan adat istiadat bersifat umum bukan berlaku disatu temapat tetapi disemua tempat.
c.       Jumlah Banyak itu Terdapat pada Setiap Lapisan Sanad dari Awal hingga Akir
Mengenai ukuran kesamaan atau keseimbangan ini ada dua kemungkinan, pertama ukuran kesamaan atau keseimbangan adalah jumlah periwayat pada masing-masing genersai berada pada kisaran yang sama, tidak terlalu jauh jumlahnya. Misalnya dari kalangan sahabat 10 orang, tabi’in 9 orang, atba’ al-tabi’in 10 orang dan seterusnya.
Kedua ukuran kesamaan atau keseimbangan adalah pada jumlah minimal yang harus dipenuhi. Misalnya jika suatu hadis diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian diterima oleh 20 orang tabi’in dan seterusnya tidak kurang dari jumlah itu maka dapat disebut sebagai hadis mutawatir. 

d.      Sandaran Berita berdasarkan pada Indra
Berita yang disampaikan oleh para perawi hadis tersebut haruslah berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya bahwa berita yang mereka sampaikan haruslah berdasarkan hasil pendengaran, penglihatan, sentuhan, dirasakan atau dicium. Oleh karena itu apabila berita itu merupakan hasil renungan atau berdasarkan logika semata maka tidak dapat dikatakan hadis mutawatir.

2.1.3        Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut beberapa ulama hadis mutawatir terbagi dua, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang membagi menjadi tiga, ditambah dengan hadis mutawatir ‘malia.
a.       Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang mutawatir baik lafaz ataupun maknanya. Menurut Muhammad al-Shabbagh hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat dari awal hingga akhir sanadnya dengan menggunakan redaksi yang sama.
Hadis mutawatir lafzhi memiliki beberapa syarat:
1)      Dari segi sanad, harus banyak periwayat yang meriwayat sejak awal hingga akhir sanadnya.
2)      Matan hadis yang diriwayatkan menggunakan redaksi yang sama.
Karena syarat yang dimilikinya, hadis ini susah sekali untuk ditemukan ada yang mengatakan bahwa hadis ini tidak ada dan ada juga yang mengatakan hadis ini ada, tetapi hanya sedikit dan sulit untuk dikemukakan. Menurut Ibn Hajar pendapat bahwa hadis mutawatir sedikit sekali atau tidak ada, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang jalan-jalan atau keadaan-keadaan para periwayat serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa mereka tidak mungkin mufakat untuk bedusta.
Contoh hadis mutawatir lafzhi:
“Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dineraka”
Hadis diatas diriwayatkan oleh lebih dari tujuh puluh sahabat nabi, demikian seterusnya pada tiap thabaqah sanadnya diriwayat kan oleh banyak periwayat. Menurut Abu Bakar Al-Sairi, bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh enam puluh sahabat. Ada yang mengatakan diriwayatkan oleh enam puluh dua sahabat, termasuk sepuluh sahabat yang telah diakui akan masuk surga. Dan masih ada pendapat-pendapat lainnya. 

b.      Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang mutawatir hanya pada maknanya saja bukan pada lafalnya. Hadis mutawatir ini disepakati penuklikannya secara makna saja sedangkan redaksinya berbeda-beda.
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib hadis mutawatir ma’nawi adalah “hadis yang periwayatannya  disepakati maknanya, akan tetapi maknya tidak.”
Ada juga yang mendefinisikan “Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut ada mustahil mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada titik persamaan”.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi:
“Abu Musa al-Asy’ari berkata: Nabi SAW. Berdoa kemudian dia  mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya”

c.       Hadis Mutawatir Amali
Hadis mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara di kalangan umat islam, bahwa Nabi SAW. Mengajarkannya, menyuruhnya, atau selain dari itu. 
Hadis mutawatir amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar shalat jenazah, dan lain-lain.

2.1.4        Kehujjahan Hadis Mutawatir
Pengetahuan yang disampaikan pada hadis mutawatir, menurut Muhammad al-Shabbagh, harus bersifat dharuri yang diperoleh dari pengamatan pancaindra. Hal ini bertujuan agar berita yang disampaikan berdasarkan ilmu pasti bukan berdasarkan prasangka. Menurut ibn Taymiyah, orang yang telah meyakini ke mutawatiran suatu hadis, wajib mempercayai kebenaran dan mengamalkan sesuai dengan isi kanduangan nya. Sedangkan orang yangn belum mengetahui kemutawatirannya hendaklah mengikuti dan meyerahkan kepada orang yang telah menyepakati kemutawatiran hadis tersebut. [3]
Mahmud al-Thahhan menyatakan bahwa hadis mutawatir tesebut bersifat dharuri, yaitu ilmu yang meyakini dan mengharuskan manusia mempercayai dan membenarkannya secara pasti seperti orang yang menyaksikannya sendiri, tanpa disertai dengan keraguan sedikitpun. Dengan demikian hadis mutawatir dapat diterima untuk dijadikan hujjah tanpa harus mengkaji para periwayatnya.   
Hadis mutawatir ini tidak dipersyaratkan keadilan dan kedabithan periwayat, keterlepasan dari syadz dan illat.

2.1.5        Kitab-kitab Hadis Mutawatir
Kitab-kitab hadis mutawatir antara lain sebagai berikut:[4]
a.       Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi.
b.      Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi merupakan resume buku diatas.
c.       Nazhm Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
d.      Al-La’ali Al-Mutanatsirah fil A;-Ahadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.

2.2  Hadis Ahad
2.2.1        Pengertian Hadis Ahad
Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah, yaitu khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak membarikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir. Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.[5]
Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis ahad adalah hadis yang sanadnya sahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.[6]
Sehingga, dari pengertian-pengertian tersebut menunjukkan dua hal, yaitu hadis ahad dari segi kuantitas perawinya berada di bawah hadis mutawatir, dan dari segi isinya hadis ahad berstatus zhanni bukan qath’i.

2.2.2        Pembagian Hadis Ahad
a.       Hadis Masyhur
Secara bahasa, kata masyhur merupakan isim maf’ul dari kata syahara berarti sesuatu yang terkenal, yang dikenal, atau yang popular di kalangan manusia.[7] Sedangkan menurut istilah, menurut ulama ushul yaitu, “Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”. Ada juga yang mendefinisikan secara singkat, “Hadis yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis yang mutawatir”.[8]
Berdasarkan pengertian tersebut, di kalangan ulama memang dikenal beberapa hadis masyhur meskipun tidak mempunyai sanad sama sekali yang disebut dengan masyhur non-istilah, yang disebut juga hadis yang terkenal dalam pembicaraan, yaitu hadis-hadis yang masyhur di kalangan masyarakat tertentu tanpa harus memenuhi syarat-syarat hadis masyhur menurut ulama hadis, sehingga hadis kategori ini ada yang mempunyai satu sanad saja, lebih, atau tidak ada sama sekali sanadnya. Berbeda dengan hadis masyhur istilah yang mensyaratkan jumlah tertentu untuk tiap angkatan sanadnya.[9]
Hukum hadis masyhur istilah maupun non-istilah tidak seluruhnya dinyatakan shahih, atau tidak shahih, akan tetapi tergantung kepada hasil penelitian para ulama. Sebagian hadis masyhur ada yang shahih, hasan, dan dha’if, bahkan ada yang mawdhu’. Namun memang diakui, bahwa keshahihannya hadis masyhur istilah lebih kuat daripada keshahihan hadis ‘aziz dan gharib yang hanya diriwayatkan satu atau dua orang perawi saja.[10] Dari definisi hadis masyhur istilah, diketahui bahwa para periwayat hadis jenis ini berada di bawah jumlah periwayat hadis mutawatir. Meskipun jumlah periwayat hadis masyhur banyak, tetapi dari jumlah yang banyak itu tidak sampai menghasilkan ilmu dharuri melainkan ilmu zhanni, sehingga dengan demikian statusnya sebagian dapat dijadikan hujjah dan sebagian lainnya tidak, tergantung kualitas hadis yang bersangkutan.[11]
Hadis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan, dan dha’if. Yang dimaksud dengan hadis masyhur sahih adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis sahih, baik pada sanadnya, maupun matannya. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad, maupun matannya. Adapun yang dimaksud hadis masyhur dha’if adalah hadis masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadis sahih dan hasan, baik pada sanad maupun ada matannya.[12]
Hadis masyhur dapat diholongkan sebagai berikut.[13]
1)      Masyhur di kalangan ahli hadis, seperti hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW.membaca doa qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh, berdoa atas golongan Ri’il dan Zakwan.
2)      Masyhur di kalangan ulama ahli hadis, ulama-ulama lain, dan di kalangan orang umum, seperti hadis “Orang Islam adalah orang-orang Islam yang selamat dari lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari-Muslim).
3)      Masyhur di kalangan ahli Fiqh, seperti “Rasulullah SAW. melarang jual beli yang di dalamnya terdapat tipu daya”. (HR. Muslim)
4)      Masyhur di kalangan ahli Ushul Fiqh, seperti “Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia meperoleh dua pahala, dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh suatu pahala”. (HR. Muslim)
5)      Masyhur di kalangan ahli Sufi, seperti “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui Aku merekapun kenal padaKu”.
6)      Masyhur di kalangan ulama-ulama Arab, seperti ungkapan “Kami (orang-orang Arab) yang paling fasih mengucapkan huruf Dad, sebab kami dari golongan orang Quraisy”.
Adapun kitab-kitab yang memuat hadis masyhur non-istilah diantaranya sebagai berikut.[14]
1)      Al-Maqashid Al-Hasanah fima Usytuhira ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi.
2)      Kasyfu Al-Khafa’ wa Muzil Al-Ilbas fima Usytuhira min Al-Hadist ‘ala Alsinah An-Nas, karya Al-Ajaluni.
3)      Tamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fima Yadur ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadist, karya Ibnu Ad-Daiba asy-Syaibani.

b.      Hadis ‘Aziz
Kata ‘aziz dalam bahasa Arab berasal dari kata :’azza-ya ‘izzu yang berarti sedikit atau jarang dan kata : ‘azza ya ‘azzu yang berarti kuat dan sangat. Disebut demikian karena hadis kategori ini sedikit adanya dan jarang, atau karena kuat dengan adanya sanad yang dating dari jalur lain. Sedangkan menurut istilah, “Hadis yang pada semua thabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat”. Artinya, bahwa tiap tingkatan sanad hadis ‘aziz tidak kurang dari dua orang periwayat.[15]
Menurut Mahmud Al-Thahhan, bahwa sekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Sehingga dapat dikatakan, hadis ‘aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat, yakni sejak dari thabaqat pertama sampai terakhir, tetapi selagi salah satu thabaqat didapati dua orang perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai hadis ‘aziz.[16]
Hukum hadis ‘aziz adakalanya shahis, hasan, dan dha’if tergantung persyaratan yang terpenuhi, apakah memenuhi seluruh criteria persyaratan hadis shahih atau tidak. Jika memenuhi segala persyaratannya berarti berkualitas shasih dan jika tidak memenuhi sebagian atau seluruh persyaratannya maka tergolong hadis hasan atau dha’if. Adapun kitab-kitab yang khusus menghimpun hadis-hadis ‘aziz belum didapatkan mungkin karena kelangkaan hadis tersebut.[17]

c.       Hadis Gharib
Kata gharib secara bahasa berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Di samping istilah gharib dikenal pula hadis fard yang menurut sebagian ulama hadis keduanya sinonim. Akan tetapi, ada pula ulama yang membedakan antara keduanya. Dalam penggunaannya, menurut Shubhi al-Shalih, kebanyakan ulama membedakan antara hadis fard dan hadis gharib, yaitu hadis fard dimaksudkan pada fard mutlak, yaitu hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat meskipun terdapat banyak jalur sanad padanya. Adapun hadis gharib adalah hadis fard nisbi, yaitu hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat pada tempat sanad manapun ketersendirian itu terjadi.[18]
Menurut Mahmud al-Thahhan, hadis gharib terbagi menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi. Gharib mutlak adalah hadis yang diriwayatkan secara sendirian pada thabaqah sahabat. Adapun hadis gharib nisbi adalah hadis yang diriwayatkan secara sendirian di tengah-tengah sanad meskipun diriwayatkan oleh banyak periwayat pada thabaqah sahabat. Contoh hadis gharib mutlak yaitu:
Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat, dan ganjaran seseorang tergantung pada apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari-Muslim)
Hadis tersebut diriwayatkan secara sendirian oleh “Umar ibn al-Khathab kemudian setelah itu diriwayatkan oleh banyak periwayat. Contoh hadis gharib nisbi hadis riwayat Malik dari al-Zuhri dari Anas, katanya:
Bahwasannya Nabi SAW.memasuki Mekkah dan di atas kepalanya terdapat penghapus” (H.R. Bukhari Muslim). Hadis ini diriwayatkan secara sendiri oleh Malik dari al-Zuhri.
Dilihat dari segi cara periwayatannya, di kalangan ulama hadis, hadis gharib nisbi dibagi dalam beberapa kategori. Mahmud al-Thahhan membaginya sebagai berikut:
1)      Seorang periwayat menyendiri dalam meriwayatkan hadis, seperti pernyataan kritikus periwayat, “Tidak seorangpun periwayat tsiqah yang meriwayatkannya kecuali si fulan”,
2)      Periwayat tertentu secara tersendiri meriwayatkan dari periwayat tertentu pula, seperti pernyataan kritikus periwayat, “si fulan meriwayatkan hadis itu secara sendirian dari si fulan” (meskipun hadis itu diriwayatkan pula melalui jalur sanad yang lain).
3)      Periwayat menyendiri dari daerah atau tempat tertentu, seperti pernyataan kritikus periwayat, “Hadis ini hanya diriwayatkan oleh penduduk Mekkah atau Syam”.
4)      Periwayat menyendiri dari daerah atau tempat tertentu dan tidak dari daerah atau tempat yang lain, seperti pernyataan kritikus periwayat, “Hadis ini hanya diriwayatkan oleh penduduk Bashrah dan tidak oleh penduduk Madinah atau hanya diriwayatkan oleh penduduk Syam dan tidak oleh penduduk Hijaz”.
Selain pembagian hadis tersebut, para ulama juga membagi hadis gharib menjadi dua golongan, yaitu hadis gharib pada sanad matan, dan gharib pada sanad saja. Pembagian ini ditinjau dari segi letak kegharibannya.[19]
Yang dimaksud gharib pada sanad dan matan adalah hadi yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur, seperti sabda Rasulullah SAW. “Ada dua kalimat yang disenangi oleh Allah, ringan diucapkan dan memperberat timbangan, yaitu kalimat ‘Subhana Allah wa bihamdih subhana Allah il’adzim’”.
Adapun yang dimaksud dengan gharib pada sanad saja adalah hadis yang telah popular dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak popular. Periwayatan hadis melalui sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai hadis gharib pada sanad.
Bila suatu hadis telah diketahui sanadnya gharib, maka matannya tidak perlu diteliti lagi, sebab keghariban pada sanad menjadikan hadis tersebut berstatus gharib. Namun bila sanadnya tidak gharib, mungkin matannya yang gharib. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya ditujukan pada matannya. Apabila matannya diketahui gharib, maka hadisnya pun menjadi gharib pula.
Sebagaimana hadis masyhur dan hadis ‘aziz, hadis gharib ada yang shahih, hasan, atau dha’if dan ada pula yang mawdhu’ tergantung pada kualitas sanad dan matannya. Jika suatu hadis gharib memenuhi semua syarat hadis shahih, maka hadis gharib itu shahih. Tetapi, jika syarat-syaratnya terpenuhi namun salah seorang periwayat ada yang kurang dhabith, maka hadis itu dinyatakan hasan. Demikian pula, jika suatu hadis gharib bertentangan dengan hadis yang memiliki kualitas sama dan tidak mungkin dilakukan kompromi satu dengan yang lain, maka hadis gharib tersebut dinamakan hadis mudhtaharib. Jika hadis gharib diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah tetapi bertentangan dengan riwayat dari periwayat yang lebih tsiqah, maka hadis itu dinamakan sebagai hadis syadz (janggal). Apabila periwayat pada hadis gharib itu dha’if dan bertentangan dengan hadis dari periwayat yang tsiqah, maka hadis itu dinamakan hadis munkar.[20]

2.2.3        Kehujjahan Hadis Ahad
Jumhur ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in, serta para ulama sesudah mereka dari kalangan ahli hadis, ahli fiqih, dan ahli ushul, berpendapat bahwa hadis ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah yang wajib diamalkan. Dasarnya adalah kewajiban syar’I bukan kewajiban akli. Begitu pula dengan pendapat Imam Muslim ibn al-Hajjaj bahwa beramal dengan hadis ahad yang memenuhi persyaratan maqbul (dapat diterima) hukumnya wajib. [21]
Sedangkan golongan Qodariyah, Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Al-Juba’I dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang. Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramal kecuali hadis yang diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan oleh empat orang pula.[22]
Pendapat tersebut disanggah oleh para ulama yang berpendapat tentang kehujjahan hadis ahad, termasuk ahad yang gharib. Ibnu Al-Qayim mengatakan :”Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Al-Qur’an. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an; Kedua, menjelaskan maksud Al-Qur’an, dan Ketiga, menetapkan hokum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasul yang wajib ditaati. Lebih dari itu ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma.
Ketaatan kepada Rasulullah tidak hanya yang ditunjuk oleh hadis mutawatir saja, sebab jumlahnya sangat sedikit. Padahal, sangat banyak masalah yang tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh hadis ahad. Seandainya hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah, maka peristiwa-peristiwa seperti larangan berpuasa bagi wanita haid, hak waris bagi kakek dan nenek, dan sebagainya itu, tidak ada ketentuan hukumnya. Tentunya pengalaman hadis ahad setelah dilakukan pengkajian sehingga diketahui apakah hadis itu maqbul (dapat diterima), yakni berkualitas sahih atau hasan atau mardud (tertolak) karena berkualitas dga’if atau  mawdhu’ (palsu).[23]



BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
Hadis mutawatir adalah hadis sahih yang diriwayat oleh sejumlah periwayat yang mana menurut logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Hadis ini banyak diriwayat kan oleh banyak periwayat dari awal, tengah, hingga akhir sanad dengan jumlah tertentu.
Hadis mutawatir memiliki beberapa syarat, yaitu diriwayatkan oleh sejumlah besar parawi, mustahil secara logika atau adat mereka sepakat berdusta, jumlah banyak itu terdapat pada setiap lapisan sanad dari awal hingga akir, sandaran berita berdasarkan pada indra. Hadis mutawatir terbagi menjadi beberapa bagian yaitu Mutawatir Lafzhi, Mutawatir Ma’nawi, Hadis Mutawatir Amali.
Hadis ahad menurut yaitu khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak membarikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga, yaitu hadis masyhur, hadis ‘aziz, hadis gharib.

3.2  Saran
Penulis menyarankan agar pembaca dapat menyadari bahwa sangat penting untuk mempelajari tentang pembagian hadis sehingga pembaca  dapat membedakan antara yang shahi dan yang ahad. Dan memmudahkan pembaca dalam menerapkannya.



DAFTAR PUSTAKA

Zarkasih. 2012. Pengantar Studi Hadis. Yogyakarta : Aswaja Pressindo.
Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta : Rajawali Press.
Khon, Abdul Majid. 2011. Ulumul Hadis. Jakarta : Amzah.


[1] Zarkasih, Studi Hadis, ( Pekanbaru: Suska Press, 2015), hlm. 55
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm., 131
[3] Zarkasih, op.cit., hlm. 64.
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, ( Jakarta: Amzah, 2011), hlm., 138.
[5] Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 107
[6] Zarkasih, Pengantar Studi Hadis, (Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 50
[7] Ibid., hlm. 51
[8] Op.Cit., hlm. 110
[9] Zarkasih, Pengantar Studi Hadis, (Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 51
[10] Abdul Majid khon, Ulumul Hadis, ( Jakarta : Amzah, 2011), hlm. 141.
[11] Ibid., hlm. 53
[12] Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 111-113.
[13] Zarkasih, Pengantar Studi Hadis, (Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 52-53
[14] Abdul Majid khon, Ulumul Hadis, ( Jakarta : Amzah, 2011), hlm. 141.
[15] Op.Cit., hlm. 54
[16] Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 116.
[17] Abdul Majid khon, Ulumul Hadis, ( Jakarta : Amzah, 2011), hlm. 143
[18] Zarkasih, Pengantar Studi Hadis, (Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 56-58.
[19] Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 121 – 122
[20] Op.Cit., hlm. 58.
[21] Zarkasih, Pengantar Studi Hadis, (Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 59.
[22] Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 109 – 110.
[23] Op.Cit., hlm. 60

0 komentar:

Posting Komentar